Fifty Shades Freed (Fifty Shades #3) (34)

"Itu mengingatkanku," katanya, riang.
"Apa?" rengutku marah. Menganmbil kursinya, aku membaliknya menghadap cermin di depan wastafel. "Duduk," aku memerintah. Christian memandangku dengan pandangan terhibur, tapi tetap menuruti perintah dan duduk kembali di kursi. Aku mulai menyisir rambutnya yang kini lembab.
"Aku berpikir kita bisa merubah kamar di dekat garasi untuk mereka di rumah baru," lanjut Christian. "Membuatnya seperti rumah. Kemudian mungkin anak perempuan Taylor bisa tinggal bersamanya lebih sering lagi." Ia memandangku hati-hati dari cermin.
"Mengapa ia tidak tinggal disini?"
"Taylor tak pernah menanyakan hal itu padaku."
"Mungkin kau harus menawarinya. Tapi kita harus menjaga tingkah laku kita."
Alis Christian naik. "Aku tak berpikir akan hal itu."
"Mungkin itu alasan mengapa Taylor tak pernah memintanya. Pernahkah kau bertemu dengannya?"
"Ya. Dia adalah gadis yang manis. Pemalu. Sangat cantik. Aku membayar biaya pendidikannya."
Oh! Aku berhenti menyisir dan menatapnya dari cermin.
"Aku tak tahu."
Ia mengangkat bahunya. "Hanya itu yang bisa aku lakukan. Lagipula, itu berarti Taylor tak kan berhenti bekerja."
"Aku yakin Taylor suka bekerja denganmu."
Christian menatapku kosong kemudian mengangkat bahunya lagi. "Aku tak tahu."
"Aku pikir ia sangat sayang padamu, Christian." Aku melanjutkan menyisir dan meliriknya. Matanya tak meninggalkan mataku.
"Benarkah kau berpikir begitu?"
"Ya. Tentu saja."
Ia mendengus tanda penolakan tetapi terasa ada suara seperti halnya ia secara diam-diam puas jika staffnya menyukainya.
"Bagus. Maukah kau berbicara pada Gia tentang kamar di dekat garasi?"
"Ya, tentu saja." Aku tak lagi merasakan terganggu sama seperti sebelumnya saat mendengar nama wanita itu. Bawah sadarku mengangguk setuju padaku. Ya... kita sudah melakukan hal bagus hari ini. Dewi batinku terlihat senang. Sekarang ia akan membiarkan suamiku sendiri dan berhenti membuatnya merasa tak nyaman.
Aku siap memotong rambut Christian. "Kau yakin soal ini? Kesempatan terakhirmu untuk membatalkan."
"Lakukan yang terburuk, Mrs. Grey. Aku tak harus melihat diriku, kau yang melihatku setiap hari."
Aku tersenyum lebar. "Christian, aku bisa melihatmu sepanjang hari."
Ia menggelengkan kepalanya kelelahan. "Ini hanya wajah yang tampan, sayang."
"Dan dibalik itu ada pria yang sangat hebat dan baik." Aku mencium keningnya. "Suamiku."
Ia tersenyum malu.
Mengangkat segenggam rambut pertama, aku menyisirnya ke atas dan menjepitnya diantara jari telunjuk dan tengahku. Aku menjepit sisir di mulutku, mengambil gunting dan membuat guntingan pertama, memotong satu inci hilang dari rambutnya. Christian menutup matanya dan duduk layaknya patung, mendesah seperti halnya menantang saat aku melanjutkannya. Kadang- kadang ia membuka matanya, dan aku mendapatinya sedang memandangku intens. Ia tak menyentuhku saat aku bekerja, dan aku bersyukur. Sentuhannya... mengalihkanku.
Lima belas menit kemudian, aku selesai.
"Selesai." Aku puas akan hasilnya. Ia terlihat seksi seperti biasanya, rambutnya masih terkulai dan seksi... hanya sedikit lebih pendek.
Christian menatap dirinya sendiri di cermin, terlihat puas yang mengejutkan. Ia menyeringai. "Kerja bagus, Mrs. Grey." Ia memutar kepalanya dari satu sisi ke sisi lain dan melingkarkan tangannya di tubuhku. Menarikku ke arahnya, ia mencium dan mengendus perutku.
"Terima kasih," katanya.
"Dengan senang hati." Aku merunduk dan menciumnya lembut.
"Sudah malam. Tempat tidur." Ia memberikan pantatku tamparan bercanda.
"Ah! Aku harus membersihkan tempat ini." Ada rambut bertebaran di lantai.
Christian membeku, seperti halnya kejadian itu tak pernah terjadi padanya. "Okay, aku akan mengambil sapunya," katanya masam. "Aku tak ingin kau mempermalukan staff dengan pakaianmu yang sangat tidak pantas."
"Apa kau tahu dimana sapunya?" Aku bertanya polos.
Ini membuat Christian menghentikan langkahnya. "Um... tidak."
Aku tertawa. "Aku akan mengambilnya."
***
Saat aku memanjat ke ranjang dan menunggu Christian untuk bergabung denganku, aku membayangkan betapa berbedanya hari ini berakhir. Aku sangat marah padanya, dan ia juga marah padaku. Bagaimana aku akan setuju dengan omong kosong menjalankan-sebuah- perusahaan ini? Aku tak punya gairah untuk memimpin sebuah perusahaan. Aku bukan dia. Aku harus bisa melewati ini. Mungkin aku harus mempunyai kata aman untuk saat ia menjadi terlalu memerintah atau mendominasi, untuk saat ia menjadi keledai. Aku terkikik. Mungkin kata amannya harus keledai. Aku merasa pikiran itu sangat menggoda.
"Apa?" katanya saat ia memanjat ke tempat tidur di sebelahku hanya mengenakan celana piyamanya.
"Bukan apa-apa. Hanya sebuah ide."
"Ide apa?" Ia merenggangkan tubuhnya disebelahku.
Ini dia, sesuatu yang mungkin akan gagal. "Christian, kupikir aku tak ingin menjalankan sebuah perusahaan."
Ia menopang dirinya sendiri dengan siku dan menatapku. "Kenapa kau mengatakan itu?"
"Karena itu bukanlah sesuatu yang menarik bagiku."
"Kau lebih dari sekedar mampu menjalankannya, Anastasia."
"Aku suka membaca buku, Christian. Menjalankan sebuah perusahaan akan menjauhkanku dari hal itu."
"Kau bisa menjadi kepala bagian kreatif."
Aku membeku.
"Kau lihat," lanjutnya, "menjalankan sebuah perusahaan yang sukses adalah tentang mengumpulkan bakat dari tiap individu yang kau miliki di bagianmu. Jika itu adalah tempat di mana bakatmu dan minatmu berada, kemudian kau buat perusahaan untuk bisa melakukannya. Jangan pikir kau tak bisa melakukannya, Anastasia. Kau adalah wanita yang lebih dari sekedar mampu. Kupikir kau bisa melakukan apapun yang kau inginkan jika kau mengarahkan pikiranmu ke sana."
Whoa! Bagaimana ia bisa tahu kalau aku bisa melakukan semua itu?
"Aku juga khawatir jabatan itu akan menyita banyak waktuku."
Christian membeku.
"Waktu yang bisa kucurahkan untukmu." Aku mengeluarkan senjata rahasiaku.
Matanya semakin gelap. "Aku tahu apa yang kau lakukan," gumamnya, terhibur.
Sialan!
"Apa?" aku tetap berpura-pura polos.
"Kau mencoba menggoyahkanku dari urusan ini. Kau selalu melakukannya. Jangan buang ide ini, Ana. Pikirkan. Hanya itu yang ku minta." Ia merunduk dan menciumku cepat, kemudian meluncurkan ibu jarinya di pipiku. Argumen ini akan terus terjadi berulang kali. Aku tersenyum padanya - dan sesuatu yang ia katakan tadi tiba-tiba muncul tanpa dapat di cegah di pikiranku.
"Bisakah aku bertanya sesuatu padamu?" Suaraku lembut.
"Tentu saja."
"Hari ini kau bilang jika aku marah padamu, aku seharusnya melampiaskan itu di tempat tidur. Apa maksudmu?"
Ia diam. "Apa yang kau pikir yang aku maksud?"
Sialan! Aku harus mengatakan itu. "Bahwa kau ingin aku mengikatmu."
Alisnya naik karena terkejut. "Um... tidak. Itu bukan sama sekali yang aku maksud."
"Oh." Aku terkejut karena aku sedikit kecewa di hatiku.
"Kau ingin mengikatku?" tanyanya, jelas ia sedang membaca ekspresiku. Ia terdengar shock. Aku merona.
"Well..."
"Ana, Aku-" ia berhenti, dan sesuatu yang gelap melintas di wajahnya.
"Christian," Aku berbisik, menyadari sesuatu. Aku bergerak jadi aku berbaring di sisiku, menopang tubuhku dengan siku seperti yang ia lakukan. Aku memegang wajahnya. Matanya lebar dan ketakutan. Ia menggelengkan kepalanya sedih.
Sial! "Christian, hentikan. Ini bukan apa-apa. Kupikir itu yang kau maksudkan."
Ia memegang tanganku dan menempatkannya di jantungnya. Sial! Apa ini?
"Ana, aku tak tahu bagaimana rasanya jika kau menyentuhku saat aku sedang dalam keadaan terikat."
Kulit kepalaku serasa tertusuk. Ini seperti dia sedang mengungkapkan sesuatu yang dalam dan gelap.
"Ini masih terlalu baru." Suaranya rendah dan serak.
Sial. Tadi hanya sebuah pertanyaan, dan aku menyadari bahwa ia memikirkannya terlalu jauh, tapi ia masih memiliki jalan yang panjang. Oh, Fifty, Fifty, Fifty. Ketakutan mencengkram hatiku. Aku merunduk dan ia membeku, tapi aku menanamkan kecupan lembut di sudut bibirnya.
"Christian, aku memikirkan hal yang salah. Kumohon jangan khawatir tentang hal itu. Kumohon jangan pikirkan tentang hal itu." Aku menciumnya. Ia menutup matanya, mengerang dan membalas ciumanku, mendorongku ke tempat tidur, tangannya memegang daguku. Dan secepat itu pula kami tersesat... tersesat oleh satu sama lain lagi.
***
BAB 9
Ketika aku terbangun sebelum alarm berbunyi keesokan harinya, Christian membungkus di sekelilingku seperti tanaman merambat, kepalanya di dadaku, lengannya memeluk pinggangku dan kakinya diantara kakiku - dan dia tidur di sampingku. Selalu berada disisi tempat tidur yang sama, jika kami berdebat pada malam sebelumnya, pasti akan berakhir seperti ini, menggulung disekelilingku, membuatku kepanasan dan sedikit terganggu.
Oh, Fifty. Dia sangat membutuhkan kasih sayang pada saat tertentu. Siapa yang mengira?
Bayangan familiar Christian sebagai seorang anak kecil kotor yang malang sangat menghantuiku. Dengan lembut, aku membelai rambutnya yang lebih pendek dan kesedihanku telah mereda. Dia bergerak, dan matanya yang masih mengantuk bertemu dengan mataku. Dia berkedip beberapa kali agar ia bisa terbangun.
"Hai," bisiknya dan tersenyum.
"Hai." Aku menyukai saat-saat bangun untuk melihat senyum itu.
Dia mengendus payudaraku dan bersenandung seakan mengagumi begitu mendalam yang keluar dari tenggorokannya. Tangannya bergerak ke bawah pinggangku, meluncur diatas kain satin baju tidurku yang dingin.
"Kau seperti potongan kecil makanan yang menggiurkan," ia bergumam. "Tapi, meskipun kau baru bangun kau begitu menggoda," ia melirik alarm, "aku harus segera bangun." Dia merentangkan tubuhnya, melepaskan dekapannya dari diriku, lalu bangun.
Aku berbaring, meletakkan tanganku di belakang kepalaku, dan menikmati pemandangan itu - Christian melepaskan semua pakaiannya karena akan segera mandi. Dia begitu sempurna. Aku tidak akan mengubah selembar rambut pun di kepalanya.
"Mengagumi pemandangan, Mrs. Grey?" Christian melengkungan satu alisnya dengan tajam kearahku.
"Sebuah pemandangan tubuh yang sangat indah, Mr. Grey." Dia menyeringai dan melempar celana piyama ke arahku hingga hampir mendarat di wajahku, tapi aku menangkapnya tepat pada waktunya, aku cekikikan seperti anak sekolahan. Dengan menyeringai nakal, dia mengulurkan tangannya ke bawah, menarik selimutku hingga terlepas, menempatkan satu lututnya di tempat tidur dan meraih pergelangan kakiku, menarikku ke arahnya sehingga baju tidurku nyangkut diatas tubuhku. Aku menjerit, dan ia merangkak ke atas tubuhku, ciuman kecilnya menelusuri lututku, pahaku...my... oh...Christian!
***
"Selamat pagi, Mrs. Grey," Mrs. Jones menyapaku. Aku tersipu, merasa malu saat mengingat aku melihat dia sedang berkencan dengan Taylor tadi malam.
"Selamat pagi," aku menjawab saat dia mengulurkan secangkir teh untukku. Aku duduk di kursi bar di samping suamiku, penampilannya bersinar: segar sehabis mandi, rambutnya basah, mengenakan kemeja putih bersih dan dasi perak abu-abu. Dasi favoritku. Aku memiliki kenangan indah dengan dasi itu.
"Apa kabar, Mrs. Grey?" Ia bertanya, matanya hangat.
"Kupikir anda sudah mengetahuinya, Mr Grey." Aku menatapnya dibalik bulu mataku. Dia menyeringai. "Makanlah," perintahnya. "Kemarin kau tidak makan."
Oh, Fifty yang sangat bossy!
"Itu karena kau menjadi bodoh."
Mrs. Jones menjatuhkan sesuatu ke bak cuci yang menimbulkan suara berdentum, membuatku melompat. Christian tampaknya tidak mempedulikan suara itu. Mengabaikannya, dia ia menatapku tanpa ekspresi.
"Bodoh atau tidak - cepat makan." Nada suaranya serius. Aku tidak ingin berdebat dengannya.
"Oke! Ambil sendok, makan granola," aku menggerutu seperti remaja yang sedang merajuk. Aku meraih yoghurt Yunani dan menyendok serealku, diikuti sejumlah blueberry. Aku melirik Mrs. Jones dan ia menangkap mataku. Aku tersenyum, dan dia membalasnya dengan senyum yang hangat. Dialah yang menyediakan beberapa pilihan sarapanku yang disiapkan untuk bulan madu kami.
"Aku mungkin harus pergi ke New York akhir minggu ini." Pemberitahuan Christian menyela lamunanku.
"Oh."
"Ini artinya aku akan menginap. Aku ingin kau ikut denganku."
Oh tidak...
"Christian, aku tidak akan diperbolehkan cuti lagi."
Dia memberiku tatapan yang menyiratkan oh-benarkah-tapi-aku-kan-bosmu.
Aku menghela napas. "Aku tahu kau yang memiliki perusahaan, tapi aku sudah meninggalkan pekerjaanku selama tiga minggu. Please. Bagaimana bisa kau mengharapkan aku untuk menjalankan bisnis jika aku tidak pernah ada disana? Aku akan baik-baik saja di sini. Aku berasumsi kau akan mengajak Taylor, berarti Sawyer dan Ryan akan sini-" Aku berhenti, karena Christian menyeringai padaku. "Apa?" kataku dengan suara agak keras.
"Tidak ada apa-apa. Hanya kau," katanya.
Aku mengerutkan kening. Apakah dia menertawakan aku? Kemudian pikiran buruk muncul dalam benakku. "Naik apa kau ke New York?"
"Jet perusahaan, mengapa?"
"Aku hanya ingin memastikan apakah kau akan naik Charlie Tango atau tidak." Suaraku tenang, dan sebuah getaran berjalan menuruni tulang belakangku. Aku ingat kapan terakhir kali ia menerbangkan helikopternya. Gelombang rasa mual seakan memukulku saat aku mengingat kembali perasaan cemas setiap menit yang kuhabiskan untuk menunggu berita terbarunya. Itu mungkin titik terendah dalam hidupku. Aku menyadari Mrs. Jones juga terdiam. Aku mencoba dan mengabaikan pikiran itu.
"Aku tidak akan terbang ke New York dengan Charlie Tango. Dia tidak memiliki jangkauan yang luas. Selain itu, dia belum kembali dari para teknisi sampai dua minggu mendatang."
Oh... syukurlah. Senyumku sedikit lega, tapi informasi tentang kematian Charlie Tango membuat
pikiran Christian menjadi sangat sibuk dan membutuhkan waktu lebih dalam beberapa minggu terakhir.
"Well, aku senang sebentar lagi dia sudah selesai diperbaiki, tapi-" Aku berhenti. Dapatkah aku mengatakan kepadanya betapa gelisahnya aku ketika ia akan menerbangkannya lain kali?
"Apa?" Tanya dia saat omeletnya sudah habis.
Aku mengangkat bahu.
"Ana?" Katanya, lebih tegas.
"Aku hanya...kau tahu. Terakhir kali kau menerbangkannya - kupikir, kita pikir, kau akan..." Aku tidak bisa menyelesaikan kalimatku, dan ekspresi Christian melembut.
"Hei." Dia meraih keatas untuk membelai wajahku dengan punggung buku jari-jarinya. "Itu sabotase." Ekspresi gelap melintasi wajahnya, dan untuk sesaat aku bertanya-tanya apakah dia tahu siapa yang melakukannya.
"Aku takut kehilangan dirimu," gumamku.
"Lima orang telah dipecat karena hal itu, Ana. Tidak akan terjadi lagi."

Fifty Shades Freed (Fifty Shades #3) (33)

"Disini," aku berbisik jujur. Persetan dengan potong rambut - aku akan lakukan itu nanti. Ia tersenyum lembut, bibirnya membentuk senyuman sensual penuh dengan janji yang nakal.
"Pilihan yang bagus, Mrs. Grey," ia menggumam di bibirku. Ia melepaskan daguku dan tangannya bergerak di lututku. Tangannya meluncur lembut ke atas kakiku, mengangkat rokku dan menjalar di atas kulitku, membuatku geli. Bibirnya menanamkan kecupan-kecupan lembut di sepanjang bawah daun telingaku ke sekitar rahangku.
"Oh, apa yang harus kulakukan padamu?" ia berbisik. Jemarinya berhenti di bagian atas stockingku. "Aku suka ini," bisiknya. Ia menjalarkan satu jari ke bawah stocking dan bergerak menuju paha dalamku. Aku terkejut dan menggeliat di atas pangkuannya.
Ia mengerang, rendah di tenggorokannya. "Jika aku akan bercinta denganmu seven shades of Sunday, aku ingin kau diam dan berhenti bergerak-gerak."
"Buat aku," aku menantangnya, suaraku lembut berupa desahan.
Christian menghirup dalam-dalam. Matanya yang tajam dan menatapku dengan ekspresi yang panas.
"Oh, Mrs. Grey. Kau hanya perlu memintanya." Tangannya bergerak dari bagian atas stockingku menuju celanaku. "Mari kita bebaskan dirimu dari benda ini." Ia menyentakkannya dengan pelan dan aku bergeser sedikit untuk membantunya. Nafasnya mendesis dari celah diantara giginya seperti halnya diriku.
"Tetap diam," gerutunya.
"Aku mencoba," Aku merengut, dan ia menangkap bibir bawahku dengan lembut di antara giginya.
"Diam," erangnya. Ia menurunkan celanaku dari kakiku dan melepasnya. Menarik rokku ke atas jadi terlipat di sekitar pinggulku, ia menggerakkan kedua tangannya ke pinggangku dan mengangkatku. Ia masih memegang celanaku di tanngannya.
"Duduk. Kakangi kakiku," ia memerintah menatap intens ke dalam mataku. Aku bergerak, mengangkanginya, dan menatap provokatif padanya. Ayo mainkan, Fifty!
"Mrs. Grey," ia memperingatkan "Apa kau mendesakku?" Ia menatapku, terhibur tapi juga terangsang. Itu adalah kombinasi yang menggairahkan.
"Ya. Apa yang akan kau lakukan tentang hal itu?"
Matanya menyala dengan kebahagiaan yang cabul mendengar tantanganku, dan aku merasakan tonjolannya di bawahku. "Kaitkan ke dua tanganmu di belakang punggungmu."
Oh! Aku mengikuti dengan patuh dan, ia dengan cepat mengikat kedua lenganku dengan celana dalamku.
"Celana dalamku? Mr. Grey, kau tak punya malu," aku menegurnya.
"Tidak di bagian yang kau perhatikan, Mrs. Grey, tapi kau tahu hal itu." Tatapannya intens dan panas. Meletakkan tangannya di sekeliling pinggangku, ia menggeserku jadi aku duduk lebih kebelakang pangkuannya. Air masih menetes di lehernya dan meluncur di dadanya. Aku ingin merunduk dan menjilati tetesan itu, tapi lebih sulit karena aku sedang diikat.
Christian mengusap kedua pahaku dan meluncurkan tanganku ke lututku. Dengan lembut ia melebarkan kedua kakiku dan melebarkan kedua kakinya juga, menahanku tetap dalam posisi itu. Jemarinya bergerak ke kancing blusku.
"Aku tidak berpikir kalau kita membutuhkan benda ini," katanya. Ia mulai membuka tiap kancing di blusku yang basah, matanya tak pernah meninggalkan mataku. Kedua matanya semakin gelap dan gelap saat ia menyelesaikannya, menikmati waktunya untuk memandangku. Darahku berdesir dan nafasku lebih dalam. Aku tak percaya - ia nyaris tak menyentuhku, dan aku merasa sudah seperti ini - panas, terganggu... siap. Aku ingin menggeliat. Ia membiarkan blus basahku terbuka dan menggunakan kedua tangannya, ia menyentuh wajahku dengan jemarinya, jempolnya mengelus bibir bawahku. Tiba-tiba, ia memasukkan jempolnya ke dalam mulutku.
"Hisap," perintahnya dalam bisikkan, menekankan huruf S. Aku menutup mulutku di sekitar jempolnya dan melakukan seperti yang ia perintahkan. Oh... Aku suka permainan ini. Ia memiliki rasa yang enak. Apa lagi yang bisa aku hisap? Otot di dalam perutku mengencang pada pikiran itu. Bibirnya terbuka saat aku menggesekkan gigiku dan menggigit bagian lembut di jempolnya.
Ia mengerang dan perlahan mengeluarkan jempolnya yang basah dari mulutku dan menggerakkannya ke daguku, turun ke tenggorokanku, keatas belikatku. Ia mengaitkannya ke cup dari bra-ku dan menurunkannya, membebaskan payudaraku.
Tatapan Christian tak pernah meninggalkanku. Ia melihat setiap reaksi yang sentuhannya berikan padaku, dan aku melihatnya. Ini sangat panas. Sempurna. Posesif. Aku menyukainya. Ia mengulangi gerakannya dengan tangan yang lainnya jadi kedua payudaraku terbebas dan, menangkup keduanya dengan lembut, ia menggesekkan jempol diatas puting, memutar dengan lembut, menggoda dan merangsangnya jadi kedua putingku mengeras dan menonjol di bawah sentuhannya yang ahli. Aku mencoba, aku benar-benar mencoba untuk tidak bergerak, tapi kedua putingku tersambung terkoneksi dengan kedua pahaku, jadi aku mengerang dan mendongakkan kepalaku, menutup kedua mataku dan menyerah pada siksaan yang amat manis.
"Shh." Suara menenangkan Christian serentak dengan godaan, bahkan ritme dari jarinya.
"Diam, sayang, diam." Melepaskan salah satu payudara, ia menaruh tangannya di belakang leherku. Condong kedepan, ia mengambil putingku yang bebas dengan mulutnya dan menghisapnya keras, rambut basahnya menggelitik tubuhku. Pada saat bersamaan, jempolnya berhenti di putingku yang lainnya. Kemudian, ia menjepitnya diantara jempol dan jari telunjuknya dan menarik dan memuntirnya dengan lembut.
"Ah! Christian!" Aku mengerang dan tersentak maju di pangkuannya. Tapi ia tak berhenti. Ia melanjutkan dengan lembut, malas, godaan yang menyiksa. Dan tubuhku terbakar saat kenikmatan itu lebih dalam.
"Christian, ku mohon," Aku merengek.
"Hmm," ia menggumam rendah di dadanya. "Aku ingin kau orgasme seperti ini." Putingku sedikit mendapat jeda saat kata-katanya membelai kulitku, dan seperti halnya ia memanggil bagian jiwaku yang dalam dan gelap yang hanya ia yang tahu. Saat melanjutkan dengan giginya kali ini, kenikmatan hampir tak tertahankan. Mengerang keras, aku menggeliat di pangkuannya, mencoba mendapat gesekan yang sangat kuperlukan dengan celananya. Aku menarik lemah tanganku dari celana yang terikat, gatal ingin menyentuhnya, tapi aku tersesat - tersesat dalam sensasi yang berbahaya ini.
"Kumohon," Aku berbisik, memohon, dan kenikmatan menjalar di tubuhku, dari leherku, turun ke kakiku, ke jari kekiku, mengencangkan semuanya.
"Kau memiliki payudara yang indah, Ana." Ia mengerang. "Satu hari nanti aku akan menyetubuhi mereka."
Apa maksud dari semua itu? Membuka mataku, aku meliriknya saat ia menghisapku, kulitku bernyanyi di bawah sentuhannya. Aku tak lagi merasakan blusku yang lengket, rambutnya yang basah... tak merasakan apa pun selain rasa terbakar. Dan rasa itu membakar dengan nikmat panas dan rendah dan dalam di diriku, dan semua pikiran menguap saat tubuhku mengencang dan menegang... siap, meraih... mencari pelepasan. Dan ia tak berhenti - menggoda, menarik, membuatku gila. Aku ingin... Aku ingin...
"Lepaskan," desahnya - dan aku melakukannya, dengan keras, orgasmeku bergetar di tubuhku, dan ia menghentikan siksaannya yang manis dan melingkarkan tangannya di tubuhku, menarikku padanya saat tubuhku melemas akibat klimaksku. Saat aku membuka mataku, ia menatapku yang sedang beristirahat di dadanya.
"Ya Tuhan, aku sangat menyukai melihatmu orgasme, Ana." Suaranya penuh dengan kepuasan.
"Tadi itu..." Kata-kata gagal menggambarkannya.
"Aku tahu." Ia merunduk dan menciumku, tangannya masih berada di leherku, menahanku, mengatur kepalaku jadi ia bisa menciumku lebih dalam - dengan cinta, dan rasa hormat.
Aku tersesat dalam ciumannya.
Ia menarik dirinya untuk mengambil nafas, matanya sewarna dengan badai tropis.
"Sekarang aku akan bercinta denganmu, keras," ia berbisik.
Sial. Memegang pinggangku, ia mengangkatku dari dari pahanya ke ujung dengkulnya dan tangan kanannya mencari kancing di ban pinggang celana biru navy-nya. Ia memainkan jemari tangan sebelah kirinya ke atas dan bawah pahaku, berhenti di ujung atas stockingku setiap kali melakukannya. Ia menatapku intens. Kami berhadapan dan aku tak berdaya, duduk dengan bra dan celana dalamku terikat, menatap kedalam mata abu-abunya yang indah. Itu membuatku
merasa cabul, tapi juga membuatku merasa dekat dengannya - Aku tidak merasa malu. Ini Christian, suamiku, pasanganku, megalomaniakku yang suka memaksa, Fifty-ku - cinta dalam hidupku. Ia meraih ritsletingnya, dan mulutku menjadi kering saat ereksinya terbebaskan.
Ia menyeringai. "Kau suka?" ia berbisik.
"Hmm," aku menggumam menghargainya. Ia membungkus tangannya disekeliling ereksinya dan menggerakkannya ke atas dan ke bawah... Oh my. Aku menatapnya dari bulu mataku. Sialan, dia sangat seksi.
"Kau menggigit bibirmu, Mrs. Grey."
"Itu karena aku lapar."
"Lapar?" Mulutnya terbuka karena terkejut, dan matanya melebar.
"Hmm..." Aku meng-iya-kan dan menjilat bibirku.
Ia memberikanku senyumannya yang mengandung teka-teki dan menggigit bibir bawahnya saat ia melanjutkan memompa dirinya sendiri. Mengapa pemandangan dari suamiku yang sedang memuaskan dirinya sendiri sangat membuatku terangsang?
"Oh. Begitu rupanya. Kau seharusnya menghabiskan makan malammu." Nada suaranya mengejek dan perhatian pada saat bersamaan. "Tapi mungkin aku bisa membantu." Ia meletakkan tangannya di pinggangku. "Berdiri," katanya lembut, dan aku tahu apa yang akan ia lakukan. Aku berdiri dengan kakiku, keduanya tak lagi gemetar.
"Berlutut."
Aku melakukan apa yang diperintahkan di lantai kamar mandi yang dingin. Ia bergeser maju ke ujung kursinya.
"Cium aku," ia berucap sembari memegang ereksinya. Aku meliriknya, dan ia menyapukan lidah ke giginya. Ini menggugah, sangat menggugah hasrat, saat melihat gairahnya, gairahnya yang begitu jelas untuk tubuhku dan mulutku. Kucondongkan tubuhku ke depan, mataku menatap matanya, aku mencium ujung ereksinya. Aku melihatnya menghirup nafas dalam-dalam dan menggertakkan giginya. Christian memegangi kepalaku, dan aku memoleskan lidahku diatas ujung ereksinya, merasakan setetes embun di ujungnya. Hmm... ia terasa lezat. Mulutnya terbuka lebih lebar saat ia tersentak dan aku menelannya, memasukkannya ke dalam mulutku dan menghisapnya keras.
"Ah-" udara mendesis di sela giginya, dan ia menyentakkan pinggulnya ke depan, mendorong ke dalam mulutku. Tapi aku tak berhenti. Menyarungi gigiku di bawah bibirku, aku mendorong ke bawah dan menarik ke atas ereksinya. Ia menggerakkan kedua tangannya jadi kini ia benar- benar memegangi kepalaku, mengubur jemarinya di bawah rambutku dan dengan pelan menggerakkan dirinya masuk dan keluar dari mulutku, nafasnya semakin cepat, semakin kasar. Aku memutar lidahku di atas ujungnya dan menekan lagi tepat setelahnya.
"Ya Tuhan, Ana." Ia mendesah dan menutup matanya rapat. Ia tersesat dan itu memabukkan, responnya atas yang ku lakukan. Aku. Dewi batinku bisa membakar Escala, dia sangat bergairah. Dan dengan sangat perlahan aku menarik bibirku, jadi yang tertinggal hanya gigiku.
"Ah!" Christian berhenti bergerak. Mendesak maju ia memeganku dan menarikku ke atas pangkuannya.
"Cukup!" ia mengerang. Meraih ke belakang tubuhku, ia membebaskan tanganku dengan satu
sentakan dari celana dalamku. Aku merenggangkan pergelangan tanganku dan menatap dari bulu mataku ke mata terbakar yang membalas tatapanku dengan cinta dan kerinduan dan gairah. Dan aku sadar bahwa akulah yang ingin bercinta seven shades of Sunday dengannya. Aku menginginkannya dengan amat sangat. Aku ingin melihatnya datang di bawahku. Aku menggenggam ereksinya dan bergerak ke atas tubuhnya. Menempatkan tanganku yang lain di bahunya, dengan lembut dan perlahan, aku menurunkan tubuhku ke tubuhnya. Ia membuat suara parau, buas yang dalam di tenggorokkannya dan, meraih ke atas, menarik lepas blusku membiarkannya terjatuh di lantai. Tangannya bergerak ke pinggulku.
"Diam," ia berkata parau, tangannya menancap di dagingku. "Kumohon, biarkan aku menikmati ini. Menikmati dirimu."
Aku berhenti. Oh my... ia terasa nikmat di dalam tubuhku. Ia menyentuh wajahku, matanya lebar dan liar, bibirnya terbuka saat ia bernafas. Ia menegangkan ototnya di bawahku dan aku merintih, menutup mataku.
"Ini adalah tempat favorit-ku," ia berbisik. "Di dalam dirimu. Di dalam istriku."
Oh sial. Christian. Aku tak bisa menahan diri. Jari-jariku bergerak di atas rambutnya yang basah, bibirku mencari bibirnya, dan aku mulai bergerak. Naik dan turun, menikmatinya, menikmati diriku. Ia mengerang keras, dan tangannya berada di rambutku dan memeluk punggungku, dan lidahnya menginvasi mulutku dengan serakah, merebut semua yang dengan suka rela kuberikan. Setelah semua argumentasi kami hari ini, rasa frustasiku padanya, dia padaku - kami masih memiliki ini. Kami akan selalu memiliki ini. Aku sangat mencintainya, rasanya hampir terlalu berlebihan. Tangannya bergerak ke punggungku dan ia mengontrolku, menggerakkanku ke atas dan ke bawah, lagi dan lagi, dengan kecepatannya - temponya yang panas, dan licin.
"Ah," Aku mengerang tanda menyerah di mulutnya saat aku terlena.
"Yes. Yes, Ana," ia mendesis, dan aku menghujani ciuman di wajahnya, dagunya, rahangnya, lehernya. "Baby," desahnya, menangkap mulutku sekali lagi.
"Oh, Christian, Aku mencintaimu. Aku akan selalu mencintaimu." Aku kehabisan nafas, menginginkan agar dia tahu, ingin dia yakin padaku setelah pertengkaran kami hari ini.
Ia mengerang keras dan mendekapku erat saat ia klimaks dengan rintihan yang suram, dan itu sudah cukup - cukup untuk mendorongku ke dalam jurang sekali lagi. Aku melingkarkan tanganku di lehernya dan melepaskannya, dan aku orgasme pada dirinya, air mata menetes karena aku sangat mencintainya.
"Hey," ia berbisik, memegang daguku dan memperhatikanku begitu dalam. "Mengapa kau menangis? Apakah aku menyakitimu?"
"Tidak," rengutku meyakinkannya. Ia mengelus rambut dari wajahku, menyapu air mata dengan jemppolnya dan dengan lembut mengecup bibirku. Ia masih berada di dalam diriku. Ia bergerak, dan aku mengerjap saat ia menarik keluar dari tubuhku.
"Ada apa, Ana? Katakan padaku."
Aku menarik napas. "Itu hanya... Hanya terkadang aku terlalu terbawa perasaan betapa aku mencintaimu," aku berbisik.
Setelah beberapa saat, ia menyunggingkan senyuman spesial malu-malunya - hanya untukku, kurasa. "Kau memiliki efek yang sama padaku," ia berbisik, dan menciumku sekali lagi. Aku tersenyum, dan di dalam kebahagiaan membuncah dan bertebaran dengan malas.
"Benarkah?"
Ia menyeringai. "Kau tahu itu benar."
"Terkadang aku tahu. Tapi tidak selalu."
"Kembali padamu, Mrs. Grey," ia berbisik.
Aku tersenyum dan dengan lembut menanamkan kecupan selembut bulu di dadanya. Aku menyentuh bulu di dadanya. Christian mengelus rambutku dan melarikan satu tangannya ke punggungku. Ia melepas bra-ku dan menurunkan talinya dengan satu tangan. Aku bergeser, dan ia menurunkan tali lainnya dengan tangan satunya dan menjatuhkan bra-ku di lantai.
"Hmm. Sentuhan kulit ke kulit," gumamnya senang dan mendekapku di dalam pelukannya lagi. Ia mencium bahuku dan menggulirkan hidungnya ke telingaku. "Kau beraroma seperti surga, Mrs. Grey."
"Sama sepertimu, Mr. Grey." Aku menyenderkan kepalaku di dadanya lagi dan menghirup aroma tubuh Christian, yang mana sekarang sudah tercampur dengan aroma keras dari seks. Aku bisa tetap diam terbungkus dalam tangannya seperti ini, terduduk dan bahagia, selamanya. Inilah yang aku butuhkan setelah satu hari penuh di kantor, berdebat dan saling mempermalukan. Disinilah dimana aku ingin berada, dan terlepas dari gila-kontrol-nya, megalomania-nya, disinilah di mana seharusnya aku berada. Christian mengubur hidungnya di rambutku dan menghirup aromanya dalam. Aku melepaskan desahan, dan merasakan senyumannya. Dan kami duduk, lengan terkunci satu sama lain, tak berkata sepatah katapun.
Akhirnya realitas menyadarkan kita.
"Ini sudah malam," kata Christian, jemarinya mengelus punggungku.
"Rambutmu masih harus di cukur."
Ia terkekeh. "Sepertinya begitu, Mrs. Grey. Apa kau masih punya energi untuk menyelesaikan pekerjaan yang sudah kau mulai?"
"Untukmu, Mr. Grey, apapun." Aku mencium dadanya sekali lagi dan berdiri.
"Jangan pergi." Memegang pinggulku, ia memutarku. Ia berdiri kemudian membuka rokku, membiarkannya jatuh ke lantai. Ia mengulurkan tangannya padaku. Aku menyambutnya dan melangkah keluar dari rokku. Sekarang aku hanya mengenakan stocking dan garter belt.
"Kau adalah pemandangan yang luar biasa indah, Mrs. Grey." Ia kembali duduk di kursi dan melipat lengannya, memberikanku penilaian yang jujur dan menyeluruh.
Aku mengulurkan tangan dan berputar untuknya.
"Tuhan, aku bajingan yang beruntung," katanya mengagumiku.
"Ya, itu memang kau."
Ia menyeringai. "Pakai kemejaku dan kau bisa mulai memangkas rambutku. Seperti ini, kau akan menggangguku, dan kita tak kan pernah pergi tidur."
Aku tak bisa menahan senyumanku. Tahu ia memperhatikan tiap gerakkanku, aku melenggang ke tempat di mana kami melepaskan sepatuku dan kemejanya. Merunduk perlahan, aku meraih, mengambil kemejanya, menghirup aromanya - hmm - kemudian memakainya.
Mata Christian membulat. Ia memperhatikanku dengan intens.
"Pertunjukan yang bagus, Mrs. Grey."
"Apa kita punya gunting?" Aku bertanya polos, mengibaskan bulu mataku.
"Di ruang kerjaku," katanya serak.
"Aku akan mencarinya." Meninggalkannya, aku berjalan ke kamar kami dan mengambil sisirku dari meja rias sebelum bergerak menuju ruang kerjanya. Saat aku masuk ke koridor utama, aku melihat pintu ruang kerja Taylor terbuka. Mrs. Jones sedang berdiri tepat di depan pintu. Aku berhenti, diam di tempat.
Taylor menyapukan jemarinya di wajah Mrs. Jones dan tersenyum manis padanya. Kemudian ia merunduk dan menciumnya.
Sialan! Taylor dan Mrs. Jones? Aku ternganga - Maksudku, kupikir... well, aku sedikit curiga. Tapi mereka benar-benar bersama! Aku merona, merasa seperti tukang intip, dan memutuskan untuk membuat kakiku bergerak. Aku berlari cepat melewati ruang utama dan masuk ke dalam ruang kerja Christian. Menyalakan lampu, aku berjalan ke mejanya. Taylor dan Mrs. Jones... Wow! Aku terhuyung. Aku selalu berpikir Mrs. Jones lebih tua dari pada Taylor. Oh, aku harus berhenti memikirkan itu. Aku membuka laci teratas dan secepat itu pula aku teralihkan saat aku menemukan sebuah pistol. Christian memiliki sebuah pistol!
Sebuah revolver. Sial! Aku tak habis pikir Christian memiliki sebuah pistol. Aku mengambilnya, melepas sarungnya dan memeriksa silinder-nya. Itu terisi penuh, tapi ringan... terlalu ringan. Ini pasti serat karbon. Apa yang Christian perlukan dengan sebuah pistol? Astaga, aku harap ia tahu bagaimana menggunakannya. Peringatan Ray yang berulang-kali tentang senjata api memutar ulang di kepalaku. Pelatihan militernya tak pernah terlupa. Benda ini bisa membunuhmu, Ana. Kau harus tahu apa yang kau lakukan saat kau memegang sebuah senjata api. Aku menaruh pistol itu kembali dan menemukan gunting. Mengambil dengan cepat, aku berlari kembali ke Christian, kepalaku pening. Taylor dan Mrs. Jones... revolver itu...
Di pintu masuk ruang utama, aku bertemu dengan Taylor.
"Mrs. Grey, maafkan saya." Wajahnya memerah saat ia dengan cepat melirik pakaianku.
"Um, Taylor, hi... um. Aku sedang memangkas rambut Christian!" kataku spontan, merasa malu. Taylor sama malunya denganku. Ia membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu kemudian menutupnya dengan cepat dan menyingkir.
"Anda lebih dulu, ma'am," katanya formal. Aku merasa aku sewarna Audi lamaku, Audi spesial submisiv-ku. Astaga. Bisakah ini lebih memalukan lagi?
"Terima kasih," aku menggumam dan berlari di lorong. Sialan! Bisakah aku terbiasa dengan fakta bahwa kami tidak hanya berdua? Aku berlari ke kamar mandi, kehabisan nafas.
"Ada apa?" Christian berdiri di depan cermin, memegang sepatuku. Semua pakaianku yang tadinya bertebaran kini sudah tertumpuk rapi di keranjang pakaian kotor.
"Aku baru saja berpapasan dengan Taylor."
"Oh." Christian membeku. "Berpakaian seperti itu."
Oh sial! "Itu bukan salah Taylor."
Christian semakin membeku. "Tidak. Tapi tetap saja."
"Aku berpakaian."
"Satu lapis."
"Aku tak tahu siapa yang lebih malu, aku atau dia." Aku mencoba memakai teknik pengalih perhatianku. "Apa kau tahu bahwa ia dan Gail adalah... well, pasangan?"
Christian tertawa. "Ya, tentu saja aku tahu."
"Dan kau tak pernah memberitahuku?"
"Kupikir kau tahu juga."
"Tidak."
"Ana, mereka berdua sudah dewasa. Mereka tinggal di satu atap. Dua-duanya tidak punya pasangan. Dua-duanya menarik."
Aku merona, merasa bodoh karena tak menyadarinya.
"Well, jika kau mengatakan begitu... Aku baru berpikir bahwa Gail lebih tua daripada Taylor."
"Memang, tapi tidak terlalu banyak." Ia menatapku, bingung. "Beberapa pria menyukai wanita yang lebih tua-" Ia berhenti tiba-tiba dan matanya melebar.
Aku menatap garang padanya. "Aku tahu itu," bentakku.
Christian terlihat menyesal. Ia tersenyum sayang padaku. Ya! Teknik pengalih perhatianku berhasil! Alam bawah sadarku memutar matanya padaku - tapi untuk apa? Sekarang nama yang tak terucap Mrs. Robinson kembali menghantui kami.