Fifty Shades Freed (Fifty Shades #3) (14)

Dia menatapku, menurunkan hidungnya, setengah geli, setengah waspada, terlihat sangat seksi kemudian menyelipkan aku di bawah lengannya, dan kami berjalan melewati para wisatawan menuju tempat di mana Philippe atau Gaston yang telah memarkir Mercedes yang besar itu. Aku menyelipkan kembali tanganku ke saku belakang celana pendek Christian, bersyukur bahwa ia tidak marah dengan kata-kataku. Tapi, jujur, apakah seorang anak berumur empat tahun tak pernah mencintai ibunya, tak peduli seberapa buruknya dia sebagai seorang ibu? Aku menghela napas dalam-dalam dan memeluknya lebih dekat. Aku tahu di belakang kami ada tim keamanan selalu mengintai, dan dalam hati aku bertanya-tanya kapan mereka makan.
Christian berhenti di luar sebuah butik kecil yang menjual perhiasan yang bagus dan menatap ke jendela, kemudian ke arahku. Dia meraih tanganku yang bebas, dan menjalankan ibu jarinya di sepanjang garis merah bekas borgol yang telah memudar, dan dia memeriksanya.
"Sama sekali tidak sakit." Aku meyakinkan dia. Dia berputar sehingga tanganku yang lainnya terbebas dari sakunya. Dia juga meraih tanganku itu, membalikannya dengan lembut menghadap ke atas dan memeriksa pergelangan tanganku. Jam tangan Omega terbuat dari Platinum yang dia berikan padaku saat sarapan pagi ketika pertama kali kami di London menyamarkan garis merah. Kata- kata di jam tangan itu masih membuatku terbuai.
Anastasia
Kau adalah segalanya bagiku
Cintaku, Kehidupanku
Christian
Terlepas dari semuanya, semua ke-fifty-annya, suamiku bisa menjadi begitu romantis. Aku memandangi tanda samar di pergelangan tanganku. Dan lagi, terkadang dia bisa menjadi liar. Aku melepaskan tangan kiriku, ia memiringkan daguku dengan jarinya dan mendalami ekspresiku, matanya melebar dan gelisah.
"Itu tidak sakit," aku mengulangi kata-kataku. Dia menarik tanganku ke bibirnya dan dengan lembut menanamkan ciuman permintaan maaf di bagian dalam pergelangan tanganku.
"Ayo," katanya dan membawaku memasuki toko itu.
"Sini," Christian menahan terbuka gelang dari platinum yang baru saja dia beli. Sangat indah, kerajinan yang sangat halus, gelang anyaman logam berbentuk rangkaian bunga abstrak kecil dengan berlian kecil yang menempel di gambar hati itu. Dia mengikatkan di sekeliling pergelangan tanganku. Gelangnya lebar dan seperti manset dan menyembunyikan tanda merah itu. Harganya sekitar lima belas ribu euro, meskipun aku sebenarnya tak bisa mengikuti percakapan dalam bahasa Prancis dengan asisten penjualnya. Aku tak pernah memakai sesuatu yang begitu mahal.
"Nah, kelihatan lebih baik," bisiknya.
"Lebih baik?" Bisikku, menatap mata abu-abunya yang berkilau, menyadari bahwa asisten penjualnya yang langsing sedang menatap kami dengan tatapan cemburu dan mencela terlihat di wajahnya.
"Kau tahu mengapa," kata Christian ragi-ragu.
"Aku tak butuh ini." Aku memutar pergelangan tanganku dan gelang itu ikut bergerak. Gelangnya menangkap cahaya sore yang menembus melalui jendela butik dan sedikit warna pelangi dari kilauan berliannya seakan menari-nari di seluruh dinding toko.
"Aku butuh," katanya dengan menyuarakan ketulusan.
Mengapa? Mengapa ia membutuhkan ini? Apakah dia merasa bersalah? Tentang apa?
Tanda itu? Ibu kandungnya? Bukan saat membuat pengakuan kepadaku? Oh, Fifty.
"Tidak, Christian, kau tak bisa melakukan ini. Kau telah memberikan aku begitu banyak. Bulan madu yang luar biasa, London, Paris, Cote D'Azur...dan kau. Aku seorang gadis yang sangat beruntung," bisikku dan matanya melunak.
"Tidak, Anastasia, akulah pria yang sangat beruntung."
"Terima kasih." Aku berjinjit, memeluk lehernya dan menciumnya...bukan karena dia memberiku gelang, tetapi karena dia menjadi milikku.
Saat kembali di mobil dia introspeksi diri, memandang keluar melihat kebun bunga matahari yang indah, seakan bunga itu mengikuti dan berjemur dibawah sinar matahari sore. Salah satu dari sikembar - aku pikir itu adalah Gaston yang sedang mengemudi dan Taylor disampingnya duduk di depan. Christian merenung tentang sesuatu. Meraih keatas, aku menggenggam tangannya, meremas untuk menenangkannya. Dia menoleh ke arahku, sebelum melepaskan tanganku dan membelai lututku. Aku mengenakan rok pendek, warna biru dan putih dipadukan dengan baju tanpa lengan warna biru. Christian tampak ragu, dan aku tidak sadar jika tangannya berjalan naik hingga sampai ke pahaku atau ke bawah kakiku. Aku menegang dengan penuh harap pada sentuhan lembut jari-jarinya dan napasku sesak. Apa yang akan dia lakukan? Dia memilih menurunkan jarinya, tiba-tiba meraih pergelangan kakiku dan mengangkat kakiku ke pangkuannya. Aku memutar punggungku sehingga aku berhadapan dengannya di belakang mobil.
"Aku ingin kakimu yang satunya, juga."
Oh! Mengapa? Aku melirik dengan gugup ke arah Taylor dan Gaston, yang sedang berkonsentrasi melihat jalan di depannya, dan aku menempatkan kakiku yang lain di pangkuannya. Matanya tenang, ia meraih keatas dan menekan tombol yang terletak di pintu sampingnya. Di depan kami, perlahan-lahan sebuah layar privasi gelap menggeser keluar dari panel, dan sepuluh detik kemudian secara efektif kami sendirian. Wow...tidak heran belakang mobil ini begitu lebar untuk ruang gerak kaki.
"Aku ingin melihat pergelangan kakimu," Christian memberikan penjelasan dengan tenang. Tatapannya terlihat cemas. Sekarang apa? Melihat tanda bekas borgol? Astaga...Kupikir kami telah selesai dengan urusan ini. Seandainya ada tanda, tak terlihat karena tertutup oleh tali sandal. Aku tak ingat melihat itu tadi pagi. Dengan lembut, ibu jarinya membelai ke atas telapak kaki yang sebelah kanan, membuatku menggeliat. Senyumnya bermain-main di atas bibirnya dan dengan cekatan ia melepaskan satu tali, dan senyumnya memudar saat dia melihat tanda
merah tua.
"Tidak sakit," gumamku. Ia melirikku dan ekspresinya sedih, mulutnya membentuk garis tipis. Dia mengangguk sekali seolah-olah dia memahami kata-kataku sementara aku berusaha melepaskan sandalku hingga jatuh ke bawah, tapi aku tahu aku sudah kehilangan dia. Dia seperti terganggu dan merenung lagi, secara mekanis membelai kakiku saat dia berpaling menatap ke luar jendela mobil sekali lagi.
"Hei. Apa yang kau harapkan?" Kataku dengan lembut. Dia melirikku dan mengangkat bahunya.
"Aku tidak mengharapkan perasaan seperti ini saat aku melihat tanda itu," katanya. Apa? Diam satu menit dan seterusnya? Bagaimana...sangat Fifty! Bagaimana aku bisa mengikutinya?
"Bagaimana perasaanmu?"
Dia menatap ke arahku, matanya suram. "Tidak nyaman," bisiknya. Oh tidak. Aku melepaskan sabuk pengaman dan bergeser lebih dekat dengannya, mengangkat kakiku di pangkuannya. Aku ingin merangkak ke atas pangkuannya memeluknya, dan aku akan melakukannya, jika hanya Taylor di depan. Tapi mengetahui Gaston ada disana seakan mengekangku meskipun tertutup oleh kaca. Jika saja itu lebih gelap. Aku hanya bisa menggenggam tangannya.
"Tanda cupang yang aku tak suka," bisikku. "Semua yang lainnya...apapun yang kau lakukan," - aku menurunkan suara lebih pelan- "dengan borgol itu, aku menikmatinya. Well, lebih dari menikmati. Itu luar biasa intens. Kau bisa melakukan itu denganku lagi, kapan saja."
Dia menggeser posisi duduknya. "Luar biasa intens?" Dewi batinku mendongak kaget dari novel Jackie Collins yang dipegangnya.
"Ya." Aku tersenyum. Aku melenturkan jari-jari kakiku ke selangkangan yang mengeras dan melihat bukannya mendengar saat dia mengambil napas dengan tajam, bibirnya terbuka.
"Kau benar-benar harus mengenakan sabuk pengamanmu, Mrs. Grey." Suaranya pelan, dan aku meringkuk jari kakiku disekitarnya sekali lagi. Dia terengah-engah dan matanya menjadi gelap, dan dia meremas pergelangan kakiku sebagai peringatan. Apakah dia menginginkan aku berhenti? Atau melanjutkan? Dia berhenti, sejenak dan cemberut lalu dia mengeluarkan BlackBerry-nya yang selalu ada disakunya untuk mengangkat panggilan masuk dan melirik jam tangannya. Kerutan dikeningnya semakin dalam.
"Barney," teriaknya.
Sial. Pekerjaanya mengganggu kami lagi. Aku mencoba untuk menurunkan kakiku tapi tangannya mencengkeram pergelangan kakiku.
"Di ruang server?" Katanya dengan tidak percaya. "Apakah itu mengaktifkan sistem pemadam kebakaran?"
Kebakaran! Aku mengambil kakiku dari pangkuannya dan kali ini ia membiarkanku. Aku duduk di kursiku, memasang sabuk pengamanku, dan dengan gugup mengesek-gesekkan gelang lima belas ribu euro itu. Christian menekan tombol di sandaran tangan pintu sampingnya lagi dan kaca privasi bergeser ke bawah.
"Siapa saja yang terluka? Kerusakan? Oh, begitu...Kapan?" Christian melirik jam tangannya lagi kemudian mengacak-acak rambutnya. "Tidak. Jangan panggil pemadam kebakaran atau polisi. Nanti dulu."
Ya ampun! Kebakaran? Di kantor Christian? Aku menganga kearahnya, pikiranku seakan
berpacu. Taylor bergeser sehingga ia bisa mendengar percakapan Christian.
"Bagaimana dia? Bagus... Oke. Aku ingin laporan kerusakan secara rinci. Dan mengetahui secara lengkap semua orang yang memiliki akses lima hari terakhir, termasuk staf cleaning service...Temui Andrea dan suruh dia meneleponku...Ya, kedengarannya argon sama efektifnya, senilai dengan berat emas."
Laporan kerusakan? Argon? Apa sih? Aku pikir ini seperti denting lonceng yang sangat jauh dari katagori unsur kimia.
"Aku menyadari itu lebih awal...E-mail aku dalam dua jam...Tidak, aku perlu tahu. Terima kasih telah menghubungiku." Christian menutup telepon, lalu. segera memencet nomor ke BlackBerry- nya.
"Welch...Bagus...Kapan?" Christian melirik jam tangannya lagi. "Satu jam lagi...Ya...Dua puluh empat jam tujuh hari seminggu di luar lokasi penyimpanan data...bagus." dia mematikan teleponnya.
"Philippe, aku harus sampai kapal satu jam lagi."
"Monsieur (Mr)."
Sial, itu Philippe, bukan Gaston. Mobil melonjak maju. Christian melirik kearahku, ekspresinya tidak terbaca.
"Ada yang terluka?" Tanyaku tenang.
Christian menggelengkan kepalanya. "Sedikit sekali kerusakannya." Dia meraih dan menggenggam tanganku, meremasnya untuk meyakinkanku. "Jangan khawatir tentang hal ini. Timku sudah mengatasinya." Dan itulah dia, CEO, dengan perintahnya, dengan kontrolnya dan tidak gugup sama sekali.
"Di mana kebakaran itu?"
"Ruang server."
"Gedung Grey?"
"Ya."
Tanggapannya seperti terpotong, jadi aku tahu dia tidak ingin membicarakannya. Mengapa tidak ingin?
"Mengapa kerusakannya bisa sedikit?"
"Ruang server dilengkapi dengan sistem pencegah kebakaran tercanggih."
Tentu saja.
"Ana, kumohon...kau jangan khawatir."
"Aku tidak khawatir," kataku bohong.
"Kami tak tahu pasti bahwa itu adalah kebakaran yang disengaja," katanya, memotong pusat kegelisahanku. Tanganku mencengkeram tenggorokanku karena ketakutan. Charlie Tango, dan sekarang ini?
Selanjutnya apa?
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar