"Ini bukan seperti yang kau pikirkan," bisiknya meyakinkan. "Aku bilang padamu, selangkah
demi selangkah untuk melakukan ini, sayang." Aku mendengar suara semburan pelan dari suatu cairan, mungkin dari sebuah tube, kemudian jari-jarinya adalah memijatku di sana lagi. Melumasi aku...disana! Aku menggeliat karena bertabrakan antara ketakutanku dengan kegembiraanku yang tak pernah kuketahui. Dia memukulku sekali lagi, lebih kebawah, sehingga dia memukul tepat di seks-ku. Aku mengerang. Rasanya...begitu nikmat.
"Tetap diam," katanya. "Dan jangan sampai lepas."
"Ah."
"Ini adalah pelicin." Dia mengolesi lagi diatasku. Aku mencoba untuk tidak meronta di bawahnya, tapi jantungku berdebar-debar, denyut nadiku tidak beraturan, saat hasrat dan keinginan memompa keseluruh tubuhku.
"Aku sudah lama ingin melakukan hal ini padamu, Ana."
Aku mengerang. Dan aku merasakan sesuatu yang dingin, logam dingin, berjalan menuruni tulang belakangku.
"Aku punya hadiah kecil untukmu di sini," bisik Christian.
Gambaran saat dia dulu menunjukkan dan menjelaskan padaku terlintas jelas dalam pikiran. Ya ampun. Sebuah butt plug. Christian menjalankan alat itu menuruni celah antara pantatku.
Oh my.
"Aku akan mendorong benda ini kedalam dirimu, sangat pelan."
Aku terkesiap, antara menunggu dengan kegelisahan mengisi seluruh tubuhku.
"Apakah itu akan terasa sakit?"
"Tidak, sayang. Ini ukurannya kecil. Setelah berada dalam dirimu, aku akan bercinta denganmu sangat keras."
Aku praktis mengejang. Membungkuk diatas diriku, dia menciumku sekali lagi diantara tulang belikatku.
"Siap?" Bisiknya.
Siap? Apakah aku siap untuk hal ini?
"Ya," gumamku pelan, mulutku kering. Dia menjalankan jarinya yang lain turun melewati pantatku dan perineum dan menyelipkannya di dalam diriku. Astaga, itu ibu jarinya. Dia menangkup seks-ku dan jari-jarinya dengan lembut membelai klit-ku. Aku mengerang...rasanya...nikmat. Dan dengan lembut, jari dan ibu jarinya melakukannya seperti menyihirku, ia mendorong plug yang terasa dingin perlahan-lahan masuk ke dalam diriku.
"Ah!" Aku merintih keras pada sensasi yang begitu asing, ototku seakan memprotes akan intrusi ini. Dia memutar ibu jarinya didalam diriku dan mendorong plug itu lebih keras, dan plug-nya menyelip dengan mudah, dan aku tak tahu apakah itu karena aku begitu terangsang atau apakah dia mengalihkan perhatianku dengan jarinya yang ahli, tapi tubuhku tampaknya menerimanya. Rasanya kasar...dan aneh...disana!
"Oh, sayang."
Dan aku bisa merasakannya...dimana ibu jarinya berputar didalam diriku...dan plug itu menekan kedalam...oh, ah...Dia perlahan-lahan memutar plug-nya, memunculkan erangan panjang yang keluar dari mulutku.
"Christian," gumamku, namanya seperti terdengar sebuah mantra yang begitu kacau, saat aku menyesuaikan diriku dengan sensasi itu. "Gadis pintar," bisiknya. Dia menjalankan tangannya yang bebas turun ke samping hingga mencapai pinggulku. Perlahan-lahan ia menarik ibu jarinya dan aku mendengar tanda suara ritsleting dibuka. Memegang pinggulku yang lain, dia menarikku kebelakang dan membuka kakiku lebih lebar, kakinya mendorong kakiku.
"Jangan sampai lepas dari pegangan meja, Ana," ia memperingatkan.
"Tidak," aku terkesiap.
"Sesuatu yang keras? Beritahu aku jika aku terlalu keras. Mengerti?"
"Ya," bisikku, dan dia menghempaskan ke dalam diriku dan di saat yang sama dia menarikku menempel kearahnya, menyentakkan plug itu ke depan, semakin dalam...
"Sialan!" Aku berteriak.
Dia diam, napasnya lebih berat dan aku terengah-engah sama seperti dirinya. Aku mencoba untuk menyerap semua sensasi ini: rasanya penuh dan terasa nikmat, perasaan menggairahkan karena aku melakukan sesuatu yang terlarang, kenikmatan erotis yang berputar-putar terbentang dari dalam diriku. Dia menarik lembut plug itu. Oh astaga... Aku mengerang, dan aku mendengar dia menghirup napas dengan tajam – sebuah hasrat yang sempurna, benar-benar sebuah kenikmatan. Itu memanaskan darahku. Apakah aku pernah merasa begitu nakal... begitu -
"Lagi?" Bisiknya.
"Ya."
"Tetap berbaring di meja," perintahnya. Perlahan-lahan dia keluar dari diriku dan menghujam ke dalam diriku lagi. Oh...
Aku menginginkan ini. "Ya," aku mendesis.
Dan dia meningkatkan kecepatannya, napasnya lebih terengah, sama sepertiku saat ia mendorong ke dalam diriku.
"Oh, Ana," ia terengah-engah. Dia menggerakkan salah satu tangannya dari pinggulku dan memutar-mutar plug-nya lagi, menarik perlahan-lahan, menariknya keluar dan mendorongnya kembali masuk didalam diriku. Perasaan ini tidak bisa digambarkan dan kupikir aku akan pingsan di atas meja. Dia tak pernah melewatkan iramanya saat ia memilikiku, lagi dan lagi, bergerak dengan kuat dan keras didalam diriku, bagian dalam diriku mengencang dan bergetar.
"Oh," erangku. Ini akan merobekku jadi terpisah.
"Ya, sayang," ia mendesis.
"Please," aku memohon pada dia dan aku tak tahu untuk apa - untuk berhenti, atau jangan berhenti, atau juga untuk memutar plug lagi. Didalam diriku semakin mencengkeram sekeliling dirinya dan plug itu.
"Benar sayang," dia menarik nafasnya, dan ia menampar dengan keras pantatku yang sebelah kanan, dan aku klimaks - lagi dan lagi, jatuh, dan terjatuh lagi, berputar-putar, berdenyut seperti diaduk-aduk - dan dengan lembut Christian menarik plug keluar.
"Brengsek!" Teriakku dan Christian meraih pinggulku dan klimaks dengan keras, diam sambil memelukku.
Suara wanita itu masih terdengar bernyanyi. Christian selalu memasang lagu yang di ulang- ulang di sini. Aneh. Aku di atas pangkuan Christian meringkuk dalam pelukannya, kaki kami saling membelit, sambil menyandarkan kepalaku di dadanya. Kami berada di lantai ruang bermain di dekat meja.
"Selamat datang kembali," katanya, melepas penutup mataku. Aku berkedip saat mataku menyesuaikan diri dengan cahaya samar-samar. mengangkat daguku, dia memberikan ciuman lembut di bibirku, matanya terus fokus dan sedikit gelisah saat membaca reaksiku. Aku mengulurkan tanganku untuk membelai wajahnya. Dia tersenyum.
"Well, apakah aku sudah memenuhi pengarahan itu?" Ia bertanya dengan geli.
Aku mengerutkan kening. "Pengarahan?"
"Kau menginginkan sesuatu yang kasar," katanya lembut.
Aku menyeringai, karena aku tak bisa menahannya. "Ya. Kurasa kau sudah memenuhinya..."
Dia mengangkat alisnya dan menyeringai kembali ke arahku. "Aku sangat senang mendengarnya Mrs. Grey. Well, kau benar-benar kelihatan baru saja bercinta dengan puas dan sangat cantik saat ini." Dia membelai wajahku, jari-jari panjangnya mengusap pipiku.
"Aku merasakan ini," suaraku mendengung.
Dia menunduk ke bawah dan menciumku dengan mesra, bibirnya lembut, hangat dan menempel erat di bibirku. "Kau tak pernah mengecewakan." Dia bersandar kebelakang untuk menatapku. "Bagaimana perasaanmu?" Suaranya lembut dengan peduli.
"Baik," bisikku, merasakan wajahku berubah menjadi merah.
"benar-benar bercinta dengan puas." Aku tersenyum malu-malu.
"Kenapa, Mrs. Grey, kau jorok, mulutmu jorok sekali." ekspresi Christian pura-pura tersinggung, tapi aku bisa mendengar nada kegeliannya.
"Itu karena aku menikah dengan seseorang yang begitu jorok, cowok yang sangat jorok, Mr. Grey."
Dia menyeringai dengan sangat konyol dan itu menulariku. "Aku senang kau menikah dengannya." Dengan lembut ia menahan kepangan rambutku, mengangkat daguku ke arah bibirnya, dan akhirnya menciumku dengan rasa hormat, matanya bersinar dengan perasaan cinta. Oh my...apakah aku pernah punya kesempatan untuk menolak pria ini?
Aku meraih tangan kirinya dan menanamkan ciuman di atas cincin kawinnya, sebuah cincin polos terbuat dari platina yang sesuai dengan punyaku. "Milikku," bisikku.
"Milikmu," jawabnya. Dia melingkarkan lengannya di sekelilingku dan menekan hidungnya ke rambutku. "Apakah kau mau ke kamar mandi?"
"Hmm. Ya, asal kau mau bergabung denganku disana."
"Oke," katanya. Dia membantuku sampai aku bisa berdiri lalu dia berdiri disampingku. Dia masih mengenakan celana jinsnya.
"Maukah kau memakai... em...jinsmu yang lain?"
Dia mengernyit ke arahku. "Jins yang lain?"
"Jins yang biasanya kau pakai di sini."
"Jins yang itu?" Bisiknya sambil berkedip dengan bingung dan agak terkejut.
"Kau terlihat sangat panas memakai itu."
"Benarkah?"
"Yeah...Maksudku, benar-benar panas."
Dia tersenyum dengan malu-malu. "Well, spesial untukmu, Mrs. Grey, mungkin aku akan mengenakannya." Dia membungkuk menciumku kemudian meraih mangkuk kecil di atas meja yang berisi butt plug, tube pelumas, penutup mata, dan celana dalamku.
"Siapa yang membersihkan mainan ini?" Tanyaku saat mengikutinya menuju ke lemari laci. Dia mengerutkan kening kearahku, seolah-olah tidak memahami pertanyaanku. "Aku. Mrs. Jones."
"Apa?"
Dia mengangguk, binggung bercampur malu, kurasa. Dia mematikan musiknya. "Well - um..."
"Sub-mu yang biasanya membersihkannya?" Aku menyelesaikan kalimatnya. Dia mengangkat bahu untuk meminta maaf.
"Ini." Dia menyerahkan kemeja miliknya untukku dan aku memakai pakaiannya. Aroma tubuhnya masih menempel di kemejanya, yang membuatku menyesal karena mencuci butt plug jadi terlupakan. Dia meninggalkan barang-barang itu diatas lemari laci. Meraih tanganku, dia membuka kunci pintu ruang bermain kemudian membawaku keluar dan menuruni tangga. Aku
mengikutinya dengan pasrah.
Rasa cemas, suasana hati yang buruk, ketegangan, rasa takut, serta gairah saat kejar-kajaran mobil semuanya langsung sirna. Aku merasa rileks - akhirnya puas dan tenang. Ketika kami memasuki kamar mandi, aku menguap dengan keras dan meregangkan tubuhku...tubuhku menjadi ringan karena sudah berubah menjadi santai.
"Ada apa?" Tanya Christian saat ia menyalakan kran. Aku menggelengkan kepalaku.
"Katakan," ia bertanya dengan lembut. Dia menuangkan sabun cair beraroma melati ke dalam air mengalir di bak mandi, baunya sangat lembut mengisi ruangan, sedikit sensual.
Mukaku memerah. "Aku hanya merasa lebih baik."
Dia tersenyum. "Ya, sepertinya suasana hatimu agak aneh hari ini, Mrs. Grey."
Dia berdiri, dan menarikku ke dalam pelukannya. "Aku tahu kau khawatir tentang beberapa kejadian baru-baru ini. Aku menyesal kau turut terjebak didalamnya. Aku tak tahu apakah itu karena balas dendam seorang mantan karyawan, atau persaingan bisnis. Jika sesuatu terjadi padamu karena aku-" Suaranya menurun menjadi bisikan dengan kesedihan. Aku melingkarkan tanganku di tubuhnya.
"Bagaimana jika sesuatu terjadi padamu, Christian?" Suaraku penuh ketakutan. Dia menatap ke arahku. "Kita akan mencari tahu penyebab masalah ini. Lebih baik kau sekarang melepaskan kemeja ini dan masuk ke bak mandi."
"Bukankah kau akan bicara dengan Sawyer?"
"Dia bisa menunggu." Mulutnya mengeras, dan aku merasakan suatu sengatan yang tiba-tiba merasa kasihan pada Sawyer. Apa yang dilakukannya hingga bisa membuat marah Christian?
Christian membantuku melepaskan kemejanya yang kupakai kemudian mengerutkan kening saat aku berbalik ke arahnya. Payudaraku masih terlihat tanda cupang tapi telah memudar yang pernah dia berikan padaku saat bulan madu kami, tapi aku memutuskan untuk tidak menggodanya tentang hal itu.
"Aku ingin tahu apakah Ryan bisa menangkap si penguntit?"
"Kita lihat saja nanti, setelah mandi. Ayo masuk." Dia mengulurkan tangannya padaku. Aku masuk ke dalam bak mandi yang berisi air panas, baunya harum dan duduk dengan ragu-ragu.
"Ow." pantat agak perih, dan air panas membuatku meringis.
"Pelan-pelan, sayang," Christian mengingatkan, tapi saat ia mengatakan itu, rasa tak nyaman langsung menghilang.
Christian melepas pakaiannya, masuk bak mandi dan duduk di belakangku, menarikku hingga menempel kedadanya. Aku bersandar di antara kakinya, dan kami berbaring santai dan terasa menyenangkan berendam air panas. Aku menjalankan jariku ke bawah dikakinya, dan dia memegang kepangku dengan salah satu tangannya, ia memutar-mutar dengan lembut diantara jari-jarinya.
"Kita perlu membahas rencana rumah baru. Nanti malam?"
"Tentu." Wanita itu akan datang kembali lagi. Bawah sadarku sedang membaca seri ke 3 ‘The Complete Works of Charles Dickens" langsung menatap dengan marah. Aku sependapat dengan
bawah sadarku. Aku menarik napas panjang. Sayangnya, desain milik Gia Matteo memang sangat menakjubkan.
"Aku harus menyiapkan barang-barangku untuk kerja besok," bisikku.
Dia langsung diam. "Kau tahu kau tidak harus kembali bekerja," bisiknya.
Oh tidak...jangan membicarakan ini lagi. "Christian, kita sudah pernah membahas ini. Tolong jangan kembali menghidupkan argumen ini."
Dia menarik kepangan rambutku kebelakang hingga wajah miring ke atas. "Aku hanya mencoba mengatakan..." Dia menanamkan ciuman dengan lembut di bibirku.
***
Aku memakai celana training dan kamisol lalu memutuskan untuk mengambil pakaianku di ruang bermain. Ketika aku berjalan sampai di lorong, aku mendengar suara Christian yang meninggi dari ruang kerjanya. Aku membeku.
"Kemana saja sih kamu?"
Oh sial. Dia berteriak pada Sawyer. Mengernyit, aku bergegas ke lantai atas menuju ruang bermain. Aku benar-benar tidak ingin mendengar apa yang dia katakan padanya - aku masih mendengar teriakan suara Christian yang mengintimidasi. Kasihan Sawyer. Setidaknya aku bisa membalas teriakannya.
Aku mengumpulkan pakaianku dan sepatu Christian, kemudian melihat mangkuk kecil porselen dengan butt plug yang masih ada di atas lemari laci tempat menyimpan mainannya. Well...Sebaiknya aku yang harus membersihkannya. Aku menyelipkan ke tumpukan pakaianku lalu berjalan kembali ke lantai bawah. Aku melirik dengan gugup ke ruang besar, tapi sepertinya semua sudah tenang...syukurlah.
Taylor akan kembali besok malam, biasanya Christian merasa lebih tenang ketika dia ada. Taylor menghabiskan seluruh waktunya hari ini dan besok dengan putrinya. Iseng-iseng aku bertanya- tanya dalam hati apakah aku bisa bertemu dengan putrinya.
Mrs. Jones keluar dari ruang cuci pakaian. Kami sama-sama terkejut.
"Mrs. Gray - saya tidak melihat Anda di sana." Oh, aku Mrs. Grey sekarang!
"Halo, Mrs. Jones."
"Selamat datang kembali dan selamat ya." Dia tersenyum lebar kepadaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar