Fifty Shades Freed (Fifty Shades #3) (27)

Dia terdiam, seluruh tubuhnya menegang pada tubuhku. "Belum," ia menyatakan, ketakutan jelas dalam suaranya.
"Tidak! Belum dulu!"
Ia menjadi tenang. "Dalam hal itu kita bisa sepakat, Mrs. Grey."
"Kau menginginkan anak, iya kan?"
"Tentu, ya. Nantinya. Tapi aku belum siap untuk membagimu." Dia mencium leherku lagi.
Oh...berbagi?
"Apa yang kau buat? Kelihatannya enak." Dia mencium belakang telingaku, dan aku tahu itu untuk mengalihkan perhatianku. Sebuah gelitikan nikmat menjalar ke bawah tulang belakangku.
"Sub." Aku menyeringai, memulihkan rasa humorku.
Dia tersenyum di leherku dan mengapit telingaku. "Favoritku."
Aku menyodoknya dengan sikuku.
"Mrs. Grey, kau melukaiku." Dia mencengkeram sisi tubuhnya seolah-olah sedang kesakitan.
"Cengeng," Aku bergumam setuju.
"Cengeng?" Ia berucap tak percaya. Dia menampar pantatku, membuatku menjerit kaget. "Cepat selesaikan makananku, dara. Dan kemudian aku akan menunjukkan padamu seberapa secengengnya aku." Dia menamparku main-main sekali lagi dan pergi ke lemari es.
"Apakah kau ingin segelas anggur?" Dia bertanya.
"Boleh."
***
Christian membentangkan rancangan Gia di atas meja sarapan. Dia benar-benar memiliki beberapa ide spektakuler.
"Aku suka usulannya untuk membuat seluruh bagian belakang lantai bawah menjadi dinding kaca, tapi... "
"Tapi?" Desak Christian.
Aku mendesah. "Aku tidak ingin merubah seluruh karakter rumah itu."
"Karakter?"
"Ya. Apa yang Gia usulkan cukup radikal, namun...Yah... Aku jatuh cinta dengan rumah itu apa adanya...dengan segala kekurangannya."
Alis Christian berkerut seolah-olah ini adalah kutukan bagi dirinya.
"Aku suka apa adanya," bisikku. Apakah ini akan membuatnya marah? Dia memandangku terus- menerus. "Aku ingin rumah ini menjadi seperti yang kau inginkan. Apa pun yang kau kehendaki. Itu milikmu."
"Aku ingin kau menyukainya juga. Merasa bahagia di dalamnya juga."
"Aku akan senang dimanapun kau berada. Sesederhana itu, Ana." Tatapannya bertatut dengan tatapanku. Dia benar-benar, sangat tulus. Aku berkedip padanya saat hatiku mengembang. Astaga, ia benar-benar mencintaiku.
"Baiklah" – aku menelan ludah, melawan simpul kecil emosi yang ada di tenggorokan – “Aku suka dinding kaca itu. Mungkin kita bisa meminta dia untuk menggabungkannya di dalam rumah dengan cara yang lebih simpatik."
Christian menyeringai. "Tentu. Apa pun yang kau inginkan. Bagaimana dengan rencana untuk lantai atas dan ruang bawah tanah?"
"Aku setuju dengan itu."
"Baik."
Oke...Aku menguatkan diri untuk mengajukan pertanyaan bernilai jutaan dollar. "Apakah kau ingin memasukkan playroom?" Aku merasakan rona-yang-sangat-akrab merayapi wajahku saat aku bertanya. Alis Christian melengkung.
"Apakah kau mau?" Ia menjawab, terkejut dan senang sekaligus.
Aku mengangkat bahu. "Um...jika kau menginginkannya."
Dia memandangku sejenak. "Mari kita biarkan pilihan kita terbuka untuk saat ini. Bagaimanapun juga, ini akan menjadi rumah keluarga."
Aku terkejut oleh rasa kekecewaan yang menusuk. Kupikir dia benar... meskipun kapan kita akan memiliki keluarga? Bisa jadi setahun.
"Selain itu, kita bisa berimprovisasi." Dia menyeringai.
"Aku suka berimprovisasi," bisikku. Dia menyeringai. "Ada sesuatu yang ingin aku diskusikan." Christian menunjuk pada gambar kamar tidur utama, dan kami memulai melakukan diskusi secara rinci tentang kamar mandi dan ruang tempat pakaian yang terpisah.
Ketika kami selesai, jam menunjukkan pukul sembilan tiga puluh malam hari.
"Apakah kau akan kembali bekerja?" Tanyaku pada Christian saat ia menggulung rancangan rumah itu.
"Tidak jika kau tidak mau aku kembali bekerja." Dia tersenyum. "Apa yang ingin kau lakukan?"
"Kita bisa menonton TV." Aku tidak ingin membaca, dan aku tidak ingin pergi ke tempat tidur...belum.
"Oke," Setuju Christian dengan rela, dan aku mengikutinya ke ruang TV.
Kami telah duduk di sini tiga, mungkin empat kali totalnya, dan Christian biasanya membaca buku. Dia tidak tertarik dengan televisi sama sekali. Aku meringkuk di sampingnya di sofa, menyelipkan kakiku di bawah tubuhku dan mengistirahatkan kepalaku di bahunya. Dia menyalakan televisi layar datar dengan remote dan mengklik berbagai saluran tanpa berpikir.
"Ada saluran omong-kosong tertentu yang ingin kau lihat?"
"Kau tidak terlalu suka TV, kan?" Aku bergumam sinis.
Dia menggeleng. "Buang-buang waktu. Tapi aku akan menonton sesuatu denganmu."
"Ku pikir kita bisa bercumbu saja."
Wajahnya bergerak tiba-tiba menatap wajahku. "Bercumbu?" Dia memandangku seolah-olah kepalaku tumbuh menjadi dua. Dia berhenti mengklik saluran yang tak berujung, meninggalkan TV menyala pada opera sabun Spanyol.
"Ya." Mengapa dia begitu ketakutan?
"Kita bisa pergi ke tempat tidur dan bercumbu."
"Kita melakukan itu sepanjang waktu. Kapan terakhir kali kau bercumbu di depan TV?" Aku bertanya, malu dan menggoda pada waktu yang sama?
Dia mengangkat bahu dan menggelengkan kepalanya. Menekan remote lagi, ia mengklik melalui beberapa saluran yang lain sebelum menetap pada episode lama The X-Files.
"Christian?"
"Aku tidak pernah melakukan itu," katanya pelan.
"Tidak pernah?"
"Tidak"
"Bahkan tidak dengan Mrs Robinson?"
Dia mendengus. "Sayang, aku melakukan banyak hal dengan Mrs Robinson. Bercumbu tidak
termasuk salah satunya." Ia menyeringai padaku dan kemudian menyempitkan matanya dengan rasa ingin tahu dan penuh kegelian. "Apa kau pernah?"
Wajahku merona. "Tentu saja." Ya semacam itu...
"Apa! Dengan siapa?"
Oh tidak. Aku tidak ingin mendiskusikan ini.
"Katakan padaku," Ia bersikeras.
Aku memandang pada jari-jariku yang saling terkait. Dengan lembut ia menangkupkan tanganku dengan salah satu tangannya. Ketika aku melirik ke arahnya, dia tersenyum padaku.
"Aku ingin tahu. Jadi aku bisa menghajar siapa pun itu menjadi bubur."
Aku tertawa. "Yah, untuk pertama kali..."
"Pertama kali! Jadi ada lebih dari satu keparat?" Dia menggeram. Aku tertawa lagi. "Mengapa begitu terkejut, Mr. Grey?"
Dia mengernyit sebentar, menggerakkan tangannya melalui rambutnya, dan menatapku seolah- olah melihatku dalam pemahaman yang sama sekali berbeda. Dia mengangkat bahu. "Aku memang terkejut. Maksudku – mengingat dirimu yang kurang pengalaman."
Aku merona. "Tentu saja aku tidak lagi seperti itu sejak aku bertemu denganmu."
"Memang seharusnya begitu." Dia menyeringai. "Katakan padaku. Aku ingin tahu."
Aku menatap pada mata abu-abu yang bergairah, mencoba untuk mengukur suasana hatinya. Apakah ini akan membuatnya marah, atau apakah ia benar-benar ingin tahu? Aku tidak ingin dia merajuk...dia menjadi tidak masuk akal ketika dia merajuk.
"Kau benar-benar ingin aku memberitahumu?"
Dia mengangguk sekali dengan perlahan, dan bibirnya berkedut karena rasa geli, tersenyum arogan.
“Aku sempat beberapa saat berada di Vegas bersama Ibu dan Suami nomor Tiga-nya. Saat itu kau kelas sepuluh. Namanya Bradley, dan ia adalah partner lab fisika-ku."
"Berapa umurmu?"
"Lima belas."
"Dan apa yang pekerjaan dia sekarang?"
"Aku tidak tahu."
“Atas dasar apa dia berbuat seperti itu?"
"Christian!" Aku memarahinya – dan tiba-tiba ia meraih lututku, lalu pergelangan kakiku, dan mengangkat ujung kakiku ke atas sehingga aku jatuh ke sofa. Dia meluncur dengan mulus di atas tubuhku, menjebakku di bawahnya, satu kaki diantara kakiku. Ini begitu tiba-tiba hingga aku berteriak kaget. Dia memegang tanganku dan mengangkatnya di ke atas kepalaku.
"Jadi, si Bradley ini – dia mendapat base pertama (bercumbu dan french kiss)?" Ia bergumam, menjalankan hidungnya di sepanjang hidungku. Dia menanamkan ciuman lembut di sudut mulutku.
"Ya," bisikku di bibirnya. Dia melepaskan salah satu tangannya sehingga dia bisa menjepit daguku dan menahanku untuk tetap diam sementara lidahnya menyerang mulutku, dan aku menyerah pada ciuman bernafsunya.
"Seperti ini?" Christian menghela napas saat ia mencari udara.
"Tidak...tidak seperti itu,” Aku mengatur diriku saat seluruh darah ditubuhku turun kebawah.
Melepaskan daguku, ia menjalankan tangannya ke atas tubuhku dan menangkup payudaraku. "Apakah dia melakukan ini? Menyentuhmu seperti ini?” Jempolnya meluncur di atas putingku, melalui kamisolku, lembut, berulang-ulang, dan putingku mengeras di bawah sentuhan ahlinya.
"Tidak." Aku menggeliat di bawahnya.
"Apakah dia sampai ke base kedua (memegang payudara)?" Ia bergumam di telingaku. Tangannya bergerak ke bawah tulang rusukku, lewat melalui pinggang menuju pinggulku. Dia menggigit daun telingaku di antara giginya dan menariknya dengan lembut.
"Tidak," Aku bernapas.
Mulder (tokoh FBI dari serial The X-File) mengatakan sesuatu tentang rahasia dari yang paling tidak diinginkan FBI. Christian menjeda siaran tersebut, bersandar, dan menekan tombol mute pada remote. Dia menatapku.
"Bagaimana dengan Joe Schmo (orang idiot) nomor dua? Apakah dia melewati base ke dua?"
Matanya membara panas...marah? bergairah? Sulit untuk mengatakan yang mana. Dia bergeser ke sampingku dan mengeser tangannya ke bawah celanaku.
"Tidak," bisikku, terjebak dalam tatapan bernafsunya. Christian tersenyum jahat.
"Bagus." Tangannya menangkup organ seksku. "Tidak memakai celana dalam, Mrs. Grey. Aku setuju." Dia menciumku lagi saat jari-jarinya menjalin lebih banyak keajaiban, jempolnya meluncur diatas klitorisku, menggodaku, saat ia mendorong jari telunjuknya ke dalam diriku dengan sangat halus dan pelan.
"Kita seharusnya bercumbu." Erangku.
Christian terdiam. "Kupikir itu yang sedang kita lakukan?"
"Tidak. Tidak ada seks."
"Apa?"
"Tidak ada seks. . . "
"Tidak ada seks, huh?" Dia menarik kembali tangannya dari dalam celanaku. "Ini." Dia menelusuri bibirku dengan jari telunjuknya, dan aku merasakan rasa asin tubuhku. Dia mendorong jarinya ke dalam mulutku, meniru apa yang dia lakukan sesaat sebelumnya. Kemudian bergeser sehingga tubuhnya ada diantara kakiku, dan ereksinya mendorong tubuhku. Dia mendesakannya, sekali, dua kali, dan lagi. Aku terkesiap saat bahan celanaku menggosok pada saat yang bersaman. Dia mendorong lagi, menggiling ke dalam diriku.
"Ini kah yang kau inginkan?" Gumamnya dan menggerakan pinggulnya dengan berirama, mengoyang tubuhku.
"Ya." Rintihku.
Tangannya sekali lagi bergerak kembali untuk berkonsentrasi pada putingku dan giginya menggesek di sepanjang rahangku. "Apakah kau tahu betapa seksinya dirimu, Ana?" Suaranya serak saat ia menggesek dengan tubuhnya ke tubuhku. Aku membuka mulutku untuk memberikan tanggapan dengan ucapan yang jelas namun gagal secara tidak keruan, dan mengerang keras. Dia menangkap mulutku sekali lagi, menarik-narik bagian bibir bawahku dengan giginya sebelum lidahnya menyelinap ke dalam mulutku lagi. Dia melepaskan pergelanganku yang lain dan tanganku menjelajahi dengan rakus sampai bahunya dan ke rambutnya saat ia menciumku. Ketika aku menarik rambutnya, dia mengerang dan mengangkat matanya untuk menatapku. "Ah..."
"Apakah kau suka aku menyentuhmu?" Bisikku.
Alisnya berkerut sesaat seolah-olah ia tidak mengerti pertanyaanku. Dia berhenti menindih tubuhku. "Tentu saja aku suka. Aku sangat suka kau menyentuhku, Ana. Aku seperti pria kelaparan di pesta ketika sentuhanmu datang." Suaranya berdengung dengan penuh gairah yang tulus.
Astaga...
Dia berlutut di antara kedua kakiku dan menyeretku bangun untuk menarik bajuku. Aku telanjang di bawahnya. Meraih ujung kemejanya, ia menyentak ke atas kepalanya dan melemparkan kemejanya ke lantai, kemudian menarikku ke pangkuannya saat ia masih berlutut, tangannya menggenggam tepat di panggulku.
"Sentuhlah aku," dia menghembuskan napas.
Oh my. . . Dengan ragu aku menggapainya dan ujung jariku menyapu melalui segelintir bulu dada diatas tulang dadanya, diatas bekas luka bakarnya. Dia menghirup napas tajam dan pupil matanya membesar, tapi tidak dengan rasa takut. Ini adalah respon terhadap sentuhan sensualku. Dia menatapku dengan penuh perhatian ketika jariku mengambang dengan hati-hati
di atas kulitnya, pertama ke satu puting dan kemudian ke puting yang lain. kedua puting itu mengerut dibawah belaianku. Miring ke depan, Aku menanamkan ciuman lembut di dadanya, dan tanganku berpindah ke bahunya, merasakan kerasnya, barisan pahatan dari urat dan ototnya. Ya Tuhan... bentuk tubuhnya sungguh indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar