Fifty Shades Freed (Fifty Shades #3) (16)

Taylor dan Gaston mengikutiku dengan patuh melalui kerumunan sore, dan aku segera melupakan keberadaan mereka. Aku ingin membeli sesuatu untuk Christian, sesuatu untuk mengalihkan pikirannya dari apa yang terjadi di Seattle. Tapi apa yang harus aku beli untuk pria yang memiliki segalanya? Aku berhenti di sebuah alun-alun modern kecil yang dikelilingi oleh toko-toko dan menatap di masing-masing secara berurutan. Ketika aku melihat pada toko elektronik, kunjungan kami sebelumnya ke galeri hari ini dan kunjungan kami ke Louvre kembali dalam ingatanku. Kami sedang melihat Venus de Milo pada saat itu...Kata-kata Christian bergema di kepalaku, "Kita semua dapat menghargai bentuk perempuan. Kita senang memandangnya apakah itu dari marmer atau cat minyak atau satin atau film."
Ini memberiku ide, ide berani. Aku hanya perlu bantuan untuk memilih yang tepat, dan hanya ada satu orang yang bisa membantuku. Aku bergulat mengeluarkan Blackberry-ku dari tas dan menelepon José.
"Siapa...?" Gumamnya mengantuk.
"José, ini Ana."
"Ana, hi! Dimana kau? Kau baik-baik saja." Dia terdengar lebih waspada sekarang, khawatir.
"Aku di Cannes di Prancis Selatan, dan aku baik-baik saja."
"Prancis Selatan, huh? Kau menginap di hotel mewah?"
"Um...tidak. Kami tinggal di kapal."
"Sebuah kapal?"
"Sebuah kapal besar." Aku mengklarifikasi, mendesah.
"Aku tahu." Nada suaranya dingin... Sial, tidak seharusnya aku meneleponnya. Aku tidak butuh ini sekarang.
"José, aku butuh saranmu."
"Saranku?" Dia terdengar tertegun. "Tentu," katanya, dan kali ini dia jauh lebih ramah. Aku katakan padanya rencanaku.
Dua jam kemudian, Taylor membantuku keluar dari peluncuran motor untuk melangkah naik ke
atas dek. Gaston membantu kelasi dengan Jet Ski-nya. Christian tidak terlihat dimanapun, dan aku bergegas ke kabin kami untuk membungkus hadiahnya, merasa seperti kekanak-kanakan karena rasa yang menyenangkan.
"Kau pergi cukup lama." Christian mengejutkanku tepat saat aku menempelkan potongan plester terakhir. Aku berbalik dan menemukannya berdiri di ambang pintu menuju kabin, menatap lekat-lekat. Ya ampun! Apakah aku masih dalam masalah karena urusan Jet Ski? Atau apakah karena masalah kebakaran di kantornya?
"Segala sesuatu terkontrol di kantormu?" Aku bertanya ragu-ragu.
"Kurang lebih," katanya, yang cemberut kesal melayang di wajahnya.
"Aku belanja sedikit," bisikku, berharap untuk meringankan suasana hatinya, dan berdoa kekesalannya tidak ditujukan padaku. Dia tersenyum hangat, dan aku tahu kami baik-baik saja.
"Apa yang kau beli?"
"Ini," Aku menempatkan kakiku di atas tempat tidur dan menunjukkan padanya gelang kakiku.
"Bagus sekali," katanya. Dia melangkah padaku dan membelai lonceng kecilnya sehingga berdenting manis di sekitar pergelangan kakiku. Dia mengerutkan kening lagi dan menelusuri dengan jari-jarinya dengan lembut disepanjang tanda di kakiku, mengirim gelenyar naik sampai kakiku.
"Dan ini." Aku mengeluar kotak, berharap untuk mengalihkan perhatiannya.
"Untukku?" Tanya dia heran. Aku mengangguk malu-malu. Dia mengambil kotak dan menggoncangnya lembut. Dia menyeringai kekanak-kanakan, senyum mempesona dan duduk di sisiku di tempat tidur. Membungkuk, ia mencengkeram daguku dan menciumku.
"Terima kasih," katanya dengan malu-malu gembira.
"Kau belum membukanya."
"Aku akan menyukainya, apapun itu." Dia menatap ke arahku, matanya bersinar.
"Aku tidak pernah dapat banyak hadiah."
"Sulit untuk membeli barang-barang untukmu. Kau memiliki segalanya."
"Aku memiliki dirimu."
"Memang." Aku menyeringai padanya. Oh, begitu juga kau, Christian.
Dia membuka kertas pembungkusnya dengan singkat. "Sebuah Nikon?" Dia melirik ke arahku, bingung.
"Aku tahu kau memiliki kamera digital compact-mu, tapi ini adalah untuk... um...potret dan sejenisnya. Bersama dengan dua lensa."
Dia berkedip padaku, masih belum paham.
"Hari ini di galeri kau menyukai foto Florence D’elle. Dan aku ingat apa yang kau katakan di Louvre. Dan tentu saja, ada foto-foto lainnya." Aku menelan ludah, berusaha yang terbaik untuk tidak mengingat gambar yang aku temukan di lemari.
Dia berhenti bernapas, matanya melebar saat pemahaman datang padanya, dan aku melanjutkan dengan buru-buru sebelum aku kehilangan keberanian.
"Aku pikir kau mungkin, um...ingin mengambil gambar...ku."
"Gambarmu?" Ia menatapku, mengabaikan kotak di pangkuannya.
Aku mengangguk, berusaha keras untuk mengukur reaksinya. Akhirnya ia menatap kembali pada kotak itu, jari-jarinya menelusuri di atas ilustrasi kamera di bagian depan dengan rasa kagum dan terpesona.
Apa yang dipikirkannya? Oh, ini bukan reaksi yang kuharapkan, dan bawah sadarku melotot padaku seperti aku binatang rumah peliharaan. Christian tidak pernah bereaksi dalam cara yang aku harapkan. Dia menatapku kembali, matanya penuh dengan apa, rasa sakit?
"Kenapa kau pikir aku menginginkan ini?" Ia bertanya, bingung.
Tidak, tidak, tidak! Kau bilang kau akan menyukainya...
"Tidakkah kau menyukainya?" Aku bertanya, menolak untuk mengakui alam bawah sadarku yang mempertanyakan mengapa ada orang yang menginginkan foto erotisku. Christian menelan dan memegang rambutnya, dan ia tampak begitu kehilangan arah, sangat bingung. Dia mengambil napas dalam.
"Bagiku, foto seperti itu biasanya hanya sebagai polis asuransi, Ana. Aku tahu aku sudah mengobjektifikasi wanita begitu lama," katanya dan mengambil jeda dengan canggung.
"Dan menurutmu memotretku adalah...um, mengobjektifikasi diriku?" Semua udara meninggalkan tubuhku, dan darah mengalir dari wajahku.
Dia mengerutkan matanya. “Aku jadi bingung," bisiknya. Ketika ia membuka matanya lagi, matanya lebar dan waspada, penuh emosi yang liar.
Sial. Apakah itu aku? Pertanyaan baru-baru ini tentang ibu kandungnya? Kebakaran di kantornya?
"Kenapa kau berkata begitu?" Bisikku, panik melanda di tenggorokanku. Kupikir dia bahagia. Aku pikir kita senang. Kupikir aku membuatnya bahagia. Aku tak ingin membuatnya bingung. Itukah yang kulakukan? Pikiranku mulai berpacu. Dia tidak mendatangi Flynn hampir tiga minggu.
Apakah itu? Apakah itu alasan dia mengungkapkannya? Sial, haruskah aku menghubungi Flynn? Dan dalam momen yang boleh jadi unik dari kedalaman yang luar biasa dan kejelasan yang muncul, datang padaku – kebakaran, Charlie Tango, Jet Ski... Dia ketakutan, dia takut karena aku, dan melihat bekas-bekas di kulitku pasti membawa akibat itu. Dia rewel tentang hal itu sepanjang hari, membingungkan dirinya karena dia tak terbiasa untuk merasa tidak nyaman karena rasa sakit. Pikiran itu membuatku membeku.
Dia mengangkat bahu dan sekali lagi matanya bergerak turun ke pergelangan tanganku di mana ada gelang yang ia belikan untukku sore itu. Bingo!
"Christian, ini tidak penting." Aku mengangkat pergelangan tanganku, mengungkapkan bilur yang memudar.
"Kau memberiku sebuah kata aman. Sial – kemarin sungguh menyenangkan. Aku menikmatinya. Hentikan merenung tentang hal itu – Aku suka seks yang kasar, aku sudah bilang padamu sebelumnya.” Aku merona memerah ketika aku mencoba menggagalkan kepanikanku yang meningkat.
Dia menatapku lekat-lekat, dan aku tak tahu apa yang dia pikirkan. Mungkin dia mengukur kata- kataku. Aku tersandung ke dalamnya.
"Apakah ini tentang kebakaran itu? Apakah kau pikir bagaimanapun ini ada hubungannya dengan Charlie Tango? Apakah ini sebabnya kau khawatir? Bicaralah padaku, Christian – kumohon."
Dia menatapku, tidak mengatakan apapun dan keheningan mengembang dia antara kami lagi seperti yang dilakukannya sore ini. Holy fucking crap! Dia tidak akan bicara denganku, aku tahu.
"Jangan terlalu memikirkan ini Christian," Aku memarahinya diam-diam, dan kata-kata yang menggaung, mengganggu memori dari masa lalunya – kata-katanya padaku tentang kontrak bodohnya. Aku menggapainya, mengambil kotak dari pangkuannya, dan membukanya. Dia melihatku pasif seolah-olah aku makhluk alien yang menarik. Mengetahui bahwa kamera sudah disiapkan oleh salesman yang sangat membantu didalam toko, dan siap untuk digunakan, aku menarik keluar kamera dari kotaknya dan membuka penutup lensa. Kuarahkan kamera ke arahnya sehingga wajah tampannya yang penasaran mengisi frame. Aku menekan tombol dan terus menekannya, dan sepuluh gambar ekspresi khawatir Christian ditangkap secara digital untuk anak cucunya.
"Kalau begitu aku akan mengobjektifkanmu," bisikku, menekan rana lagi. Pada akhirnya bibirnya masih berkedut hampir tak kentara. Aku tekan lagi, dan kali ini ia tersenyum...senyum kecil, meskipun demikian ia tetap tersenyum. Aku menekan tombol sekali lagi dan melihat dia secara fisik bersantai di depanku dan cemberut – berpose penuh, konyol, "Biru Steel." Dia cemberut, dan itu membuatku tertawa. Oh, syukurlah. Mr. Penuh gairah sudah kembali – dan aku belum pernah merasa begitu senang melihatnya.
"Kupikir itu hadiahku," ia bergumam cemberut, tapi kurasa dia menggoda.
"Yah, ini seharusnya menyenangkan, tapi rupanya itu adalah sebuah simbol penindasan wanita."
Aku membidiknya, mengambil gambarnya lebih banyak, dan melihat kesenangan tersebut tumbuh di wajahnya yang super close-up. Kemudian matanya gelap, dan ekspresinya menjadi predator.
"Kau mau ditindas?" Dia bergumam lembut.
"Tidak ditindas. Tidak," bisikku kembali, menjepret lagi.
"Aku bisa sangat menindasmu, Mrs. Grey," ia mengancam, suaranya serak.
"Aku tahu kau bisa, Mr. Grey. Dan kau sering melakukannya."
Wajahnya berubah. Sial. Aku menurunkan kamera dan menatapnya.
"Apa yang salah, Christian?" suaraku merembes frustrasi. Katakan padaku!
Dia tidak mengatakan apa-apa. Gah! Dia sangat menyebalkan. Aku mengangkat kamera ke mataku lagi.
"Katakan padaku," aku bersikeras.
"Tidak ada," katanya dan tiba-tiba menghilang dari jendela bidik. Dalam satu gerakan cepat, gerakan mulus, ia menyapu kotak kamera ke lantai kabin, meraihku dan mendorongku ke atas tempat tidur. Dia duduk mengangkangiku.
Taylor dan Gaston mengikutiku dengan patuh melalui kerumunan sore, dan aku segera melupakan keberadaan mereka. Aku ingin membeli sesuatu untuk Christian, sesuatu untuk mengalihkan pikirannya dari apa yang terjadi di Seattle. Tapi apa yang harus aku beli untuk pria yang memiliki segalanya? Aku berhenti di sebuah alun-alun modern kecil yang dikelilingi oleh toko-toko dan menatap di masing-masing secara berurutan. Ketika aku melihat pada toko elektronik, kunjungan kami sebelumnya ke galeri hari ini dan kunjungan kami ke Louvre kembali dalam ingatanku. Kami sedang melihat Venus de Milo pada saat itu...Kata-kata Christian bergema di kepalaku, "Kita semua dapat menghargai bentuk perempuan. Kita senang memandangnya apakah itu dari marmer atau cat minyak atau satin atau film."
Ini memberiku ide, ide berani. Aku hanya perlu bantuan untuk memilih yang tepat, dan hanya ada satu orang yang bisa membantuku. Aku bergulat mengeluarkan Blackberry-ku dari tas dan menelepon José.
"Siapa...?" Gumamnya mengantuk.
"José, ini Ana."
"Ana, hi! Dimana kau? Kau baik-baik saja." Dia terdengar lebih waspada sekarang, khawatir.
"Aku di Cannes di Prancis Selatan, dan aku baik-baik saja."
"Prancis Selatan, huh? Kau menginap di hotel mewah?"
"Um...tidak. Kami tinggal di kapal."
"Sebuah kapal?"
"Sebuah kapal besar." Aku mengklarifikasi, mendesah.
"Aku tahu." Nada suaranya dingin... Sial, tidak seharusnya aku meneleponnya. Aku tidak butuh ini sekarang.
"José, aku butuh saranmu."
"Saranku?" Dia terdengar tertegun. "Tentu," katanya, dan kali ini dia jauh lebih ramah. Aku katakan padanya rencanaku.
Dua jam kemudian, Taylor membantuku keluar dari peluncuran motor untuk melangkah naik ke
atas dek. Gaston membantu kelasi dengan Jet Ski-nya. Christian tidak terlihat dimanapun, dan aku bergegas ke kabin kami untuk membungkus hadiahnya, merasa seperti kekanak-kanakan karena rasa yang menyenangkan.
"Kau pergi cukup lama." Christian mengejutkanku tepat saat aku menempelkan potongan plester terakhir. Aku berbalik dan menemukannya berdiri di ambang pintu menuju kabin, menatap lekat-lekat. Ya ampun! Apakah aku masih dalam masalah karena urusan Jet Ski? Atau apakah karena masalah kebakaran di kantornya?
"Segala sesuatu terkontrol di kantormu?" Aku bertanya ragu-ragu.
"Kurang lebih," katanya, yang cemberut kesal melayang di wajahnya.
"Aku belanja sedikit," bisikku, berharap untuk meringankan suasana hatinya, dan berdoa kekesalannya tidak ditujukan padaku. Dia tersenyum hangat, dan aku tahu kami baik-baik saja.
"Apa yang kau beli?"
"Ini," Aku menempatkan kakiku di atas tempat tidur dan menunjukkan padanya gelang kakiku.
"Bagus sekali," katanya. Dia melangkah padaku dan membelai lonceng kecilnya sehingga berdenting manis di sekitar pergelangan kakiku. Dia mengerutkan kening lagi dan menelusuri dengan jari-jarinya dengan lembut disepanjang tanda di kakiku, mengirim gelenyar naik sampai kakiku.
"Dan ini." Aku mengeluar kotak, berharap untuk mengalihkan perhatiannya.
"Untukku?" Tanya dia heran. Aku mengangguk malu-malu. Dia mengambil kotak dan menggoncangnya lembut. Dia menyeringai kekanak-kanakan, senyum mempesona dan duduk di sisiku di tempat tidur. Membungkuk, ia mencengkeram daguku dan menciumku.
"Terima kasih," katanya dengan malu-malu gembira.
"Kau belum membukanya."
"Aku akan menyukainya, apapun itu." Dia menatap ke arahku, matanya bersinar.
"Aku tidak pernah dapat banyak hadiah."
"Sulit untuk membeli barang-barang untukmu. Kau memiliki segalanya."
"Aku memiliki dirimu."
"Memang." Aku menyeringai padanya. Oh, begitu juga kau, Christian.
Dia membuka kertas pembungkusnya dengan singkat. "Sebuah Nikon?" Dia melirik ke arahku, bingung.
"Aku tahu kau memiliki kamera digital compact-mu, tapi ini adalah untuk... um...potret dan sejenisnya. Bersama dengan dua lensa."
Dia berkedip padaku, masih belum paham.
"Hari ini di galeri kau menyukai foto Florence D’elle. Dan aku ingat apa yang kau katakan di Louvre. Dan tentu saja, ada foto-foto lainnya." Aku menelan ludah, berusaha yang terbaik untuk tidak mengingat gambar yang aku temukan di lemari.
Dia berhenti bernapas, matanya melebar saat pemahaman datang padanya, dan aku melanjutkan dengan buru-buru sebelum aku kehilangan keberanian.
"Aku pikir kau mungkin, um...ingin mengambil gambar...ku."
"Gambarmu?" Ia menatapku, mengabaikan kotak di pangkuannya.
Aku mengangguk, berusaha keras untuk mengukur reaksinya. Akhirnya ia menatap kembali pada kotak itu, jari-jarinya menelusuri di atas ilustrasi kamera di bagian depan dengan rasa kagum dan terpesona.
Apa yang dipikirkannya? Oh, ini bukan reaksi yang kuharapkan, dan bawah sadarku melotot padaku seperti aku binatang rumah peliharaan. Christian tidak pernah bereaksi dalam cara yang aku harapkan. Dia menatapku kembali, matanya penuh dengan apa, rasa sakit?
"Kenapa kau pikir aku menginginkan ini?" Ia bertanya, bingung.
Tidak, tidak, tidak! Kau bilang kau akan menyukainya...
"Tidakkah kau menyukainya?" Aku bertanya, menolak untuk mengakui alam bawah sadarku yang mempertanyakan mengapa ada orang yang menginginkan foto erotisku. Christian menelan dan memegang rambutnya, dan ia tampak begitu kehilangan arah, sangat bingung. Dia mengambil napas dalam.
"Bagiku, foto seperti itu biasanya hanya sebagai polis asuransi, Ana. Aku tahu aku sudah mengobjektifikasi wanita begitu lama," katanya dan mengambil jeda dengan canggung.
"Dan menurutmu memotretku adalah...um, mengobjektifikasi diriku?" Semua udara meninggalkan tubuhku, dan darah mengalir dari wajahku.
Dia mengerutkan matanya. “Aku jadi bingung," bisiknya. Ketika ia membuka matanya lagi, matanya lebar dan waspada, penuh emosi yang liar.
Sial. Apakah itu aku? Pertanyaan baru-baru ini tentang ibu kandungnya? Kebakaran di kantornya?
"Kenapa kau berkata begitu?" Bisikku, panik melanda di tenggorokanku. Kupikir dia bahagia. Aku pikir kita senang. Kupikir aku membuatnya bahagia. Aku tak ingin membuatnya bingung. Itukah yang kulakukan? Pikiranku mulai berpacu. Dia tidak mendatangi Flynn hampir tiga minggu.
Apakah itu? Apakah itu alasan dia mengungkapkannya? Sial, haruskah aku menghubungi Flynn? Dan dalam momen yang boleh jadi unik dari kedalaman yang luar biasa dan kejelasan yang muncul, datang padaku – kebakaran, Charlie Tango, Jet Ski... Dia ketakutan, dia takut karena aku, dan melihat bekas-bekas di kulitku pasti membawa akibat itu. Dia rewel tentang hal itu sepanjang hari, membingungkan dirinya karena dia tak terbiasa untuk merasa tidak nyaman karena rasa sakit. Pikiran itu membuatku membeku.
Dia mengangkat bahu dan sekali lagi matanya bergerak turun ke pergelangan tanganku di mana ada gelang yang ia belikan untukku sore itu. Bingo!
"Christian, ini tidak penting." Aku mengangkat pergelangan tanganku, mengungkapkan bilur yang memudar.
"Kau memberiku sebuah kata aman. Sial – kemarin sungguh menyenangkan. Aku menikmatinya. Hentikan merenung tentang hal itu – Aku suka seks yang kasar, aku sudah bilang padamu sebelumnya.” Aku merona memerah ketika aku mencoba menggagalkan kepanikanku yang meningkat.
Dia menatapku lekat-lekat, dan aku tak tahu apa yang dia pikirkan. Mungkin dia mengukur kata- kataku. Aku tersandung ke dalamnya.
"Apakah ini tentang kebakaran itu? Apakah kau pikir bagaimanapun ini ada hubungannya dengan Charlie Tango? Apakah ini sebabnya kau khawatir? Bicaralah padaku, Christian – kumohon."
Dia menatapku, tidak mengatakan apapun dan keheningan mengembang dia antara kami lagi seperti yang dilakukannya sore ini. Holy fucking crap! Dia tidak akan bicara denganku, aku tahu.
"Jangan terlalu memikirkan ini Christian," Aku memarahinya diam-diam, dan kata-kata yang menggaung, mengganggu memori dari masa lalunya – kata-katanya padaku tentang kontrak bodohnya. Aku menggapainya, mengambil kotak dari pangkuannya, dan membukanya. Dia melihatku pasif seolah-olah aku makhluk alien yang menarik. Mengetahui bahwa kamera sudah disiapkan oleh salesman yang sangat membantu didalam toko, dan siap untuk digunakan, aku menarik keluar kamera dari kotaknya dan membuka penutup lensa. Kuarahkan kamera ke arahnya sehingga wajah tampannya yang penasaran mengisi frame. Aku menekan tombol dan terus menekannya, dan sepuluh gambar ekspresi khawatir Christian ditangkap secara digital untuk anak cucunya.
"Kalau begitu aku akan mengobjektifkanmu," bisikku, menekan rana lagi. Pada akhirnya bibirnya masih berkedut hampir tak kentara. Aku tekan lagi, dan kali ini ia tersenyum...senyum kecil, meskipun demikian ia tetap tersenyum. Aku menekan tombol sekali lagi dan melihat dia secara fisik bersantai di depanku dan cemberut – berpose penuh, konyol, "Biru Steel." Dia cemberut, dan itu membuatku tertawa. Oh, syukurlah. Mr. Penuh gairah sudah kembali – dan aku belum pernah merasa begitu senang melihatnya.
"Kupikir itu hadiahku," ia bergumam cemberut, tapi kurasa dia menggoda.
"Yah, ini seharusnya menyenangkan, tapi rupanya itu adalah sebuah simbol penindasan wanita."
Aku membidiknya, mengambil gambarnya lebih banyak, dan melihat kesenangan tersebut tumbuh di wajahnya yang super close-up. Kemudian matanya gelap, dan ekspresinya menjadi predator.
"Kau mau ditindas?" Dia bergumam lembut.
"Tidak ditindas. Tidak," bisikku kembali, menjepret lagi.
"Aku bisa sangat menindasmu, Mrs. Grey," ia mengancam, suaranya serak.
"Aku tahu kau bisa, Mr. Grey. Dan kau sering melakukannya."
Wajahnya berubah. Sial. Aku menurunkan kamera dan menatapnya.
"Apa yang salah, Christian?" suaraku merembes frustrasi. Katakan padaku!
Dia tidak mengatakan apa-apa. Gah! Dia sangat menyebalkan. Aku mengangkat kamera ke mataku lagi.
"Katakan padaku," aku bersikeras.
"Tidak ada," katanya dan tiba-tiba menghilang dari jendela bidik. Dalam satu gerakan cepat, gerakan mulus, ia menyapu kotak kamera ke lantai kabin, meraihku dan mendorongku ke atas tempat tidur. Dia duduk mengangkangiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar