Fifty Shades Freed (Fifty Shades #3) (2)

***
“Bisakah kita menikah besok?” Christian berbisik lembut di telingaku. Aku tergeletak di dadanya di dalam bungalow rumah kapal yang penuh dengan bunga, puas akan gairah setelah bercinta.
“Hmm.”
“Apakah itu artinya YA?” aku mendengar harapannya yang tak terduga.
“Hmm.”
“Tidak?”
“Hmm.”
Aku merasakan seringainya. “Nona Stelee, pikiranmu sedang kacau ya?”
Aku tersenyum lebar. “Hmm.”
Dia membungkusku dan memelukku erat, mencium ujung kepalaku. “Besok, Vegas, lalu pernikahannya.”
Dengan mengantuk aku mengangkat kepalaku. “Kupikir orang tuaku akan sangat tidak senang dengan itu."
Dia mengetuk-ketukan ujung jarinya keatas dan kebawah pada punggung telanjangku, membelaiku dengan lembut.
“Apa yang kau inginkan, Anastasia? Vegas? Pernikahan besar dengan segala hiasannya? Katakan padaku.”
“Tidak besar...Hanya teman dan keluarga.” Aku menatapnya dengan penuh perhatian pada permintaan mendesaknya dalam mata abu-abu yang berpijar. Apa yang dia inginkan?
“Oke.” Dia mengangguk. “Dimana?”
Aku mengangkat bahu.
“Bisakah kita mengadakannya disini?” dia bertanya denga ragu-ragu.
“Di tempat keluargamu? Apa mereka akan setuju?”
Dia mendengus. “Ibuku akan berada di surga tingkat tujuh.”
“Oke. Disini. Aku yakin ibu dan ayahku juga akan setuju.”
Dia mengusap rambutku. Bisakah aku lebih bahagia lagi?
“Jadi, kita sudah menetapkan dimana, sekarang kita tetapkan waktunya.”
“Tentu saja kau harus bertanya pada ibumu.”
“Hmm.” Senyuman Christian melengkung ke bawah. “Ibu punya waktu sebulan, itu saja. Aku terlalu menginginkanmu dan tidak bisa menunggu lebih lama lagi.”
“Christian, kau memilikiku. Kau memilikiku saat ini. Tapi baiklah – waktunya sebulan.” Aku mencium dadanya, ciuman lembut nan murni, dan tersenyum padanya.
***
“kamu akan terbakar.” Christian berbisik di telingaku, membuatku takjub dan tersadar dari rasa kantukku.
“Hanya untukmu.” Aku memberinya senyuman termanisku. Matahari sore telah bergeser, dan aku tepat di bawah kilauan penuhnya. Dia menyeringai dan dalam sekali gerakan cepat mendorong kursi berjemurku kedalam tempat teduh di bawah payung.
“Hindari matahari Laut Tengah, Mrs. Grey.”
“Terimakasih atas altruisme (sifat yang mementingkan kepentingan orang lain, -pent.) mu, Mr. grey.”
“Dengan senang hati, Mrs. Grey, dan aku sama sekali bukan seseorang yang berusaha untuk
mementingkan kepentingan orang lain. Jika kau terbakar, aku tidak akan bisa menyentuhmu.” Dia mengangkat alisnya, matanya bersinar oleh kegembiraan dan hatiku mengembang. “Tapi aku sudah menduga kamu mengetahuinya dan menertawakanku.”
“Bisakah aku seperti itu?” aku melenguh, pura-pura tidak bergairah.
“Ya kau bisa dan kau melakukannya. Sering. Ini adalah salah satu dari sekian banyak hal yang aku cintai dari dirimu.” Dia membungkuk dan menciumku, menggigit dengan main-main pada bibir bawahku.
“Aku berharap kau mau menggosok tubuhku dengan losion anti matahari.” Aku mencibir di bibirnya.
“Mrs. Grey, itu adalah pekerjaan kotor...tapi itu adalah sebuah tawaran yang tidak bisa aku tolak. “duduklah.” Dia memerintahku, suaranya serak. Aku melakukan sesuai perintah, dan dengan usapan lembut yang cermat dari jari-jari yang kuat dan luwes, dia melumuriku dengan losion pelindung matahari.
“Kau sungguh sangat mengagumkan. Aku pria yang beruntung.” Dia bergumam saat jari-jarinya meluncur diatas payudaraku, menyebarkan losionnya.
“Ya kau memang lelaki yang beruntung, Mr. grey.” Aku menatapnya denga tersipu melalui bulu mataku.
“Kamu sungguh sopan, Mrs. Grey. Berbaliklah. Aku akan melumuri punggungmu.
Tersenyum, aku memutar tubuhku, dan dia membuka tali pengikat dari bikini mahalku yang menyeramkan. “Bagaimana perasaanmu jika aku bertelanjang dada, seperti wanita-wanita lain di pantai?” aku bertanya.
“Tidak senang.” Tidak berkata tanpa ragu. “Aku sangat tidak senang melihatmu memakai pakaian yang minim seperti saat ini.” Dia mendekatiku dan berbisik di telingaku. “Jangan memaksa keberuntunganmu.”
“Apa itu sebuah tantangan, Mr. Grey?”
“Tidak. Ini pernyataan tentang sebuah fakta, Mrs. Grey.”
Aku mendesah dan menggelengkan kepalaku. Oh, Christian...si posesifku, pencemburu, Christian sok penguasa. Ketika dia selesai, dia memukul punggungku. “Sudah selesai, dara.”
Blackberry-nya yang selalu hadir dan selalu aktif berbunyi. Aku memasang tampang masam dan dia menyeringai.
“Jangan jauh dari mataku, Mrs. Grey.” Dia menaikkan alisnya dalam peringatan yang main-main, memukul punggungku sekali lagi, kembali duduk di kursi berjemurnya untuk menanggapi panggilan itu.
Dewi batinku mendengkur. Mungkin malam ini kita akan melakukan semacam pertunjukkan hanya untuk dirinya saja. Dia menyeringai dengan paham, melengkungkan alisnya. Aku tersenyum lebar pada pikiran itu dan melayang kembali pada tidur siangku.
”Mam’selle? Un Perrier moi, un Coca-Cola light pour ma femme, s’il vous plait. Et quelqe chose a manger...laissez-moi voir la carte.”
Hmm...Christian yang berbicara fasih dalam bahasa perancis telah membangunkanku. Bulu mataku berkepak dalam silauan matahari, dan aku menemukan Christian menontonku saat wanita berpakaian pelayan itu pergi menjauh, mengangkat nampan tinggi diatasnya, ekor kuda tingginya terayun secara provokatif.
“haus?” dia bertanya.
“Ya.” Aku bergumam mengantuk.
“Aku sanggup menontonmu seharian. Lelah?”
Aku memerah. “Aku tidak dapat cukup tidur tadi malam.”
“Aku pun begitu.” Dia tersenyum lebar, menaruh kembali Blackberry-nya, dan berdiri. Celana pendeknya turun sedikit dan menggantung...dengan cara itu celana pendek renangnya terlihat sangat tidak pantas. Christian menarik turun celana pendeknya, melepaskan dari sandal jepitnya. Aku kehilangan alur pikiranku.
“Berenang bersamaku.” Dia menjulurkan tangannya saat aku menatapanya, linglung.
“Berenang?” kata dia lagi, menelengkan kepalanya ke satu sisi, dan menunjukkan eskpresi geli di wajahnya. Ketika aku tidak memberikan respon, dia menggelengkan kepalanya perlahan. “Aku pikir kau butuh panggilan untuk bangun.” Tiba-tiba dia menerkam dan mengangkatku di tangannya ketika aku menjerit, lebih terkejut daripada mendengar ketakutan.
“Christian! Turunkan aku!” Aku memekik.
Dia terkekeh. “hanya jika kita sudah dilaut, sayang.”
Beberapa orang yang sedang berjemur di pantai menonton dengan tatapan melongo yang khas dengan tipe orang yang melongo namun menunjukkan ketidaktarikan, yang sekarang baru aku sadari bahwa memang seperti itu orang-orang Perancis saat Christian membawaku ke laut, tertawa dan mengarunginya.
Aku mendekapkan tanganku di sekitar lehernya. “kau tidak akan melakukannya.” Aku berkata terengah-engah, mencoba menahan kekehanku.
Dia menyeringai. “Oh, Ana, sayang, apa kau tidak belajar apapun bahwa kita mengenal satu sama lain dalam waktu singkat ini?” Dia menciumku, dan aku merebut kesempatan itu, melarikan jari-jariku melalui rambutnya, menggenggamnya dalam dua tangan penuh dan menciumnya dia kembali saat aku menyerang mulutnya dengan lidahku. Dia menghirup napas
dan mundur kebelakang, matanya berasap namun waspada

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar