Fifty Shades Freed (Fifty Shades #3) (20)

"Kau baik-baik saja?" Matanya penuh kepanikan, saat ia mendekatiku.
"Ya," aku berteriak parau, tapi aku tak bisa menahan kegembiraanku. Lihat, Christian? Itulah hal terburuk yang bisa terjadi pada sebuah Jet Ski! Ia menarikku kedalam pelukannya, kemudian menangkup kepalaku diantara kedua tangannya, memeriksa wajahku.
"Lihat, tak seburuk itu!" Aku tersenyum saat kami bergerak di air.
Alhasil ia tersenyum kearahku, jelas merasa lega. "Tidak, aku rasa tidak. Kecuali sekarang aku basah," gerutunya, tapi nadanya jenaka.
"Aku juga basah."
"Aku suka saat kau basah." Ia mengerling.
"Christian!" Aku memarahinya, mencoba untuk marah seperti yang seharusnya namun hanya bercanda. Ia menyeringai, terlihat tampan, kemudian maju dan menciumku liar. Saat ia menarik dirinya, aku kehabisan nafas. Matanya lebih gelap, jahat dan panas, dan aku merasa hangat ditengah dinginnya air laut.
"Ayo. Kita kembali. Sekarang kita harus mandi. Aku yang akan mengemudi."
~~~
Kami bermalas-malasan di ruang tunggu kelas satu British Airways di Heathrow, London, menunggu penerbangan kami menuju Seattle. Christian asyik membaca the Financial Times. Aku mengeluarkan kamera miliknya, ingin mengambil beberapa fotonya. Ia terlihat sangat seksi dalam pakaian yang menjadi ciri khasnya yaitu kemeja putih dan celana jeans, dan kacamata hitamnya tergantung di kerah V kemejanya yang terbuka. Kilatan flash kamera mengganggunya. Ia berkedip padaku dan menyunggingkan senyuman malu-malunya.
"Apa kabarmu, Mrs. Grey?" tanyanya.
"Sedih karena akan pulang," aku menggumam. "Aku suka kau menjadi milikku seorang."
Ia menggenggam tanganku dan mengangkat tanganku kearah bibirnya, mengecup buku jariku dengan kecupan manis. "Aku juga."
"Tapi?" Aku bertanya, mendengar kata kecil itu tak tersampaikan dari statemen sederhananya.
Ia membeku. "Tapi?" ia mengulangi kata itu dengan berat hati. Aku menggerakkan kepalaku ke satu sisi, menatapnya dengan ekspresi "katakan padaku" yang sudah sering ku praktikkan beberapa hari terakhir ini. Ia mendesah, menurunkan korannya. "Aku ingin orang yang membakar perusahaanku tertangkap dan menjauh dari kehidupan kita."
"Oh." Sepertinya hal itu cukup adil, tapi aku terkejut pada nadanya yang kasar.
"Aku akan memastikan testis Welch berada di piring jika ia membiarkan hal seperti ini terjadi lagi." Punggungku menggigil saat mendengar nada mengancamnya. Ia menatapku tenang, dan aku tak tahu jika ia berani kurang ajar padaku atau sejenisnya. Aku hanya melakukan sesuatu yang terlintas di pikiranku untuk meredakan tensi diantara kami dan mengangkat kamera untuk mengambil foto lainnya.
~~~
"Hey, tukang tidur, kita sudah sampai," Christian berbisik.
"Hmm," aku menggumam, enggan untuk meninggalkan mimpi yang menggiurkan tentang Christian dan aku di atas selimut piknik di Taman Kew. Aku sangat lelah. Bepergian ternyata sangat melelahkan, meskipun berpergian menggunakan pesawat kelas satu. Kami sudah berada di atas pesawat selama lebih dari delapan belas jam, kurasa - dalam kelelahan aku hilang arah. Aku mendengar pintuku dibuka, dan Christian condong kearahku. Ia membuka sabuk pengamanku dan mengangkatku keatas tangannya, membangunkanku.
"Hey, Aku bisa berjalan," Aku memprotes sambil mengantuk.
Ia mendengus. "Aku harus membopongmu melewati ambang pintu."
Aku menaruh tanganku dilehernya. "Melewati tigapuluh lantai?" Aku memberinya senyuman menantang.
"Mrs. Grey, aku sangat senang untuk mengumumkan bahwa kau bertambah beratnya."
"Apa?"
Ia tersenyum lebar. "Jadi jika kau tidak keberatan, kita akan menggunakan elevator." Ia memicingkan matanya padaku, meskipun aku tahu ia sedang menjahiliku.
Taylor membuka pintu kearah lobi Escala dan tersenyum. "Selamat datang Mr. Grey, Mrs. Grey."
"Terima kasih, Taylor," kata Christian.
Aku memberi Taylor senyuman tersingkat dan melihatnya kembali kedalam Audi dimana Sawyer sedang menunggu di kursi pengemudi.
"Apa maksudmu aku sudah bertambah berat?" Aku menatap garang pada Christian. Senyumannya semakin lebar, dan dia menarikku lebih erat ke dadanya saat ia membopongku melewati lobi.
"Tidak terlalu banyak," ia meyakinkanku namun wajahnya tiba-tiba menjadi gelap.
"Ada apa?" Aku mencoba untuk menahan kepanikan di suaraku tetap dalam kendali.
"Kau mengembalikan berat badanmu yang tadinya kau hilangkan saat kau pergi meninggalkanku," katanya pelan saat ia menekan tombol elevator. Eskpresi suram melintasi wajahnya.
Kesedihannya yang tiba-tiba dan mengejutkan, menyentak dihatiku. "Hey." Aku menaruh jemariku di wajahnya dan ke rambutnya, menariknya dekat denganku. "Jika aku tak pergi, apakah kau akan tetap berdiri disini, seperti ini, sekarang?"
Matanya melembut, sewarna awan mendung, dan senyumnya senyum malu-malu, senyuman
favoritku. "Tidak," katanya dan melangkah kedalam elevator sambil membopongku. Ia turun dan menciumku lembut. "Tidak, Mrs. Grey, aku tak mungkin ada disini. Tapi aku akan tahu bahwa aku bisa menjagamu tetap aman, karena kau tak akan membantahku."
Samar-samar terdengar penyesalan dalam nada suaranya... Sial.
"Aku suka membantahmu." Aku menggodanya.
"Aku tahu. Dan itu membuatku sangat... bahagia." Ia tersenyum kearahku ditengah kebingungannya.
Oh, terima kasih Tuhan. "Meskipun aku gemuk?" Aku berbisik.
Ia tertawa. "Meskipun kau gemuk." Ia menciumku lagi, kali ini lebih panas, dan aku menautkan jariku di rambutnya, memegangnya agar tetap menciumku, lidah kami bertautan dalam gerak tarian sensual yang pelan, tertaut satu sama lain. Saat elevator berbunyi ping dan berhenti, kami berdua kehabisan nafas.
"Sangat senang," gumamnya. Senyumannya lebih gelap sekarang, matanya temaram dan penuh dengan janji yang cabul. Ia menggelengkan kepalanya untuk memulihkan dirinya sendiri dan membawaku ke serambi.
"Selamat datang di rumah, Mrs. Grey." Ia menciumku lagi, lebih murni kali ini, dan memberiku senyuman paten-milik-Christian-Grey-bertegangan-ratusan-gigawatt, dimatanya menari-nari kebahagiaan.
"Selamat datang dirumah, Mrs. Grey." Aku berseri-seri, hatiku menjawab panggilannya, meluap dengan kebahagiaannya sendiri.
Aku pikir Christian akan menurunkanku, tapi tidak. Ia membopongku melewati serambi, koridor, masuk ke dalam ruang utama, dan mendudukkanku di meja utama di dapur dimana aku duduk dengan kaki yang menggantung. Ia mengambil dua gelas champagne dari lemari dapur dan sebotol champagne dingin dari kulkas - Bollinger favorit kami. Ia dengan cekatan membuka botol itu, tidak menumpahkan sedikitpun, menuangkan champagne berwana pink pucat kedalam masing-masing gelas, dan menyerahkan satu padaku. Mengambil gelas yang satunya, ia dengan lembut membuka kakiku dan maju untuk berdiri diantara keduanya.
"Bersulang untuk kita, Mrs. Grey."
"Untuk kita, Mr. Grey," Aku berbisik menyadari senyumanku yang malu-malu. Kami bersulang dan meneguk champagne itu.
"Aku tahu kau lelah," ia berbisik, menyapukan hidungnya di hidungku. "Tapi aku benar-benar ingin ke tempat tidur... dan bukan untuk tidur." Ia mencium sudut bibirku. "Ini malam pertama kita kembali ke sini, dan kau benar-benar milikku." Suaranya menghilang saat ia menempatkan ciuman lembut di leherku. Ini pagi buta di Seattle, dan aku sangat lelah, tapi gairah merekah di dalam perutku dan dewi batinku pun mendengkur.
~~~
Christian tidur dengan damai di sampingku saat aku melihat cahaya fajar merah muda dan keemasan melewati jendela besar. Lengannya tersampir lembut di atas payudaraku, dan aku mencoba untuk menyamai nafasnya agar aku bisa kembali tidur, tapi itu sia-sia. Aku segar, setiap sel tubuhku bekerja, pikiranku bergerak cepat.
Banyak hal yang terjadi tiga minggu belakangan ini - siapa yang kubodohi, maksudnya adalah tiga bulan belakangan ini - sehingga aku rasa kakiku belum kembali ke tanah. Dan sekarang aku disini, Mrs. Anastasia Grey, menikah dengan seorang mogul paling lezat, seksi, dermawan, paling kaya yang bisa ditemui seorang wanita. Bagaimana ini bisa terjadi begitu cepat?
Aku berbalik, berbaring mirip untuk menatapnya, menilai ketampanannya. Aku tahu ia memperhatikanku saat tidur, tapi aku jarang punya kesempatan melihatnya tidur. Ia terlihat begitu muda dan bebas dalamm tidurnya, bulu matanya yang panjang, sedikit janggut menutupi dagunya, dan bibirnya yang seperti pahatan sedikit terbuka, santai saat ia bernafas dalam- dalam. Aku ingin menciumnya, mendorong lidahku diantara bibirnya, mejalankan jariku diatas janggutnya yg tajam. Aku benar-benar harus menahan keinginan untuk menyentuhnya, tidak mengganggunya. Hmm... aku bisa sedikit menggoda telinganya dengan gigiku dan menghisapnya. Bawah sadarku menatap garang melalui kacamata separuh bulannya, teralih perhatiannya dari buku kedua Compete Works of Charles Dickens, dan mencercaku secara mental. Biarkan pria malang itu, Ana.
Aku kembali bekerja pada hari Senin. Kami masih punya hari ini untuk menyesuaikan diri, kemudian kami akan kembali ke rutinitas masing-masing. Akan aneh rasanya tidak melihat Christian sepanjang hari setelah melewati setiap menit bersamanya tiga minggu terakhir ini. Aku kembali terlentang dan menatap langit-langit. Seseorang mungkin berpikir bahwa menghabiskan waktu bersama terlalu sering akan sangat menyiksa, tapi itu bukan kasusku. Aku menyukai setiap dan seluruh menitnya, bahkan pertengkaran kami. Setiap menit... kecuali berita kebakaran di Grey House.
Darahku berdesir dingin. Siapa yang berniat menyakiti Christian? Pikiranku menggerutu pada misteri ini lagi. Seseorang dalam bisnisnya? Seorang mantan? Pegawai yang tidak puas? Aku tak habis pikir, dan Christian tetap bungkam tentang semua itu, memberi informasi seminimal mungkin padaku dengan dalih untuk melindungiku. Aku mendesah. Ksatria hitam-dan-putihku yang berkilau selalu berusaha untuk menjagaku. Bagaimana caranya agar aku bisa membuatnya lebih terbuka?
Ia berbalik dan aku masih tak ingin membangunkannya, tapi hal itu memberikan efek sebaliknya. Sial! Dua mata cerah menatapku.
"Ada apa?"
"Tak ada apa-apa. Kembalilah tidur." Aku coba memberikan senyum meyakinkan. Ia merenggang, mengosok wajahnya dan kemudian tersenyum lebar.
"Jet lag?" tanyanya.
"Apakah karena itu? Aku tak bisa tidur."
"Aku punya obat mujarab untuk semua penyakit disini, hanya untukmu, sayang." Ia tersenyum seperti anak sekolah, membuatku memutar mata dan terkikik pada saat yang bersamaan. Dan hanya dengan itu seluruh pikiran negatifku tersapu dan gigiku menemukan telinganya.
~~~
Christian dan aku bergerak ke utara kearah I-5 menuju jembatan 520 dalam Audi R8. Kami akan makan siang dirumah orang tuanya, makan siang hari Minggu untuk menyambut selamat datang dirumah. Semua anggota keluarga akan hadir, ditambah Kate dan Ethan. Akan terasa aneh merasakan banyak orang setelah beberapa minggu terakhir hanya ada kami berdua. Aku bahkan tak punya kesempatan berbicara dengan Christian pagi ini. Ia sibuk dengan urusannya saat aku sibuk membongkar kopor kami. Ia bilang aku tak perlu melakukannya, Mrs. Jones yang akan
melakukannya. Tapi itu hal lain yang harus mulai kubiasakan - mendapatkan bantuan pelayan. Aku menjalarkan jemariku diatas kulit yang melapisi pintu untuk mengalihkan pikiranku yang mengembara. Aku merasa lelah. Apakah ini jet lag? Khawatir akan pelaku pembakaran?
"Apa kau akan membiarkan aku mengemudikan ini?" aku bertanya, terkejut aku bisa mengatakan kata-kata itu dengan keras.
"Tentu saja," balas Christian, tersenyum. "Apa yang menjadi milikku adalah milikku. Jika kau membuatnya lecet, Aku akan membawamu ke Red Room of Pain." Ia melirik padaku dengan senyuman jahat.
Sial! Aku melongo menatapnya. Apakah ini lelucon?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar