"Kau perlu potong rambut," Gumamku. Berpaling darinya, aku melangkah ke lift.
"Begitukah?" Katanya sambil menyapu rambutnya dari dahinya. Dia mengikutiku masuk
"Ya." Aku menekan kode untuk apartemen kami ke dalam papan tombol.
"Jadi, kau sedang berbicara denganku sekarang?"
"Hanya bicara."
"Sebenarnya kau marah tentang apa? Aku perlu indikasi," tanyanya dengan hati-hati. Aku
berbalik dan ternganga padanya.
"Apakah kau benar-benar tidak tahu? Tentunya, bagi seseorang begitu pintar, kau pasti memiliki firasat? Aku tak percaya kau sedangkal itu."
Dia mengambil langkah mundur dengan hati-hati. "Kau benar-benar marah. Kupikir kita telah menyelesaikan semuanya di kantormu, "gumamnya, bingung.
"Christian, aku hanya menyerah pada tuntutan kemarahanmu. Itu saja."
Pintu lift terbuka dan aku tergesa keluar. Taylor berdiri di lorong.
Dia mengambil langkah mundur dan dengan cepat menutup mulutnya saat aku dengan cepat melewatinya.
"Hai, Taylor," gumamku.
"Mrs. Grey," bisiknya.
Aku menjatuhkan tasku di lorong, menuju ke ruang besar. Mrs. Jones di depan kompor.
"Selamat malam, Mrs. Grey."
"Hai, Mrs. Jones," gumamku sekali lagi. Aku langsung menuju ke lemari es dan menarik keluar sebotol anggur putih. Christian mengikutiku ke dapur dan melihatku seperti elang saat aku mengambil gelas dari lemari. Dia membuka jaketnya dan dengan santai meletakkannya di meja.
"Apa kau mau minum?" Tanyaku super manis.
"Tidak, terima kasih," katanya, tidak melepaskan pandangan dariku, dan aku tahu bahwa dia tak berdaya. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan denganku. Ini lucu pada satu sisi dan tragis di sisi yang lain. Well, peduli amat dengannya! Aku mengalami kesulitan menemukan rasa kasih sayangku sejak pertemuan kami sore ini. Perlahan-lahan, ia melepaskan dasinya kemudian membuka bagian atas kancing kemejanya. Aku menuangkan segelas besar sauvignon blanc, dan Christian menjalankan tangannya melalui rambutnya. Ketika aku berbalik, Mrs. Jones telah menghilang. Sial! Dia perisaiku. Aku menyesap seteguk anggur. Hmm. Rasanya enak.
"Hentikan ini," bisik Christian. Dia mengambil dua langkah di antara kami jadi dia berdiri tepat di depan ku. Dengan lembut ia menyisipkan rambutku di belakang telingaku dan membelai daun telingaku dengan ujung jarinya, mengirimkan rasa gigil melaluiku. Apakah ini yang aku rindukan sepanjang hari? Sentuhannya? Aku menggeleng, menyebabkan dia melepaskan telingaku dan menatapnya.
"Bicaralah padaku," bisiknya.
"Apa gunanya? Kau tidak akan mendengarkanku."
"Ya aku akan menengarkanmu. Kau salah satu dari sedikit orang yang ingin aku dengarkan."
Aku meneguk anggur.
"Apakah ini tentang namamu?"
"Ya dan tidak. Ini adalah cara kau berurusan dengan fakta bahwa aku tidak setuju denganmu." Aku menyorotkan mataku padanya, berharap dia akan marah.
Alisnya melengkung. "Ana, kau tahu aku memiliki... masalah. Sulit bagiku untuk membiarkan pada kekhawatiranmu. Kau tahu itu. "
"Tapi aku bukan anak kecil, dan aku bukan aset."
"Aku tahu." Dia mendesah.
"Kalau begitu berhentilah memperlakukanku seolah-olah aku anak kecil," bisikku, memohon padanya.
Dia menyapu bagian belakang jari-jarinya di pipiku dan menjalankan ujung ibu jarinya di bibir bawahku.
"Jangan marah. Kau begitu berharga bagiku. Seperti aset tak ternilai, seperti seorang anak," ia berbisik, ekspresi muram dengan rasa hormat terlihat di wajahnya. Kata-katanya mengalihkan perhatianku. Seperti seorang anak. Berharga seperti anak kecil...seorang anak akan berharga baginya!
"Aku bukan orang seperti itu, Christian. Aku istrimu. Jika kau terluka karena aku tidak menggunakan namamu, Kau harusnya mengatakannya padaku."
"Terluka?" Dia mengerutkan kening dalam-dalam, dan aku tahu bahwa dia mengeksplorasi kemungkinan dalam pikirannya. Dia berdiri tiba-tiba, masih mengerutkan kening, dan melirik jam tangannya dengan cepat.
"Si Arsitek akan berada di sini kurang dari satu jam. Kita harus makan."
Oh tidak. Aku mengeluh dalam hati. Dia tidak menjawabku, dan sekarang aku harus berurusan dengan Gia Matteo. Hari burukku baru saja menjadi lebih buruk. Aku cemberut pada Christian.
"Diskusi ini belum selesai," gumamku.
"Apa lagi yang bisa dibahas?"
"Kau bisa menjual perusahaan itu."
Christian mendengus. "Menjualnya?"
"Ya."
"Kau pikir aku akan menemukan pembeli di pasar saat ini?"
"Berapa biaya yang kau keluarkan?"
"Relatif murah." Nada suaranya dijaga.
"Jadi, jika bangkrut?"
Dia menyeringai. "Kami akan bertahan. Tapi aku tidak akan membiarkannya bangkrut, Anastasia. Tidak sementara kau berada di sana."
"Dan kalau aku pergi?"
"Dan melakukan apa?"
"Aku tidak tahu. Sesuatu yang lain."
"Kau sudah mengatakan ini adalah pekerjaan impianmu. Dan maafkan aku jika aku salah, tapi aku berjanji di hadapan Tuhan, Pendeta Walsh, dan jemaat terdekat kita dan terkasih untuk menyayangimu, menjunjung tinggi harapan dan impianmu, dan membuatmu aman di sisiku."
"Mengutip janji pernikahanmu padaku itu tidak bermain adil."
"Aku tidak pernah berjanji untuk bermain adil dimana kau sedang khawatir. Selain itu," tambahnya, "Sebelumnya kau sudah menggunakan janjimu padaku seperti senjata."
Aku cemberut padanya. Hal ini benar.
"Anastasia, jika kau masih marah denganku, keluarkan semua padaku di tempat tidur nanti." Suaranya tiba-tiba rendah dan penuh kerinduan sensual, matanya memanas.
Apa? Tempat tidur? Bagaimana?
Dia tersenyum sabar pada ekspresiku. Apakah dia mengharapkan aku mengikatnya? Ya ampun! Dewi batinku melepaskan earbuds iPod-nya dan mulai mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Tujuh nuansa hari Minggu," bisiknya. "Aku menantikan itu."
Whoa!
"Gail!" Teriak dia tiba-tiba, dan empat detik kemudian, Mrs. Jones muncul. Dimana dia? kantor Taylor? Mendengarkan? Oh ya ampun.
"Mr. Grey?"
"Tolong, Kami ingin makan sekarang."
"Baiklah, Pak."
Christian tidak melepaskan matanya dariku. Dia mengamatiku dengan ketelitian seolah-olah aku beberapa makhluk eksotis yang akan meloncat. Aku menyesap anggur.
"Kupikir aku akan bergabung denganmu minum segelas," katanya, mendesah, dan menjalankan tangannya melalui rambutnya lagi.
***
"Kau tidak akan menghabiskannya?"
"Tidak." Aku menatap ke bawah pada piring dari fettuccini yang hampir tidak tersentuh untuk menghindari gelap ekspresi Christian. Sebelum ia bisa mengatakan apa-apa, aku berdiri dan membersihkan piring kami dari meja makan.
"Gia akan segera bergabung dengan kita," gumamku. Mulut Christian berkerut karena wajah muram yang tidak bahagia, tapi dia tidak berkata apa-apa.
"Aku akan mengurus piring-piring itu, Mrs. Grey," kata Mrs. Jones saat aku berjalan ke dapur.
"Terima kasih."
"Kau tidak menyukainya?" Dia bertanya, khawatir.
"Makanannya enak. Aku hanya tidak lapar. "
Memberiku senyum kecil simpatik kecil, ia kembali untuk membersihkan piring dan menempatkan semuanya di mesin cuci piring.
"Aku akan menelepon beberapa orang," Christian memberitahuku, memberikanku sebuah tatapan menilai sebelum ia menghilang ke ruang kerjanya.
Aku menghela napas lega dan berjalan ke kamar tidur kami. Makan malam saat ini menjadi canggung. Aku masih marah pada Chrisitian, dan ia tampaknya tidak berpikir dia melakukan sesuatu yang salah.
Begitukah? Alam bawah sadarku mengerutkan alisnya padaku dan menatap dengan jinak pada kacamata bulan sabitnya. Ya, ia memang seperti itu. Dia membuatnya bahkan lebih aneh bagiku di tempat kerja. Dia tidak menunggu untuk membahas masalah ini denganku ketika kami berada di privasi yang saling terhubung di rumah kita sendiri. Apa yang dia rasakan jika aku datang menerobos masuk ke kantornya, menjatuhkan hukuman? Dan untuk menangani itu semua, ia ingin memberi aku SIP! Bagaimana aku bisa menjalankan perusahaan? Aku tak tahu apa-apa tentang bisnis.
Aku menatap keluar di langit Seattle yang bermandikan cahaya merah muda mutiara senja. Dan seperti biasa, dia ingin memecahkan perbedaan-perbedaan kita di kamar tidur. . . um. . . lobi. . . ruang bermain. . . ruang TV. . . meja dapur. . . Berhenti! Selalu kembali pada seks dengan dia. Seks adalah mekanisme keras kepalanya.
Aku berjalan ke kamar mandi dan cemberut pada bayanganku di cermin. Datang kembali ke dunia nyata itu sulit. Kami berhasil untuk menghapuskan semua perbedaan kami saat kami berada di gelembung kami karena kami begitu sibuk terhadap satu sama lain. Tapi sekarang?
Secara singkat aku diseret kembali ke pernikahanku, mengingat kekhawatiranku pada hari itu - menikah terburu-buru...Tidak, aku tidak harus berpikir seperti ini. Aku tahu dia Fifty Shades ketika menikah dengannya. Aku hanya harus bertahan di sana dan mencoba untuk berbicara masalah ini dengannya.
Aku menyipitkan mata pada diriku sendiri di cermin. Aku terlihat pucat, dan sekarang aku harus menghadapi wanita itu untuk ditangani.
Aku memakai rok pensil abu-abuku dan blus tanpa lengan. Benar! Dewi batinku mengeluarkan cat kuku-merah-seperti-pelacurnya. Aku melepas dua kancing bajuku, memperlihatkan sedikit belahan dada. Aku mencuci wajahku kemudian dengan hati-hati mengulang make up, mengaplikasikan maskara lebih dari biasanya dan menempatkan lip-gloss ekstra di bibirku. Membungkuk, aku kemudian menyisir rambutku dengan keras dari akar ke ujung. Ketika aku berdiri, rambutku berwarna cokelat muda yang terjatuh di sekitar dadaku. Aku menyelipkan dengan berseni ke belakang telinga ku dan mencari sepatu pumps ku, ketimbang mengenakan sepatu flat.
Ketika aku muncul kembali ke ruang besar, Christian memiliki rancangan rumah yang menyebar menyebar di atas meja makan. Dia memutar musik melalui sound system. Itu menghentikan langkahku.
"Mrs. Grey, "katanya hangat kemudian tampak bingung menatapku.
"Apa ini?" Tanyaku. Musiknya menakjubkan.
"Faure's Requiem (Misa untuk orang meninggal). Kau terlihat berbeda, "katanya, terganggu.
"Oh. Aku belum pernah mendengar ini sebelumnya."
"Ini sangat menenangkan, santai," katanya dan mengangkat alis. "Apakah kau melakukan sesuatu pada rambutmu?"
"Aku menyisirnya," gumamku. Suaraku diikuti oleh suara yang menghantui. Meninggalkan rancangan di atas meja, ia berjalan ke arahku, berjalan perlahan mengiri musiknya.
"Menari denganku?" Gumamnya.
"Lagu ini? Ini adalah requiem" Aku menjerit, terkejut.
"Ya." Dia menarikku ke dalam pelukannya dan memelukku, mengubur hidungnya di rambutku dan bergoyang lembut dari sisi ke sisi. Dia berbau wangi diri surgawinya.
Oh. . . Aku merindukannya. Aku membungkus lenganku di sekelilingnya dan melawan dorongan untuk menangis. Kenapa kau begitu menyebalkan?
"Aku benci bertengkar denganmu," bisiknya.
"Well, berhenti menjadi seperti keledai (Arse)."
Dia terkekeh dan suara menawannya menggema melalui dadanya. Dia mengencangkan pegangannya padaku. "Arse (Keledai/pantat)?"
"Ass (pantat)."
"Aku lebih suka arse (Keledai)."
"Kau memang harus menyukainya. Itu cocok untukmu."
Dia tertawa sekali lagi dan mencium bagian atas kepalaku.
"Sebuah requiem?" Gumamku sedikit terkejut bahwa kita menari untuk itu.
Dia mengangkat bahu. "Ini hanya sepotong musik yang indah, Ana."
Taylor batuk diam-diam di pintu masuk, dan Christian melepaskanku.
"Miss Matteo ada di sini," katanya.
Oh senangnya!
"Bawa dia masuk ke dalam," kata Christian. Dia meraih dan meremas tanganku saat Miss Gia Matteo memasuki ruangan.
***
BAB 8
Gia Matteo adalah seorang wanita yang berpenampilan menarik - seorang wanita yang tinggi, nan cantik. Ia memiliki rambut pendek, pirang-salon, rambut yang sempurna dan potongan indah layaknya mahkota. Ia mengenakan celana kerja berwarna abu-abu pucat; celana panjang dan jaketnya melekat ketat di lekukannya yang indah. Pakaiannya terlihat mahal. Di bagian bawah tenggorokannya, sebuah kalung berlian berkilauan, serasi dengan anting di telinganya. Ia terlihat sangat terawat - salah satu dari wanita yang tumbuh besar dikelilingi uang dan dididik dengan baik, meskipun sepertinya sore ini hal itu kurang terlihat; blus biru pucatnya terlalu terbuka. Seperti pakaianku. Aku merona.
"Christian. Ana." Ia menyapa, menunjukkan giginya yang putih sempurna, dan mengulurkan tangan yang termanikur untuk menjabat tangan Christian terlebih dulu, kemudian tanganku. Itu berarti aku harus melepaskan tangan Christian untuk menjabat tangannya. Dia hanya sedikit lebih pendek dari Christian, tapi kemudian aku menyadari ia mengenakan sepatu hak tinggi yang mematikan.
"Gia," Christian menyapa dengan sopan. Aku tersenyum dingin.
"Kalian berdua tampak luar biasa setelah bulan madu," katanya lembut, mata coklatnya menatap Christian melalui bulu mata dengan maskara yang panjang. Christian melingkarkan tangannya di tubuhku, memelukku erat.
"Kami melewati waktu yang sangat menyenangkan, terima kasih." Ia menyapukan bibirnya di keningku, membuatku terkejut.
Lihat...dia milikku. Menyebalkan - terkadang, membuatku naik darah - tapi dia milikku. Aku menyeringai. Sekarang aku benar-benar mencintaimu, Christian Grey. Aku menyelipkan tanganku ke pinggangnya kemudian memasukkan tanganku ke dalam kantong celana di pantatnya dan meremas pantatnya. Gia memberikan kami senyuman tipis.
"Sudahkah kau melihat rancangannya?"
"Ya, kami sudah melihatnya," Aku menggumam. Aku menatap Christian, yang sedang tersenyum padaku, satu alisnya naik dan ia terlihat terhibur. Terhibur akan apa? Reaksiku pada Gia atau aku meremas pantatnya?
"Mari," kata Christian. "Rancangannya ada disini." Ia menggerakkan tangannya ke arah meja makan. Menggenggam tanganku, ia membawaku kesana, Gia mengikuti kami. Aku tiba-tiba teringat sopan santun.
"Apa kau ingin sesuatu untuk minum?" Aku bertanya. "Segelas wine?"
"Tentu saja, kau baik sekali," kata Gia. "Dry white jika kau punya."
Sial! Sauvignon black - itu dry white, kan? Dengan malas ku tinggalkan suamiku, aku pergi ke dapur. Aku mendengar iPod berdesis saat Christian mematikan lagunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar