Oh tidak – aku yakin Christian tak mau berita ini disiarkan ke seantero Seattle. Aku mencoba menggunakan teknik-mengalihkan-perhatian-terhadap-kegigihan-Kavanagh yang sudah paten.
Ana: Bagaimana kabar Elliot dan Ethan?
Kate: Ethan sudah diterima di program studi psikologi di Seattle untuk program magisternya. Elliot tetap menarik seperti biasanya.
Ana: Bagus sekali, Ethan.
Kate: Bagaimana dengan mantan-dom favoritmu?
Ana: Kate!
Kate: Apa?
Ana: KAU TAHU APA!
Kate: K. Maaf
Ana: Dia baik-baik saja. Lebih dari baik. :)
Kate: Yah, selama kau bahagia, aku ikut bahagia.
Ana: Aku sangat bahagia.
Kate: :) Aku harus pergi. Bisa kita bicara lain kali?
Ana: Aku tak yakin. Lihat saja kalau aku online. Zona waktunya payah!
Kate: Memang begitu. Aku mencintaimu, Ana.
Ana: Aku juga mencintaimu. Sampai nanti. X
Kate: Sampai nanti. <3
Aku mempercayai Kate pasti tetap akan mengikuti alur cerita ini. Aku memutar mataku dan menutup Skype sebelum Christian melihat obrolan kami. Dia tak akan suka tentang komentar mantan Dom, dan aku tak yakin dia sepenuhnya seorang mantan...
Aku mendesah keras. Kate tahu segalanya, sejak malam mabuk kami tiga minggu sebelum pernikahan ketika aku akhirnya menyerah pada Inkuisisi Kavanagh. Itu adalah kelegaan karena
akhirnya aku bisa membicarakannya dengan seseorang.
Aku melirik jam tanganku. Sudah sekitar satu jam sejak makan malam, dan aku merindukan suamiku. Aku kembali ke dek untuk melihat apakah dia sudah selesai dengan pekerjaannya.
***
Aku berada di Hall of Mirror dan Christian berdiri di sampingku, tersenyum padaku dengan cinta dan kasih sayang. Kau tampak seperti malaikat. Aku menyorot ke arahnya, tapi ketika aku melirik ke cermin, aku berdiri sendirian dan ruang berubah berwarna abu-abu dan membosankan. Tidak! Kepalaku bergerak tiba-tiba kembali ke wajahnya, untuk menemukan senyumnya yang sedih dan sayu. Dia menyelipkan rambutku di belakang telingaku. Lalu ia berbalik pergi tanpa kata-kata dan berjalan perlahan, suara langkah kakinya bergema pada cermin saat ia melangkah menuju ruang besar ke pintu ganda hiasan yang berada diujung...seorang pria sendirian, seorang pria tanpa bayangan...dan aku terbangun, terengah- engah, karena panik menguasaiku.
"Hei," bisiknya dari sampingku dalam kegelapan, suaranya terisi dengan keprihatinan.
Oh, dia ada di sini. Dia aman. Kelegaan mengaliri melalui diriku.
"Oh, Christian," gumamku, berusaha untuk membuat detak jantungku yang berdebar kencang jadi terkendali. Dia membungkusku kedalam pelukannya, dan hanya beberapa saat aku menyadari bahwa air mata telah mengaliri wajahku.
"Ana, ada apa?" Dia membelai pipiku, menyeka air mataku, dan aku bisa mendengar penderitaannya.
"Tidak ada. Mimpi buruk yang konyol."
Dia mencium keningku dan pipi basahku karena air mata, menghiburku. "Cuma mimpi buruk, sayang." gumamnya. "Kau bersamaku. Aku akan menjagamu."
Menenggak aroma tubuhnya, aku meringkuk dipelukannya, berusaha mengabaikan rasa kehilangan dan kehancuran yang kurasakan dalam mimpiku, dan pada saat itu, aku tahu bahwa ketakutanku yang terdalam, dan tergelap adalah kehilangan dirinya.
***
BAB 5
Aku berguling, secara insting mencari Christian hanya untuk merasakan keberadaannya. Sial!Aku seketika terbangun dan melihat dengan cemas ke sekeliling kabin. Christian sedang mengamatiku dari kursi yang kecil di ujung tempat tidur. Membungkuk, ia menaruh sesuatu di lantai, kemudian bergerak dan berguling ke tempat tidur di sebelahku. Ia mengenakan celana pendek dan T-shirt abu-abu.
"Hey, jangan panik. Semuanya baik-baik saja," katanya, suaranya lembut dan menenangkan - seperti ia sedang berbicara dengan binatang liar yang terpojok. Dengan lembut, ia mengelus dan merapikan rambut dari wajahku dan secepat itu pula aku menjadi tenang. Aku melihat dia mencoba tapi gagal untuk menyembunyikan kekhawatirannya.
"Kau menjadi sangat mudah terkejut beberapa hari terakhir," gumamnya, matanya melebar dan serius.
"Aku baik-baik saja, Christian." Aku memberinya senyum lebarku karena aku tak ingin ia mengetahui betapa aku khawatir tentang insiden kebakaran itu. Ingatan menyakitkan tentang apa yang aku rasakan saat Charlie Tango disabotase dan Christian menghilang - kekosongan yang hampa, rasa sakit yang tak dapat di jabarkan - selalu muncul kembali; memori itu menggangguku dan menggerogoti hatiku. Sambil tetap mempertahankan senyum di wajahku, aku mencoba untuk menahan perasaan itu.
"Apa kau menontonku yang sedang tertidur?"
"Ya," katanya sambil menatapku siaga, memperhatikanku. "Kau mengigau."
"Oh?" Sial! Apa yang ku katakan?
"Kau khawatir," tambahnya, matanya penuh dengan perhatian. Apakah ada hal yang bisa aku sembunyikan dari pria ini? Ia mendekat dan menciumku diantara kedua alisku.
"Saat kau mengerutkan dahi, ada bentuk V kecil disini. Jadi aku menciumnya. Jangan khawatir sayang, aku akan menjagamu."
"Bukan diriku yang ku khawatirkan, tapi kau," aku menggerutu. "Siapa yang akan menjagamu?"
Ia tersenyum lembut saat mendengar nada bicaraku. "Aku sudah cukup besar dan cukup kuat untuk menjaga diriku sendiri. Ayo. Bangun. Ada satu hal yang ingin aku lakukan sebelum kita kembali ke rumah." Ia tersenyum padaku, senyuman kekanakan yang lebar yang menyatakan ya-aku-baru-berumur-dua-puluh-delapan-tahun, dan menampar pantatku. Aku menjerit, terkesiap, dan menyadari bahwa kami akan kembali ke Seattle dan perasaan melankolis datang kembali. Aku tak ingin pergi. Aku menikmati waktu 24 jam 7 hari seminggu bersamanya, dan aku belum siap untuk membaginya dengan perusahaan dan keluarganya. Kami menjalani bulan madu yang penuh kebahagiaan. Dengan sedikit cekcok, aku mengakuinya, tapi itu normal untuk pasangan yang baru saja menikah, kan?
Tapi Christian tak bisa menahan kegembiraannya yang meluap-luap, dan terlepas dari pikiranku yang gelap, hal itu menular padaku. Saat ia bangkit dengan anggun dari tempat tidur, aku mengikutinya, penasaran. Apa yang ia pikirkan?
Christian menaruh kunci di telapak tanganku.
"Kau ingin aku mengemudi?"
"Ya." Christian nyengir. "Itu tidak terlalu berlebihan kan?"
"Tidak. Apakah itu alasan kau mengenakan jaket keselamatan?" Aku mengerutkan dahiku.
"Ya."
Aku tak bisa menahan tawa kecilku. "Betapa kau mempercayai keahlianku dalam mengemudi, Mr. Grey."
"Selalu, Mrs. Grey."
"Well, jangan ajari aku."
Christian mengangkat kedua tangannya menunjukkan sikap defensif, tapi ia tersenyum. "Apakah aku berani?"
"Ya kau berani, dan ya kau akan melakukannya, dan kita tak akan bisa berhenti dipinggir jalan dan berargumen di trotoar."
"Poin bagus, Mrs. Grey. Apakah kita akan tetap berdiri di sini seharian dan memperdebatkan tentang skill mengemudimu atau kita akan mencoba bersenang-senang?"
"Poin bagus, Mr. Grey." Aku memegang stang Jet Ski itu dan menaikinya. Christian naik dibelakangku dan mendorong kami menjauh dari kapal pesiar. Taylor dan dua orang kelasi tampak terhibur melihat kami. Bergeser maju, Christian melilitkan tangannya ketubuhku dan merapatkan pahanya ke pahaku. Ya, ini yang aku sukai dari transportasi ini. Aku memasukan kunci dan menekan tombol starter, dan mesin mulai meraung.
"Siap?" aku berteriak pada Christian melawan suara bising mesin.
"Selalu," katanya, mulutnya dekat dengan telingaku.
Dengan lembut, aku menarik tuas dan Jet Ski itu menjauh dari Fair Lady, terlalu tenang dan aku menyukainya. Christian mengencangkan pelukannya. Aku menarik gas lebih dalam, dan kami meluncur maju dan aku merasa puas saat kami tidak terlempar.
"Whoa!" Christian berteriak dari belakang, tapi kegembiraan dalam suaranya terdengar jelas. Aku melewati Fair Lady menuju laut lepas. Kami berlabuh di luar Pelabuhan de Plaisance de Saint-Claude-du-Var, dan Bandara Nice Côte d'Azur terlihat dikejauhan, dibangun dengan gaya Mediterrania, atau yang sejenisnya. Aku pernah mendengar pesawat aneh mendarat sejak kami sampai semalam. Aku memutuskan kami harus melihat lebih dekat.
Kami meluncur mendekat, melintas cepat diantas ombak. Aku menyukai ini, dan aku senang Christian memperbolehkan aku mengemudi. Semua kekhawatiran yang aku rasakan dua hari ini meleleh begitu saja saat kami bergerak ke arah bandara.
"Lain kali kita melakukan ini kita akan pakai dua Jet Ski," teriak Christian. Aku tersenyum karena imajinasiku tentang melakukan balapan dengannya sungguh menggetarkan jiwa.
Saat kami bergerak diatas laut biru yang tenang kearah sesuatu yang terlihat seperti ujung landasan terbang, deru menggelegar sebuah jet yang mendarat membuatku terperanjat. Suaranya sangat keras sehingga aku panik, berbelok dan menginjak gas pada saat yang bersamaan, keliru akan pedal rem.
"Ana!" Christian berteriak, tapi terlambat. Aku terlempar ke samping Jet Ski, tangan dan kaki
tersentak, membawa Christian bersamaku terjatuh dalam cipratan yang spektakuler.
Berteriak, aku terjatuh ke laut biru yang bersih dan menelan air laut Mediterrania. Airnya terasa dingin karena jauh dari pantai, tapi aku kembali ke permukaan sedetik kemudian, berkat jaket keselamatanku. Terbatuk dan bergagap, aku menyeka air laut dari mataku dan mencari Christian. Ia sudah berenang kearahku. Jet Ski itu mengambang tenang beberapa kaki jauhnya dari kami, mesinnya mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar