Fifty Shades Freed (Fifty Shades #3) (17)

"Hei!" seruku dan mengambil foto dirinya lebih banyak lagi, tersenyum ke arahku dengan maksud gelap. Dia mengambil kamera dengan lensanya, dan fotografer menjadi subjek saat ia mengarahkan Nikon-nya padaku dan menekan rana.
"Jadi, kau ingin aku mengambil gambarmu, Mrs. Grey?" Katanya, geli. Semua yang bisa kulihat dari wajahnya adalah rambutnya yang acak-acakan dan senyum lebar di mulut terpahatnya.
"Nah, untuk memulainya, kupikir kau harus tertawa," katanya, dan ia menggelitikku tanpa ampun di bawah tulang rusukku, membuatku menjerit dan tertawa dan menggeliat di bawahnya sampai saat kupegang pergelangan tangannya dalam upaya yang sia-sia untuk membuatnya berhenti. Senyumnya melebar, dan ia melanjutkan usahanya sambil memotret.
"Tidak! Hentikan." Aku menjerit!
"Apa kau bercanda?" Ia menggeram dan menempatkan kamera di samping kami sehingga ia bisa menyiksaku dengan kedua tangannya.
"Christian!" protesku sambil tertawa terkesiap dan tersedak. Dia tidak pernah menggelitikiku sebelumnya. Persetan - stop! Aku mendesak kepalaku dari sisi ke sisi, mencoba untuk menggoyangkan tubuhku dari bawah kakinya, cekikikan dan mendorong kedua tangannya menjauh, tapi dia tak henti-hentinya nyengir ke arahku, menikmati siksaanku.
"Christian, berhenti!" Aku memohon dan dia tiba-tiba berhenti. Meraih kedua tanganku, ia memegangnya turun di kedua sisi kepalaku saat ia berdiri di atasku. Aku terengah dan sesak nafas karena tertawa. Napasnya seperti napasku, dan dia menatapku dengan...apa? Paru-paruku berhenti berfungsi. Bertanya-tanya? Cinta? Penghormatan? Astaga. Tatapan itu!
"Kau. Sangat. Cantik." dia menghembuskan napas.
Aku menatap ke wajah penuh kasih, wajahnya penuh kasihnya yang bermandikan intensitas tatapannya, dan itu adalah tatapan saat ia pertama kali melihatku. Membungkuk, dia menutup matanya dan menciumku, terpesona. Respon darinya adalah panggilan untuk libidoku...melihatnya seperti ini, terlepas, olehku. Oh my. Dia melepaskan tanganku dan memutar jari-jarinya sekitar kepala dan ke rambutku, memelukku dengan lembut, dan tubuhku naik dan terisi dengan gairahku, merespon ciumannya. Dan tiba-tiba perangai ciumannya berubah, tidak lagi manis, hormat dan mengagumi, tapi menjadi kebutuhan fisik, mendalam dan melahap – lidahnya menyerang mulutku, mengambil tidak memberi, ciumannya putus asa di tepi kebutuhan. Saat gairah mengalir melalui darahku, membangkitkan setiap otot dan uratku, aku merasakan getaran alarm.
Oh, Fifty, apa yang salah?
Dia menghirup tajam dan mengerang. "Oh, apa yang kau lakukan padaku," gumamnya, bingung dan liar. Dia tiba-tiba bergerak, berbaring di atasku, menekanku ke kasur – satu tangan menangkup daguku, tangan yang lain meluncur diatas tubuhku, payudaraku, pinggangku, pinggulku, dan di sekitar punggungku. Dia menciumku lagi, mendorong kakinya diantara kakiku, mengangkat lututku, dan menggertak giginya pada gigiku, ereksinya tegang diantara pakaian kami dan seksku. Aku terkesiap dan mengeluh di bibirnya, diriku tenggelam pada gairahnya kuat. Aku mengabaikan lonceng alarm yang berada jauh di belakang pikiranku, mengetahui bahwa ia menginginkanku, bahwa dia membutuhkanku, dan bahwa ini suatu cara dia untuk berkomunikasi denganku, ini adalah bentuk favorit dari pengekspresian-dirinya. Aku menciumnya dengan pelepasan yang baru, menelusuri jariku diatas rambutnya, mengepalkan tanganku, memegangnya dengan erat. Dia terasa begitu lezat dan beraroma khas Christian, Christianku.
Tiba-tiba, ia berhenti, berdiri, dan menarikku dari tempat tidur sehingga aku berdiri di depannya, bingung. Dia membuka kancing celana pendekku dan berlutut dengan cepat, menyentaknya dan celanaku terbuka, dan sebelum aku bisa bernapas lagi, aku kembali ke tempat tidur di bawahnya dan dia membuka kancing celananya. Astaga, dia tidak membuka pakaiannya atau t-shirtku. Dia memegang kepalaku dan tanpa basa-basi apapun dia mendorong dirinya ke dalam diriku, membuatku menjerit – karena terkejut bukan karena sakit – tapi aku masih bisa mendengar desisan napasnya yang ditekan melalui giginya yang terkatup.
"Yessss," dia mendesis di dekat telingaku. Dia bergeming, kemudian memutar pinggulnya sekali, mendorong lebih dalam, membuatku mengerang.
"Aku membutuhkanmu," geramnya, suaranya rendah dan serak. Giginya bergerak di sepanjang rahangku, menggigit dan mengisap, dan kemudian dia menciumku lagi, keras. Aku membungkus kaki dan lenganku di sekeliling tubuhnya, menggelatung dan memeluknya dengan keras pada tubuhku, bertekad untuk menghapus apa pun yang mengkhawatirkan dirinya, dan dia mulai bergerak...bergerak seperti dia berusaha untuk mendaki dalam diriku. Lagi dan lagi, panik, primitif, putus asa, dan sebelum akhirnya aku tersesat dalam irama yang gila dan kecepatan yang dia atur, aku bertanya-tanya sekali lagi apa yang mengendalikannya, mengkhawatirkannya.
Tapi tubuhku mengambil alih, menghapuskan pikiranku, mendaki dan terbangun hingga aku dibanjiri oleh sensasi, dorongannya dibalas doronganku. Mendengar ia bernapas dengan keras, berat dan sengit di telingaku. Tahu bahwa ia tersesat dalam diriku...Aku mengerang keras, terengah-engah. Ini begitu erotis – kebutuhannya akan diriku. Aku menggapai...menggapai...dan dia membuatku lebih tinggi, menguasai diriku, mengambil diriku, dan aku menginginkan ini. Aku sangat menginginkan ini...untuk dirinya dan untuk diriku.
"Datang bersamaku," dia terengah-engah, dan ia mengangkat dirinya di atasku jadi aku harus melepaskan pelukanku di sekeliling tubuhnya.
"Buka matamu," perintahnya. "Aku perlu melihatmu." Suaranya sangat mendesak, keras kepala. Mataku berkedip terbuka sejenak, dan melihat dia di atasku – wajahnya tegang dengan semangat, matanya liar dan bersinar. Gairahnya dan cintanya adalah kehancuranku, dan seolah direncanakan, aku orgasme, mendongakkan kepalaku kebelakang saat tubuhku berdenyut dibawah tubuhnya.
"Oh, Ana," teriaknya dan ia bergabung dengan klimaksku, mendorong kedalam diriku, kemudian diam dan ambruk ke tubuhku. Dia berguling hingga aku tergeletak di atasnya, dan dia masih dalam diriku. Saat aku tersadar dari orgasmeku dan tubuhku mulai tenang dan terendali, aku ingin membuat beberapa sindiran tentang menjadi diobjektifikasi dan ditindas, tapi aku menahan lidahku, tak yakin dengan suasana hatinya. Aku melirik ke atas dari dada Christian untuk memeriksa wajahnya. Matanya tertutup dan lengannya membungkus tubuhku, menempel ketat. Aku mencium dadanya melalui kain tipis kemeja linennya.
"Katakan padaku, Christian, apa yang salah?" Aku bertanya dengan lembut dan menunggu dengan cemas untuk melihat apakah bahkan saat ini, setelah puas dengan seks, dia akan memberitahuku. Aku merasakan lengannya mengencang disekitar tubuhku lagi, tapi itu satu- satunya respon darinya. Dia tidak mau bicara. Sebuah inspirasi menghinggapiku.
"Aku memberikan sumpah suciku untuk menjadi teman setiamu dalam keadaan sakit dan sehat, untuk bertahan di sisimu dalam saat baik dan buruk, untuk berbagi sukacita serta kesedihan bersamamu," gumamku.
Dia membeku. Satu-satunya gerakan darinya adalah membuka mata lebarnya yang tak terukur dalamnya dan menatap saat aku terus melanjutkan mengucap janji pernikahanku.
"Aku berjanji untuk mencintaimu tanpa syarat, untuk mendukungmu mencapai keberhasilan dan impianmu, untuk menghormati dan menghargaimu, tertawa bersamamu dan menangis denganmu, dengan berbagi harapan dan impian denganmu, dan membawakan kebahagiaan untukmu di saat kau membutuhkannya.” Aku berhenti, berharap dia mau bicara denganku. Dia melihatku, bibirnya terbuka, tetapi tidak mengatakan apapun.
"Dan untuk menyayangimu selama kita berdua hidup." Aku menghela napas.
"Oh, Ana," bisiknya dan bergerak lagi, memutus tatapan berharga kami sehingga kami berbaring bersisian. Dia mengusap wajahku dengan punggung buku-buku jarinya. "Aku sungguh-sungguh bersumpah bahwa aku akan menjaga dan memegang kasih dan penyatuan kita dari lubuk hati terdalam dan kau," ia berbisik, suaranya serak. "Aku berjanji untuk mencintaimu dengan setia, mengabaikan orang lain, melalui saat baik dan buruk, dalam keadaan sakit atau sehat, terlepas di mana kehidupan membawa kita. Aku akan melindungimu, mempercayaimu, dan menghormatimu. Aku akan berbagi kegembiraan dan kesedihan dan menghiburmu pada saat dibutuhkan. Aku berjanji untuk menghargaimu dan menjunjung tinggi harapan dan impianmu tetap aman dan tetap di sisiku. Semua milikku sekarang milikmu. Aku memberikan diriku, hatiku, dan cintaku saat ini dan selama kita berdua hidup."
Air mata menggenangi mataku. Wajahnya melembut saat ia menatap ke arahku.
"Jangan menangis," gumamnya, ibu jarinya menangkap dan menghapus air mata liarku.
"Kenapa kau tak mau bicara padaku? Kumohon Christian."
Dia menutup matanya seolah-olah merasakan sakit.
"Aku bersumpah aku akan menghiburmu pada saat dibutuhkan. Tolong jangan membuatku melanggar janjiku."
Dia mendesah dan membuka matanya, ekspresinya suram. "Itu kebakaran yang di sengaja," katanya sederhana, dan dia tampak tiba-tiba begitu muda dan rentan.
Oh sial.
"Dan kekhawatiran terbesarku adalah bahwa mereka mengincarku. Dan jika mereka memang mengincarku-“ Dia berhenti, tak dapat melanjutkan.
"...Mereka mungkin mendapatkanku," bisikku. Dia menjadi pucat, dan aku tahu bahwa aku akhirnya telah menemukan akar kecemasannya. Aku membelai wajahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar