Fifty Shades Freed (Fifty Shades #3) (24)

"Pertapa. Terjebak dalam menara putih gadingmu," aku memberikan fakta. Bibir Christian berkedut karena senang.
"Menara gading kita. Dan aku pikir kau punya nama tambahan untuk dimasukkan ke dalam daftar pengagummu, Mrs. Grey."
Aku memutar mataku. "Christian, kau pikir semua orang pengagumku."
"Apa kau baru saja memutar matamu padaku?"
Detak jantungku semakin cepat. "Tentu saja," aku berbisik, nafasku tertahan di tenggorokan.
Ia memiringkan kepalanya ke satu sisi, memakai ekspresinya yang membara, arogan, dan terhibur. "Apa yang harus kita lakukan akan hal itu?"
"Sesuatu yang kasar."
Ia berkedip untuk menyembunyikan keterkejutannya. "Kasar?"
"Kumohon."
"Kau ingin lagi?"
Aku mengangguk pelan. Pintu elevator terbuka dan kami sampai dirumah.
"Seberapa kasar?" ia bernafas, matanya menggelap.
Aku menatapnya, tidak berkata-kata. Ia menutup matanya selama beberapa saat, dan kemudian memegang tanganku dan menaikku ke serambi.
Saat kami melewati pintu, Sawyer berdiri di lorong, melihat kami berdua.
"Sawyer, aku ingin laporan satu jam dari sekarang," kata Christian.
"Ya, sir." berbalik, Sawyer kembali ke kantor Taylor.
Kami punya satu jam!
Christian melirikku. "Kasar?"
Aku mengangguk.
"Well, Mrs. Grey, kau sedang beruntung. Aku melayani pesanan hari ini."
***
BAB 6
"Apa yang ada dalam pikiranmu?" bisik Christian, seakan menjepitku dengan tatapan yang tegas. Aku mengangkat bahu, tiba-tiba aku merasa sesak napas dan gelisah. Aku tak tahu apakah itu akibat pengejaran tadi, atau adrenalinku yang meningkat, atau juga karena sebelumnya suasana hatiku sedang jelek - aku tak mengerti, tapi aku menginginkan ini, dan aku sangat menginginkannya. Sebuah ekspresi bingung berpindah di wajah Christian. "Kinky fuckery?" Tanyanya, kata-katanya membelai dengan lembut.
Aku mengangguk, merasakan wajahku terbakar. Mengapa aku malu dengan hal ini? Aku sudah pernah melakukan segala macam kinky fuckery dengan pria ini. Dia sudah menjadi suamiku, sialan! Apakah aku malu karena aku menginginkan ini dan aku malu mengakuinya karena aku menginginkan ini? Bawah sadarku melotot kearahku. Berhentilah berpikir yang terlalu berlebihan.
"Carte blanche (kekuasaan penuh)?" Dia membisikkan pertanyaan itu, mengamatiku dengan spekulasi seolah-olah dia mencoba untuk membaca pikiranku.
Kekuasaan penuh padanya? Sialan - apa itu diperlukan? "Ya," bisikku dengan gelisah, sepertinya gairah mulai berkembang di dalam diriku. Dia memberikan sebuah senyum perlahan-lahan yang tampak seksi.
"Ayo," katanya dan menarikku menuju tangga. Tujuannya sangat jelas. Ruang bermain! Dewi batinku terbangun dari tidurnya pasca-seks–di R8 dengan mata terbelalak dengan penuh kegembiraan siap melakukan itu.
Di bagian atas tangga, ia melepaskan tanganku dan membuka kunci pintu ruang bermain. Dengan gantungan kunci "YA Seattle" yang belum lama kuberikan kepadanya.
"Ayo masuk duluan, Mrs. Grey," katanya sambil membuka pintu. Bau ruang bermain sudah begitu familiar sangat menenangkan, aroma dari kulit dan kayu hutan serta cat segar. Mukaku memerah, mengetahui bahwa Mrs. Jones pasti di sini untuk membersihkan tempat ini sementara kami berdua pergi berbulan madu. Ketika kami masuk, Christian menyalakan lampu dan dinding merah gelap diterangi cahaya lembut menyebar keseluruh ruangan. Aku berdiri menatap dia, penantian ini telah memacu nadiku semakin meningkat dengan cepat. Apa yang akan dia lakukan untukku? Dia mengunci pintu dan berbalik. Memiringkan kepalanya ke satu sisi, ia memandangku sambil berpikir kemudian menggelengkan kepalanya dengan sedikit geli.
"Apa yang kau inginkan, Anastasia?" Tanya dia dengan lembut.
"Kau." Aku menanggapinya dengan mendesah.
Dia menyeringai. "Kau sudah memiliki aku. Kau memiliki aku sejak kamu jatuh di kantorku."
"Buatlah surprise untukku, Mr. Grey."
Mulutnya diputar menahan humornya seakan menjanjikan sebuah kenikmatan.
"Seperti yang kau inginkan, Mrs. Grey." Dia melipat tangannya dan mengangkat satu jari telunjuknya yang panjang ke bibirnya sambil menilai diri reaksiku. "Aku pikir kita akan memulainya dengan melepaskan pakaianmu." Dia melangkah maju ke depan. Memegang bagian depan jaket denim pendekku, ia membukanya dan mendorongnya dari atas bahuku sehingga jatuh ke lantai. Dia mencengkeram keliman kamisol hitamku.
"Angkat lenganmu."
Aku menurut, dan dia menarik keatas kepalaku. Membungkuk, ia menanamkan ciuman lembut di bibirku, matanya bersinar dengan campuran menggoda antara gairah dan cinta. Kamisolku bergabung dengan jaketku di lantai.
"Ini," bisikku menatap cemas kearahnya saat aku mengeluarkan ikat rambut dari pergelangan tanganku dan mengulurkan padanya. Dia diam, sesaat matanya melebar tapi tidak menunjukkan apapun. Sampai akhirnya, ia mengambil ikat rambutnya.
"Berbaliklah," perintahnya.
Rasanya lega, aku tersenyum pada diriku sendiri dan segera menuruti perintahnya. Sepertinya kami telah mengatasi masalah kecil ini. Ia mengumpulkan rambutku dan mengepangnya dengan cepat dan efisien sebelum mengikatnya. Dia merenggut kepanganku, menarik kepalaku hingga mendongak kebelakang.
"Ide yang bagus, Mrs. Grey," bisiknya di telingaku, lalu menggigit daun telingaku. "Sekarang berbalik dan lepaskan rokmu. Biarkan jatuh ke lantai." Dia melepaskan aku dan melangkah mundur saat aku berputar untuk menghadap kearahnya. Tidak melapaskan tatapanku kearahnya, Aku membuka ikat pinggang rokku dan perlahan-lahan menurunkan ritsleting ke bawah. Roknya menyebar keluar dan jatuh ke lantai, mengumpul di kakiku.
"Melangkahlah keluar dari rokmu," perintahnya. Saat aku melangkah ke arahnya, ia segera merosot kebawah dan berlutut di depanku dan mencengkeram pergelangan kaki kananku. Dengan sigap, ia melepas sandalku satu persatu sementara aku mencondongkan tubuhku ke depan, menyeimbangkan diriku dengan tangan bersandar di dinding dibawah gantungan yang digunakan untuk menampung semua cambuk, crops dan paddles. Flogger dan crops adalah satu- satunya alat yang masih tersisa. Aku melihat alat itu dengan penasaran. Apakah dia akan menggunakan alat itu?
Setelah melepas sepatuku jadi sekarang aku hanya menggunakan bra berenda dan celana dalam, Christian duduk berjongkok, menatap ke arahku. "Kau terlihat baik-baik saja, Mrs. Grey." Tiba-tiba ia berlutut, meraih pinggulku dan menarikku ke depannya, menenggelamkan hidungnya di puncak pahaku." Dan kau beraroma campuran dirimu dan aku dan bau sehabis seks," katanya sambil menghirup dengan tajam. "Baunya sangat memabukkan." Dia menciumku melalui celana dalam rendaku, sedangkan aku terengah-engah mendengar kata-katanya - bagian dalam tubuhku langsung meleleh. Dia benar-benar begitu...nakal. Sambil memunguti pakaianku dan sandalku, ia langsung berdiri dengan cepat, anggun, seperti seorang atlet.
"Berdirilah di samping meja," katanya dengan tenang, sambil menunjuk dengan dagunya. Berbalik, dia melangkah dengan senang ke arah lemari laci tempat koleksi mainannya. Apa yang
akan dia lakukan padaku?
Dia melirik ke belakang dan nyengir kearahku. "Pandangan tetap ke dinding," perintahnya.
"Dengan begitu kau tidak akan tahu apa yang aku rencanakan. Kita bertujuan untuk saling menyenangkan, Mrs. Grey, dan kau menginginkan kejutan itu."
Aku berpaling dari dia mendengarkan dengan seksama - telingaku tiba-tiba lebih sensitif terhadap suara sekecil apapun. Dia pandai dalam hal ini - membangun harapanku, mengobarkan hasratku...membuat aku menunggu. Aku mendengar dia meletakkan sepatuku dan, kupikir, pakaianku diletakkan di atas lemari laci, diikuti dengan suara seperti sepatunya saat mereka jatuh satu per satu ke lantai. Hmmm...aku menyukai Christian tanpa alas kaki. Sesaat kemudian, aku mendengar dia menarik untuk membuka laci.
Mainan! Oh, aku sangat, sangat suka dengan penantian ini. Laci ditutup dan napasku melonjak. Bagaimana bisa suara laci membuat aku menjadi gemetar dan berantakan? Tidak masuk akal. Desisan halus dari sound system terdengar disekeliling ruangan yang memberitahuku bahwa itu akan menjadi selingan musik. Suara piano tunggal mulai terdengar, meredam dan lembut, serta akord yang memilukan memenuhi ruangan. Lagu ini belum pernah aku dengar. Musik gabungan piano dengan gitar listrik. Apa ini? Suara seorang pria sedang bicara dan aku hanya bisa mengerti sedikit kata-katanya, sesuatu tentang tidak takut mati.
Christian berjalan santai tanpa alas kaki ke arahku, terdengar kaki telanjangnya menapak di atas lantai kayu. Aku merasakan dia di belakangku saat seorang wanita mulai menyanyi...meratap...atau menyanyi?
"Sesuatu yang kasar, seperti yang kau katakan, Mrs. Grey?" Dia bernafas di telinga kiriku.
"Hmm."
"Kau harus memberitahuku untuk berhenti kalau terlalu kasar. Jika kau mengatakan berhenti, aku akan langsung berhenti. Apakah kau mengerti?"
"Ya."
"Aku butuh mendengar janjimu."
Aku menarik napas tajam. Sial, apa yang akan dia lakukan? "Aku berjanji," Bisikku dengan terengah-engah, mengingat kata-katanya sebelumnya: Aku tidak ingin menyakitimu, tapi aku akan senang untuk bermain-main.
"Gadis pintar." Mencondongkan tubuhnya ke bawah, ia memberikan ciuman pada bahuku yang telanjang lalu mengkaitkan satu jarinya di bawah tali bra-ku dan menelusuri garis di punggungku dibalik tali itu. Aku ingin mengerang. Bagaimana bisa dia hanya sedikit memberikan sentuhan tapi bisa membuatnya menjadi begitu erotis?
"Lepaskan," bisiknya di telingaku, dan buru-buru aku mengikuti perintahnya dan membiarkan bra-ku jatuh ke lantai.
Tangannya meluncur di punggungku, lalu ia mengkaitkan kedua ibu jarinya ke celana dalamku dan mendorongnya turun ke kakiku.
"Angkat kakimu," perintahnya. Sekali lagi aku melakukan apa yang dia perintahkan, mengangkat kakiku untuk keluar dari celana dalamku. Dia menanamkan ciuman di sepanjang punggungku sambil berdiri.
"Aku akan menutup matamu sehingga semuanya akan terasa lebih intens." Dia menyelipkan penutup mata yang biasanya dipakai oleh maskapai penerbangan dimataku, dan duniaku seakan menjadi gelap gulita. Wanita itu bernyanyi seperti mengerang tidak jelas...sebuah melodi timbul tenggelam yang menyentuh hati.
"Membungkuklah dan berbaringlah di atas meja." Dia mengucapkan dengan kata-kata lembut.
"Sekarang."
Tanpa ragu, aku membungkuk diatas sisi meja dan menyandarkan dadaku di atas kayu yang sangat mengkilap, wajahku memerah di atas permukaan yang keras ini. Terasa dingin di kulitku dan baunya samar-samar seperti krayon dengan bau jeruk.
"Rentangkan lenganmu keatas dan berpeganglah pada tepi meja."
Oke...Mengulurkan tanganku keatas, Aku mencengkeram bagian tepi yang jauh dari meja. Cukup lebar, hingga lenganku sepenuhnya menyebar.
"Jika kau membiarkan lepas, aku akan memukul pantatmu. Apa kau mengerti?"
"Ya."
"Apakah kau ingin aku memukul pantatmu, Anastasia?"
Semuanya yang ada dibawah pinggangku mengencang penuh kenikmatan. Aku menyadari, aku menginginkan ini sejak dia mengancamku selama makan siang, dan bukan saat kejar-kejaran mobil maupun berhubungan intim setelahnya sampai terpuaskan kebutuhan ini.
"Ya." Suaraku serak berupa bisikan.
"Kenapa?"
Oh... apa aku harus memiliki alasannya? Astaga. Aku mengangkat bahu.
"Katakan padaku," bujuknya.
"Mm..."
Dan entah dari mana tahu-tahu ia memukulku dengan keras.
"Ah!" Aku berteriak.
"huss sekarang diam."
Dengan lembut dia mengusap-usap pantatku yang dia pukul tadi. Kemudian ia bersandar di atasku, pinggulnya digosok-gosokkan ke punggungku, menanamkan ciuman diantara tulang bahuku dan ciumannya menyusuri sepanjang punggungku. Dia melepaskan bajunya, sehingga rambut dadanya menggelitik punggungku, dan tubuhnya yang mengeras menekanku dibalik kain kasar celana jinsnya.
"rentangkan kakimu," perintahnya.
Aku membuka kakiku.
"Lebih lebar."
Aku merintih dan merentangkan kakiku lebih lebar.
"Gadis pintar," dia mengabil nafas. Jarinya menelusuri menuruni punggungku, sepanjang celah diantara pantatku, dan diatas anusku, yang langsung mengkerut karena sentuhannya.
"Kita akan bersenang-senang dengan ini," bisiknya. Apa? Sialan!
Jarinya terus turun diatas perineum-ku (daerah antara kemaluan dan anus) dan perlahan-lahan meluncur ke dalam diriku.
"Aku tahu kau sangat basah, Anastasia. Dari tadi atau baru sekarang?"
Aku merintih dan ia memudahkan jarinya masuk dan keluar di dalam diriku, lagi dan lagi. Aku mendorong kebelakang supaya lebih dekat dengan tangannya, menikmati intrusi itu.
"Oh, Ana, kupikir itu keduanya. Kupikir kau menyukai disini, seperti ini. Milikku."
Aku - oh, aku menyukainya. Dia menarik kembali jarinya dan memukulku dengan keras sekali lagi.
"Katakan padaku," ia berbisik, suaranya parau dan mendesak.
"Ya, aku menyukainya," aku mengerang.
Dia memukulku dengan keras sekali lagi jadi aku berteriak, kemudian menyelipkan dua jarinya kedalam diriku. Dia segera menariknya, mengoleskan kelembaban jarinya di atas dan di sekitar anusku.
"Apa yang akan kau lakukan?" aku bertanya, sambil terengah-engah. Oh my...dia akan bercinta dengan pantatku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar