Fifty Shades Freed (Fifty Shades #3) (34)

"Itu mengingatkanku," katanya, riang.
"Apa?" rengutku marah. Menganmbil kursinya, aku membaliknya menghadap cermin di depan wastafel. "Duduk," aku memerintah. Christian memandangku dengan pandangan terhibur, tapi tetap menuruti perintah dan duduk kembali di kursi. Aku mulai menyisir rambutnya yang kini lembab.
"Aku berpikir kita bisa merubah kamar di dekat garasi untuk mereka di rumah baru," lanjut Christian. "Membuatnya seperti rumah. Kemudian mungkin anak perempuan Taylor bisa tinggal bersamanya lebih sering lagi." Ia memandangku hati-hati dari cermin.
"Mengapa ia tidak tinggal disini?"
"Taylor tak pernah menanyakan hal itu padaku."
"Mungkin kau harus menawarinya. Tapi kita harus menjaga tingkah laku kita."
Alis Christian naik. "Aku tak berpikir akan hal itu."
"Mungkin itu alasan mengapa Taylor tak pernah memintanya. Pernahkah kau bertemu dengannya?"
"Ya. Dia adalah gadis yang manis. Pemalu. Sangat cantik. Aku membayar biaya pendidikannya."
Oh! Aku berhenti menyisir dan menatapnya dari cermin.
"Aku tak tahu."
Ia mengangkat bahunya. "Hanya itu yang bisa aku lakukan. Lagipula, itu berarti Taylor tak kan berhenti bekerja."
"Aku yakin Taylor suka bekerja denganmu."
Christian menatapku kosong kemudian mengangkat bahunya lagi. "Aku tak tahu."
"Aku pikir ia sangat sayang padamu, Christian." Aku melanjutkan menyisir dan meliriknya. Matanya tak meninggalkan mataku.
"Benarkah kau berpikir begitu?"
"Ya. Tentu saja."
Ia mendengus tanda penolakan tetapi terasa ada suara seperti halnya ia secara diam-diam puas jika staffnya menyukainya.
"Bagus. Maukah kau berbicara pada Gia tentang kamar di dekat garasi?"
"Ya, tentu saja." Aku tak lagi merasakan terganggu sama seperti sebelumnya saat mendengar nama wanita itu. Bawah sadarku mengangguk setuju padaku. Ya... kita sudah melakukan hal bagus hari ini. Dewi batinku terlihat senang. Sekarang ia akan membiarkan suamiku sendiri dan berhenti membuatnya merasa tak nyaman.
Aku siap memotong rambut Christian. "Kau yakin soal ini? Kesempatan terakhirmu untuk membatalkan."
"Lakukan yang terburuk, Mrs. Grey. Aku tak harus melihat diriku, kau yang melihatku setiap hari."
Aku tersenyum lebar. "Christian, aku bisa melihatmu sepanjang hari."
Ia menggelengkan kepalanya kelelahan. "Ini hanya wajah yang tampan, sayang."
"Dan dibalik itu ada pria yang sangat hebat dan baik." Aku mencium keningnya. "Suamiku."
Ia tersenyum malu.
Mengangkat segenggam rambut pertama, aku menyisirnya ke atas dan menjepitnya diantara jari telunjuk dan tengahku. Aku menjepit sisir di mulutku, mengambil gunting dan membuat guntingan pertama, memotong satu inci hilang dari rambutnya. Christian menutup matanya dan duduk layaknya patung, mendesah seperti halnya menantang saat aku melanjutkannya. Kadang- kadang ia membuka matanya, dan aku mendapatinya sedang memandangku intens. Ia tak menyentuhku saat aku bekerja, dan aku bersyukur. Sentuhannya... mengalihkanku.
Lima belas menit kemudian, aku selesai.
"Selesai." Aku puas akan hasilnya. Ia terlihat seksi seperti biasanya, rambutnya masih terkulai dan seksi... hanya sedikit lebih pendek.
Christian menatap dirinya sendiri di cermin, terlihat puas yang mengejutkan. Ia menyeringai. "Kerja bagus, Mrs. Grey." Ia memutar kepalanya dari satu sisi ke sisi lain dan melingkarkan tangannya di tubuhku. Menarikku ke arahnya, ia mencium dan mengendus perutku.
"Terima kasih," katanya.
"Dengan senang hati." Aku merunduk dan menciumnya lembut.
"Sudah malam. Tempat tidur." Ia memberikan pantatku tamparan bercanda.
"Ah! Aku harus membersihkan tempat ini." Ada rambut bertebaran di lantai.
Christian membeku, seperti halnya kejadian itu tak pernah terjadi padanya. "Okay, aku akan mengambil sapunya," katanya masam. "Aku tak ingin kau mempermalukan staff dengan pakaianmu yang sangat tidak pantas."
"Apa kau tahu dimana sapunya?" Aku bertanya polos.
Ini membuat Christian menghentikan langkahnya. "Um... tidak."
Aku tertawa. "Aku akan mengambilnya."
***
Saat aku memanjat ke ranjang dan menunggu Christian untuk bergabung denganku, aku membayangkan betapa berbedanya hari ini berakhir. Aku sangat marah padanya, dan ia juga marah padaku. Bagaimana aku akan setuju dengan omong kosong menjalankan-sebuah- perusahaan ini? Aku tak punya gairah untuk memimpin sebuah perusahaan. Aku bukan dia. Aku harus bisa melewati ini. Mungkin aku harus mempunyai kata aman untuk saat ia menjadi terlalu memerintah atau mendominasi, untuk saat ia menjadi keledai. Aku terkikik. Mungkin kata amannya harus keledai. Aku merasa pikiran itu sangat menggoda.
"Apa?" katanya saat ia memanjat ke tempat tidur di sebelahku hanya mengenakan celana piyamanya.
"Bukan apa-apa. Hanya sebuah ide."
"Ide apa?" Ia merenggangkan tubuhnya disebelahku.
Ini dia, sesuatu yang mungkin akan gagal. "Christian, kupikir aku tak ingin menjalankan sebuah perusahaan."
Ia menopang dirinya sendiri dengan siku dan menatapku. "Kenapa kau mengatakan itu?"
"Karena itu bukanlah sesuatu yang menarik bagiku."
"Kau lebih dari sekedar mampu menjalankannya, Anastasia."
"Aku suka membaca buku, Christian. Menjalankan sebuah perusahaan akan menjauhkanku dari hal itu."
"Kau bisa menjadi kepala bagian kreatif."
Aku membeku.
"Kau lihat," lanjutnya, "menjalankan sebuah perusahaan yang sukses adalah tentang mengumpulkan bakat dari tiap individu yang kau miliki di bagianmu. Jika itu adalah tempat di mana bakatmu dan minatmu berada, kemudian kau buat perusahaan untuk bisa melakukannya. Jangan pikir kau tak bisa melakukannya, Anastasia. Kau adalah wanita yang lebih dari sekedar mampu. Kupikir kau bisa melakukan apapun yang kau inginkan jika kau mengarahkan pikiranmu ke sana."
Whoa! Bagaimana ia bisa tahu kalau aku bisa melakukan semua itu?
"Aku juga khawatir jabatan itu akan menyita banyak waktuku."
Christian membeku.
"Waktu yang bisa kucurahkan untukmu." Aku mengeluarkan senjata rahasiaku.
Matanya semakin gelap. "Aku tahu apa yang kau lakukan," gumamnya, terhibur.
Sialan!
"Apa?" aku tetap berpura-pura polos.
"Kau mencoba menggoyahkanku dari urusan ini. Kau selalu melakukannya. Jangan buang ide ini, Ana. Pikirkan. Hanya itu yang ku minta." Ia merunduk dan menciumku cepat, kemudian meluncurkan ibu jarinya di pipiku. Argumen ini akan terus terjadi berulang kali. Aku tersenyum padanya - dan sesuatu yang ia katakan tadi tiba-tiba muncul tanpa dapat di cegah di pikiranku.
"Bisakah aku bertanya sesuatu padamu?" Suaraku lembut.
"Tentu saja."
"Hari ini kau bilang jika aku marah padamu, aku seharusnya melampiaskan itu di tempat tidur. Apa maksudmu?"
Ia diam. "Apa yang kau pikir yang aku maksud?"
Sialan! Aku harus mengatakan itu. "Bahwa kau ingin aku mengikatmu."
Alisnya naik karena terkejut. "Um... tidak. Itu bukan sama sekali yang aku maksud."
"Oh." Aku terkejut karena aku sedikit kecewa di hatiku.
"Kau ingin mengikatku?" tanyanya, jelas ia sedang membaca ekspresiku. Ia terdengar shock. Aku merona.
"Well..."
"Ana, Aku-" ia berhenti, dan sesuatu yang gelap melintas di wajahnya.
"Christian," Aku berbisik, menyadari sesuatu. Aku bergerak jadi aku berbaring di sisiku, menopang tubuhku dengan siku seperti yang ia lakukan. Aku memegang wajahnya. Matanya lebar dan ketakutan. Ia menggelengkan kepalanya sedih.
Sial! "Christian, hentikan. Ini bukan apa-apa. Kupikir itu yang kau maksudkan."
Ia memegang tanganku dan menempatkannya di jantungnya. Sial! Apa ini?
"Ana, aku tak tahu bagaimana rasanya jika kau menyentuhku saat aku sedang dalam keadaan terikat."
Kulit kepalaku serasa tertusuk. Ini seperti dia sedang mengungkapkan sesuatu yang dalam dan gelap.
"Ini masih terlalu baru." Suaranya rendah dan serak.
Sial. Tadi hanya sebuah pertanyaan, dan aku menyadari bahwa ia memikirkannya terlalu jauh, tapi ia masih memiliki jalan yang panjang. Oh, Fifty, Fifty, Fifty. Ketakutan mencengkram hatiku. Aku merunduk dan ia membeku, tapi aku menanamkan kecupan lembut di sudut bibirnya.
"Christian, aku memikirkan hal yang salah. Kumohon jangan khawatir tentang hal itu. Kumohon jangan pikirkan tentang hal itu." Aku menciumnya. Ia menutup matanya, mengerang dan membalas ciumanku, mendorongku ke tempat tidur, tangannya memegang daguku. Dan secepat itu pula kami tersesat... tersesat oleh satu sama lain lagi.
***
BAB 9
Ketika aku terbangun sebelum alarm berbunyi keesokan harinya, Christian membungkus di sekelilingku seperti tanaman merambat, kepalanya di dadaku, lengannya memeluk pinggangku dan kakinya diantara kakiku - dan dia tidur di sampingku. Selalu berada disisi tempat tidur yang sama, jika kami berdebat pada malam sebelumnya, pasti akan berakhir seperti ini, menggulung disekelilingku, membuatku kepanasan dan sedikit terganggu.
Oh, Fifty. Dia sangat membutuhkan kasih sayang pada saat tertentu. Siapa yang mengira?
Bayangan familiar Christian sebagai seorang anak kecil kotor yang malang sangat menghantuiku. Dengan lembut, aku membelai rambutnya yang lebih pendek dan kesedihanku telah mereda. Dia bergerak, dan matanya yang masih mengantuk bertemu dengan mataku. Dia berkedip beberapa kali agar ia bisa terbangun.
"Hai," bisiknya dan tersenyum.
"Hai." Aku menyukai saat-saat bangun untuk melihat senyum itu.
Dia mengendus payudaraku dan bersenandung seakan mengagumi begitu mendalam yang keluar dari tenggorokannya. Tangannya bergerak ke bawah pinggangku, meluncur diatas kain satin baju tidurku yang dingin.
"Kau seperti potongan kecil makanan yang menggiurkan," ia bergumam. "Tapi, meskipun kau baru bangun kau begitu menggoda," ia melirik alarm, "aku harus segera bangun." Dia merentangkan tubuhnya, melepaskan dekapannya dari diriku, lalu bangun.
Aku berbaring, meletakkan tanganku di belakang kepalaku, dan menikmati pemandangan itu - Christian melepaskan semua pakaiannya karena akan segera mandi. Dia begitu sempurna. Aku tidak akan mengubah selembar rambut pun di kepalanya.
"Mengagumi pemandangan, Mrs. Grey?" Christian melengkungan satu alisnya dengan tajam kearahku.
"Sebuah pemandangan tubuh yang sangat indah, Mr. Grey." Dia menyeringai dan melempar celana piyama ke arahku hingga hampir mendarat di wajahku, tapi aku menangkapnya tepat pada waktunya, aku cekikikan seperti anak sekolahan. Dengan menyeringai nakal, dia mengulurkan tangannya ke bawah, menarik selimutku hingga terlepas, menempatkan satu lututnya di tempat tidur dan meraih pergelangan kakiku, menarikku ke arahnya sehingga baju tidurku nyangkut diatas tubuhku. Aku menjerit, dan ia merangkak ke atas tubuhku, ciuman kecilnya menelusuri lututku, pahaku...my... oh...Christian!
***
"Selamat pagi, Mrs. Grey," Mrs. Jones menyapaku. Aku tersipu, merasa malu saat mengingat aku melihat dia sedang berkencan dengan Taylor tadi malam.
"Selamat pagi," aku menjawab saat dia mengulurkan secangkir teh untukku. Aku duduk di kursi bar di samping suamiku, penampilannya bersinar: segar sehabis mandi, rambutnya basah, mengenakan kemeja putih bersih dan dasi perak abu-abu. Dasi favoritku. Aku memiliki kenangan indah dengan dasi itu.
"Apa kabar, Mrs. Grey?" Ia bertanya, matanya hangat.
"Kupikir anda sudah mengetahuinya, Mr Grey." Aku menatapnya dibalik bulu mataku. Dia menyeringai. "Makanlah," perintahnya. "Kemarin kau tidak makan."
Oh, Fifty yang sangat bossy!
"Itu karena kau menjadi bodoh."
Mrs. Jones menjatuhkan sesuatu ke bak cuci yang menimbulkan suara berdentum, membuatku melompat. Christian tampaknya tidak mempedulikan suara itu. Mengabaikannya, dia ia menatapku tanpa ekspresi.
"Bodoh atau tidak - cepat makan." Nada suaranya serius. Aku tidak ingin berdebat dengannya.
"Oke! Ambil sendok, makan granola," aku menggerutu seperti remaja yang sedang merajuk. Aku meraih yoghurt Yunani dan menyendok serealku, diikuti sejumlah blueberry. Aku melirik Mrs. Jones dan ia menangkap mataku. Aku tersenyum, dan dia membalasnya dengan senyum yang hangat. Dialah yang menyediakan beberapa pilihan sarapanku yang disiapkan untuk bulan madu kami.
"Aku mungkin harus pergi ke New York akhir minggu ini." Pemberitahuan Christian menyela lamunanku.
"Oh."
"Ini artinya aku akan menginap. Aku ingin kau ikut denganku."
Oh tidak...
"Christian, aku tidak akan diperbolehkan cuti lagi."
Dia memberiku tatapan yang menyiratkan oh-benarkah-tapi-aku-kan-bosmu.
Aku menghela napas. "Aku tahu kau yang memiliki perusahaan, tapi aku sudah meninggalkan pekerjaanku selama tiga minggu. Please. Bagaimana bisa kau mengharapkan aku untuk menjalankan bisnis jika aku tidak pernah ada disana? Aku akan baik-baik saja di sini. Aku berasumsi kau akan mengajak Taylor, berarti Sawyer dan Ryan akan sini-" Aku berhenti, karena Christian menyeringai padaku. "Apa?" kataku dengan suara agak keras.
"Tidak ada apa-apa. Hanya kau," katanya.
Aku mengerutkan kening. Apakah dia menertawakan aku? Kemudian pikiran buruk muncul dalam benakku. "Naik apa kau ke New York?"
"Jet perusahaan, mengapa?"
"Aku hanya ingin memastikan apakah kau akan naik Charlie Tango atau tidak." Suaraku tenang, dan sebuah getaran berjalan menuruni tulang belakangku. Aku ingat kapan terakhir kali ia menerbangkan helikopternya. Gelombang rasa mual seakan memukulku saat aku mengingat kembali perasaan cemas setiap menit yang kuhabiskan untuk menunggu berita terbarunya. Itu mungkin titik terendah dalam hidupku. Aku menyadari Mrs. Jones juga terdiam. Aku mencoba dan mengabaikan pikiran itu.
"Aku tidak akan terbang ke New York dengan Charlie Tango. Dia tidak memiliki jangkauan yang luas. Selain itu, dia belum kembali dari para teknisi sampai dua minggu mendatang."
Oh... syukurlah. Senyumku sedikit lega, tapi informasi tentang kematian Charlie Tango membuat
pikiran Christian menjadi sangat sibuk dan membutuhkan waktu lebih dalam beberapa minggu terakhir.
"Well, aku senang sebentar lagi dia sudah selesai diperbaiki, tapi-" Aku berhenti. Dapatkah aku mengatakan kepadanya betapa gelisahnya aku ketika ia akan menerbangkannya lain kali?
"Apa?" Tanya dia saat omeletnya sudah habis.
Aku mengangkat bahu.
"Ana?" Katanya, lebih tegas.
"Aku hanya...kau tahu. Terakhir kali kau menerbangkannya - kupikir, kita pikir, kau akan..." Aku tidak bisa menyelesaikan kalimatku, dan ekspresi Christian melembut.
"Hei." Dia meraih keatas untuk membelai wajahku dengan punggung buku jari-jarinya. "Itu sabotase." Ekspresi gelap melintasi wajahnya, dan untuk sesaat aku bertanya-tanya apakah dia tahu siapa yang melakukannya.
"Aku takut kehilangan dirimu," gumamku.
"Lima orang telah dipecat karena hal itu, Ana. Tidak akan terjadi lagi."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar