Fifty Shades Freed (Fifty Shades #3) (34)

"Itu mengingatkanku," katanya, riang.
"Apa?" rengutku marah. Menganmbil kursinya, aku membaliknya menghadap cermin di depan wastafel. "Duduk," aku memerintah. Christian memandangku dengan pandangan terhibur, tapi tetap menuruti perintah dan duduk kembali di kursi. Aku mulai menyisir rambutnya yang kini lembab.
"Aku berpikir kita bisa merubah kamar di dekat garasi untuk mereka di rumah baru," lanjut Christian. "Membuatnya seperti rumah. Kemudian mungkin anak perempuan Taylor bisa tinggal bersamanya lebih sering lagi." Ia memandangku hati-hati dari cermin.
"Mengapa ia tidak tinggal disini?"
"Taylor tak pernah menanyakan hal itu padaku."
"Mungkin kau harus menawarinya. Tapi kita harus menjaga tingkah laku kita."
Alis Christian naik. "Aku tak berpikir akan hal itu."
"Mungkin itu alasan mengapa Taylor tak pernah memintanya. Pernahkah kau bertemu dengannya?"
"Ya. Dia adalah gadis yang manis. Pemalu. Sangat cantik. Aku membayar biaya pendidikannya."
Oh! Aku berhenti menyisir dan menatapnya dari cermin.
"Aku tak tahu."
Ia mengangkat bahunya. "Hanya itu yang bisa aku lakukan. Lagipula, itu berarti Taylor tak kan berhenti bekerja."
"Aku yakin Taylor suka bekerja denganmu."
Christian menatapku kosong kemudian mengangkat bahunya lagi. "Aku tak tahu."
"Aku pikir ia sangat sayang padamu, Christian." Aku melanjutkan menyisir dan meliriknya. Matanya tak meninggalkan mataku.
"Benarkah kau berpikir begitu?"
"Ya. Tentu saja."
Ia mendengus tanda penolakan tetapi terasa ada suara seperti halnya ia secara diam-diam puas jika staffnya menyukainya.
"Bagus. Maukah kau berbicara pada Gia tentang kamar di dekat garasi?"
"Ya, tentu saja." Aku tak lagi merasakan terganggu sama seperti sebelumnya saat mendengar nama wanita itu. Bawah sadarku mengangguk setuju padaku. Ya... kita sudah melakukan hal bagus hari ini. Dewi batinku terlihat senang. Sekarang ia akan membiarkan suamiku sendiri dan berhenti membuatnya merasa tak nyaman.
Aku siap memotong rambut Christian. "Kau yakin soal ini? Kesempatan terakhirmu untuk membatalkan."
"Lakukan yang terburuk, Mrs. Grey. Aku tak harus melihat diriku, kau yang melihatku setiap hari."
Aku tersenyum lebar. "Christian, aku bisa melihatmu sepanjang hari."
Ia menggelengkan kepalanya kelelahan. "Ini hanya wajah yang tampan, sayang."
"Dan dibalik itu ada pria yang sangat hebat dan baik." Aku mencium keningnya. "Suamiku."
Ia tersenyum malu.
Mengangkat segenggam rambut pertama, aku menyisirnya ke atas dan menjepitnya diantara jari telunjuk dan tengahku. Aku menjepit sisir di mulutku, mengambil gunting dan membuat guntingan pertama, memotong satu inci hilang dari rambutnya. Christian menutup matanya dan duduk layaknya patung, mendesah seperti halnya menantang saat aku melanjutkannya. Kadang- kadang ia membuka matanya, dan aku mendapatinya sedang memandangku intens. Ia tak menyentuhku saat aku bekerja, dan aku bersyukur. Sentuhannya... mengalihkanku.
Lima belas menit kemudian, aku selesai.
"Selesai." Aku puas akan hasilnya. Ia terlihat seksi seperti biasanya, rambutnya masih terkulai dan seksi... hanya sedikit lebih pendek.
Christian menatap dirinya sendiri di cermin, terlihat puas yang mengejutkan. Ia menyeringai. "Kerja bagus, Mrs. Grey." Ia memutar kepalanya dari satu sisi ke sisi lain dan melingkarkan tangannya di tubuhku. Menarikku ke arahnya, ia mencium dan mengendus perutku.
"Terima kasih," katanya.
"Dengan senang hati." Aku merunduk dan menciumnya lembut.
"Sudah malam. Tempat tidur." Ia memberikan pantatku tamparan bercanda.
"Ah! Aku harus membersihkan tempat ini." Ada rambut bertebaran di lantai.
Christian membeku, seperti halnya kejadian itu tak pernah terjadi padanya. "Okay, aku akan mengambil sapunya," katanya masam. "Aku tak ingin kau mempermalukan staff dengan pakaianmu yang sangat tidak pantas."
"Apa kau tahu dimana sapunya?" Aku bertanya polos.
Ini membuat Christian menghentikan langkahnya. "Um... tidak."
Aku tertawa. "Aku akan mengambilnya."
***
Saat aku memanjat ke ranjang dan menunggu Christian untuk bergabung denganku, aku membayangkan betapa berbedanya hari ini berakhir. Aku sangat marah padanya, dan ia juga marah padaku. Bagaimana aku akan setuju dengan omong kosong menjalankan-sebuah- perusahaan ini? Aku tak punya gairah untuk memimpin sebuah perusahaan. Aku bukan dia. Aku harus bisa melewati ini. Mungkin aku harus mempunyai kata aman untuk saat ia menjadi terlalu memerintah atau mendominasi, untuk saat ia menjadi keledai. Aku terkikik. Mungkin kata amannya harus keledai. Aku merasa pikiran itu sangat menggoda.
"Apa?" katanya saat ia memanjat ke tempat tidur di sebelahku hanya mengenakan celana piyamanya.
"Bukan apa-apa. Hanya sebuah ide."
"Ide apa?" Ia merenggangkan tubuhnya disebelahku.
Ini dia, sesuatu yang mungkin akan gagal. "Christian, kupikir aku tak ingin menjalankan sebuah perusahaan."
Ia menopang dirinya sendiri dengan siku dan menatapku. "Kenapa kau mengatakan itu?"
"Karena itu bukanlah sesuatu yang menarik bagiku."
"Kau lebih dari sekedar mampu menjalankannya, Anastasia."
"Aku suka membaca buku, Christian. Menjalankan sebuah perusahaan akan menjauhkanku dari hal itu."
"Kau bisa menjadi kepala bagian kreatif."
Aku membeku.
"Kau lihat," lanjutnya, "menjalankan sebuah perusahaan yang sukses adalah tentang mengumpulkan bakat dari tiap individu yang kau miliki di bagianmu. Jika itu adalah tempat di mana bakatmu dan minatmu berada, kemudian kau buat perusahaan untuk bisa melakukannya. Jangan pikir kau tak bisa melakukannya, Anastasia. Kau adalah wanita yang lebih dari sekedar mampu. Kupikir kau bisa melakukan apapun yang kau inginkan jika kau mengarahkan pikiranmu ke sana."
Whoa! Bagaimana ia bisa tahu kalau aku bisa melakukan semua itu?
"Aku juga khawatir jabatan itu akan menyita banyak waktuku."
Christian membeku.
"Waktu yang bisa kucurahkan untukmu." Aku mengeluarkan senjata rahasiaku.
Matanya semakin gelap. "Aku tahu apa yang kau lakukan," gumamnya, terhibur.
Sialan!
"Apa?" aku tetap berpura-pura polos.
"Kau mencoba menggoyahkanku dari urusan ini. Kau selalu melakukannya. Jangan buang ide ini, Ana. Pikirkan. Hanya itu yang ku minta." Ia merunduk dan menciumku cepat, kemudian meluncurkan ibu jarinya di pipiku. Argumen ini akan terus terjadi berulang kali. Aku tersenyum padanya - dan sesuatu yang ia katakan tadi tiba-tiba muncul tanpa dapat di cegah di pikiranku.
"Bisakah aku bertanya sesuatu padamu?" Suaraku lembut.
"Tentu saja."
"Hari ini kau bilang jika aku marah padamu, aku seharusnya melampiaskan itu di tempat tidur. Apa maksudmu?"
Ia diam. "Apa yang kau pikir yang aku maksud?"
Sialan! Aku harus mengatakan itu. "Bahwa kau ingin aku mengikatmu."
Alisnya naik karena terkejut. "Um... tidak. Itu bukan sama sekali yang aku maksud."
"Oh." Aku terkejut karena aku sedikit kecewa di hatiku.
"Kau ingin mengikatku?" tanyanya, jelas ia sedang membaca ekspresiku. Ia terdengar shock. Aku merona.
"Well..."
"Ana, Aku-" ia berhenti, dan sesuatu yang gelap melintas di wajahnya.
"Christian," Aku berbisik, menyadari sesuatu. Aku bergerak jadi aku berbaring di sisiku, menopang tubuhku dengan siku seperti yang ia lakukan. Aku memegang wajahnya. Matanya lebar dan ketakutan. Ia menggelengkan kepalanya sedih.
Sial! "Christian, hentikan. Ini bukan apa-apa. Kupikir itu yang kau maksudkan."
Ia memegang tanganku dan menempatkannya di jantungnya. Sial! Apa ini?
"Ana, aku tak tahu bagaimana rasanya jika kau menyentuhku saat aku sedang dalam keadaan terikat."
Kulit kepalaku serasa tertusuk. Ini seperti dia sedang mengungkapkan sesuatu yang dalam dan gelap.
"Ini masih terlalu baru." Suaranya rendah dan serak.
Sial. Tadi hanya sebuah pertanyaan, dan aku menyadari bahwa ia memikirkannya terlalu jauh, tapi ia masih memiliki jalan yang panjang. Oh, Fifty, Fifty, Fifty. Ketakutan mencengkram hatiku. Aku merunduk dan ia membeku, tapi aku menanamkan kecupan lembut di sudut bibirnya.
"Christian, aku memikirkan hal yang salah. Kumohon jangan khawatir tentang hal itu. Kumohon jangan pikirkan tentang hal itu." Aku menciumnya. Ia menutup matanya, mengerang dan membalas ciumanku, mendorongku ke tempat tidur, tangannya memegang daguku. Dan secepat itu pula kami tersesat... tersesat oleh satu sama lain lagi.
***
BAB 9
Ketika aku terbangun sebelum alarm berbunyi keesokan harinya, Christian membungkus di sekelilingku seperti tanaman merambat, kepalanya di dadaku, lengannya memeluk pinggangku dan kakinya diantara kakiku - dan dia tidur di sampingku. Selalu berada disisi tempat tidur yang sama, jika kami berdebat pada malam sebelumnya, pasti akan berakhir seperti ini, menggulung disekelilingku, membuatku kepanasan dan sedikit terganggu.
Oh, Fifty. Dia sangat membutuhkan kasih sayang pada saat tertentu. Siapa yang mengira?
Bayangan familiar Christian sebagai seorang anak kecil kotor yang malang sangat menghantuiku. Dengan lembut, aku membelai rambutnya yang lebih pendek dan kesedihanku telah mereda. Dia bergerak, dan matanya yang masih mengantuk bertemu dengan mataku. Dia berkedip beberapa kali agar ia bisa terbangun.
"Hai," bisiknya dan tersenyum.
"Hai." Aku menyukai saat-saat bangun untuk melihat senyum itu.
Dia mengendus payudaraku dan bersenandung seakan mengagumi begitu mendalam yang keluar dari tenggorokannya. Tangannya bergerak ke bawah pinggangku, meluncur diatas kain satin baju tidurku yang dingin.
"Kau seperti potongan kecil makanan yang menggiurkan," ia bergumam. "Tapi, meskipun kau baru bangun kau begitu menggoda," ia melirik alarm, "aku harus segera bangun." Dia merentangkan tubuhnya, melepaskan dekapannya dari diriku, lalu bangun.
Aku berbaring, meletakkan tanganku di belakang kepalaku, dan menikmati pemandangan itu - Christian melepaskan semua pakaiannya karena akan segera mandi. Dia begitu sempurna. Aku tidak akan mengubah selembar rambut pun di kepalanya.
"Mengagumi pemandangan, Mrs. Grey?" Christian melengkungan satu alisnya dengan tajam kearahku.
"Sebuah pemandangan tubuh yang sangat indah, Mr. Grey." Dia menyeringai dan melempar celana piyama ke arahku hingga hampir mendarat di wajahku, tapi aku menangkapnya tepat pada waktunya, aku cekikikan seperti anak sekolahan. Dengan menyeringai nakal, dia mengulurkan tangannya ke bawah, menarik selimutku hingga terlepas, menempatkan satu lututnya di tempat tidur dan meraih pergelangan kakiku, menarikku ke arahnya sehingga baju tidurku nyangkut diatas tubuhku. Aku menjerit, dan ia merangkak ke atas tubuhku, ciuman kecilnya menelusuri lututku, pahaku...my... oh...Christian!
***
"Selamat pagi, Mrs. Grey," Mrs. Jones menyapaku. Aku tersipu, merasa malu saat mengingat aku melihat dia sedang berkencan dengan Taylor tadi malam.
"Selamat pagi," aku menjawab saat dia mengulurkan secangkir teh untukku. Aku duduk di kursi bar di samping suamiku, penampilannya bersinar: segar sehabis mandi, rambutnya basah, mengenakan kemeja putih bersih dan dasi perak abu-abu. Dasi favoritku. Aku memiliki kenangan indah dengan dasi itu.
"Apa kabar, Mrs. Grey?" Ia bertanya, matanya hangat.
"Kupikir anda sudah mengetahuinya, Mr Grey." Aku menatapnya dibalik bulu mataku. Dia menyeringai. "Makanlah," perintahnya. "Kemarin kau tidak makan."
Oh, Fifty yang sangat bossy!
"Itu karena kau menjadi bodoh."
Mrs. Jones menjatuhkan sesuatu ke bak cuci yang menimbulkan suara berdentum, membuatku melompat. Christian tampaknya tidak mempedulikan suara itu. Mengabaikannya, dia ia menatapku tanpa ekspresi.
"Bodoh atau tidak - cepat makan." Nada suaranya serius. Aku tidak ingin berdebat dengannya.
"Oke! Ambil sendok, makan granola," aku menggerutu seperti remaja yang sedang merajuk. Aku meraih yoghurt Yunani dan menyendok serealku, diikuti sejumlah blueberry. Aku melirik Mrs. Jones dan ia menangkap mataku. Aku tersenyum, dan dia membalasnya dengan senyum yang hangat. Dialah yang menyediakan beberapa pilihan sarapanku yang disiapkan untuk bulan madu kami.
"Aku mungkin harus pergi ke New York akhir minggu ini." Pemberitahuan Christian menyela lamunanku.
"Oh."
"Ini artinya aku akan menginap. Aku ingin kau ikut denganku."
Oh tidak...
"Christian, aku tidak akan diperbolehkan cuti lagi."
Dia memberiku tatapan yang menyiratkan oh-benarkah-tapi-aku-kan-bosmu.
Aku menghela napas. "Aku tahu kau yang memiliki perusahaan, tapi aku sudah meninggalkan pekerjaanku selama tiga minggu. Please. Bagaimana bisa kau mengharapkan aku untuk menjalankan bisnis jika aku tidak pernah ada disana? Aku akan baik-baik saja di sini. Aku berasumsi kau akan mengajak Taylor, berarti Sawyer dan Ryan akan sini-" Aku berhenti, karena Christian menyeringai padaku. "Apa?" kataku dengan suara agak keras.
"Tidak ada apa-apa. Hanya kau," katanya.
Aku mengerutkan kening. Apakah dia menertawakan aku? Kemudian pikiran buruk muncul dalam benakku. "Naik apa kau ke New York?"
"Jet perusahaan, mengapa?"
"Aku hanya ingin memastikan apakah kau akan naik Charlie Tango atau tidak." Suaraku tenang, dan sebuah getaran berjalan menuruni tulang belakangku. Aku ingat kapan terakhir kali ia menerbangkan helikopternya. Gelombang rasa mual seakan memukulku saat aku mengingat kembali perasaan cemas setiap menit yang kuhabiskan untuk menunggu berita terbarunya. Itu mungkin titik terendah dalam hidupku. Aku menyadari Mrs. Jones juga terdiam. Aku mencoba dan mengabaikan pikiran itu.
"Aku tidak akan terbang ke New York dengan Charlie Tango. Dia tidak memiliki jangkauan yang luas. Selain itu, dia belum kembali dari para teknisi sampai dua minggu mendatang."
Oh... syukurlah. Senyumku sedikit lega, tapi informasi tentang kematian Charlie Tango membuat
pikiran Christian menjadi sangat sibuk dan membutuhkan waktu lebih dalam beberapa minggu terakhir.
"Well, aku senang sebentar lagi dia sudah selesai diperbaiki, tapi-" Aku berhenti. Dapatkah aku mengatakan kepadanya betapa gelisahnya aku ketika ia akan menerbangkannya lain kali?
"Apa?" Tanya dia saat omeletnya sudah habis.
Aku mengangkat bahu.
"Ana?" Katanya, lebih tegas.
"Aku hanya...kau tahu. Terakhir kali kau menerbangkannya - kupikir, kita pikir, kau akan..." Aku tidak bisa menyelesaikan kalimatku, dan ekspresi Christian melembut.
"Hei." Dia meraih keatas untuk membelai wajahku dengan punggung buku jari-jarinya. "Itu sabotase." Ekspresi gelap melintasi wajahnya, dan untuk sesaat aku bertanya-tanya apakah dia tahu siapa yang melakukannya.
"Aku takut kehilangan dirimu," gumamku.
"Lima orang telah dipecat karena hal itu, Ana. Tidak akan terjadi lagi."

Fifty Shades Freed (Fifty Shades #3) (33)

"Disini," aku berbisik jujur. Persetan dengan potong rambut - aku akan lakukan itu nanti. Ia tersenyum lembut, bibirnya membentuk senyuman sensual penuh dengan janji yang nakal.
"Pilihan yang bagus, Mrs. Grey," ia menggumam di bibirku. Ia melepaskan daguku dan tangannya bergerak di lututku. Tangannya meluncur lembut ke atas kakiku, mengangkat rokku dan menjalar di atas kulitku, membuatku geli. Bibirnya menanamkan kecupan-kecupan lembut di sepanjang bawah daun telingaku ke sekitar rahangku.
"Oh, apa yang harus kulakukan padamu?" ia berbisik. Jemarinya berhenti di bagian atas stockingku. "Aku suka ini," bisiknya. Ia menjalarkan satu jari ke bawah stocking dan bergerak menuju paha dalamku. Aku terkejut dan menggeliat di atas pangkuannya.
Ia mengerang, rendah di tenggorokannya. "Jika aku akan bercinta denganmu seven shades of Sunday, aku ingin kau diam dan berhenti bergerak-gerak."
"Buat aku," aku menantangnya, suaraku lembut berupa desahan.
Christian menghirup dalam-dalam. Matanya yang tajam dan menatapku dengan ekspresi yang panas.
"Oh, Mrs. Grey. Kau hanya perlu memintanya." Tangannya bergerak dari bagian atas stockingku menuju celanaku. "Mari kita bebaskan dirimu dari benda ini." Ia menyentakkannya dengan pelan dan aku bergeser sedikit untuk membantunya. Nafasnya mendesis dari celah diantara giginya seperti halnya diriku.
"Tetap diam," gerutunya.
"Aku mencoba," Aku merengut, dan ia menangkap bibir bawahku dengan lembut di antara giginya.
"Diam," erangnya. Ia menurunkan celanaku dari kakiku dan melepasnya. Menarik rokku ke atas jadi terlipat di sekitar pinggulku, ia menggerakkan kedua tangannya ke pinggangku dan mengangkatku. Ia masih memegang celanaku di tanngannya.
"Duduk. Kakangi kakiku," ia memerintah menatap intens ke dalam mataku. Aku bergerak, mengangkanginya, dan menatap provokatif padanya. Ayo mainkan, Fifty!
"Mrs. Grey," ia memperingatkan "Apa kau mendesakku?" Ia menatapku, terhibur tapi juga terangsang. Itu adalah kombinasi yang menggairahkan.
"Ya. Apa yang akan kau lakukan tentang hal itu?"
Matanya menyala dengan kebahagiaan yang cabul mendengar tantanganku, dan aku merasakan tonjolannya di bawahku. "Kaitkan ke dua tanganmu di belakang punggungmu."
Oh! Aku mengikuti dengan patuh dan, ia dengan cepat mengikat kedua lenganku dengan celana dalamku.
"Celana dalamku? Mr. Grey, kau tak punya malu," aku menegurnya.
"Tidak di bagian yang kau perhatikan, Mrs. Grey, tapi kau tahu hal itu." Tatapannya intens dan panas. Meletakkan tangannya di sekeliling pinggangku, ia menggeserku jadi aku duduk lebih kebelakang pangkuannya. Air masih menetes di lehernya dan meluncur di dadanya. Aku ingin merunduk dan menjilati tetesan itu, tapi lebih sulit karena aku sedang diikat.
Christian mengusap kedua pahaku dan meluncurkan tanganku ke lututku. Dengan lembut ia melebarkan kedua kakiku dan melebarkan kedua kakinya juga, menahanku tetap dalam posisi itu. Jemarinya bergerak ke kancing blusku.
"Aku tidak berpikir kalau kita membutuhkan benda ini," katanya. Ia mulai membuka tiap kancing di blusku yang basah, matanya tak pernah meninggalkan mataku. Kedua matanya semakin gelap dan gelap saat ia menyelesaikannya, menikmati waktunya untuk memandangku. Darahku berdesir dan nafasku lebih dalam. Aku tak percaya - ia nyaris tak menyentuhku, dan aku merasa sudah seperti ini - panas, terganggu... siap. Aku ingin menggeliat. Ia membiarkan blus basahku terbuka dan menggunakan kedua tangannya, ia menyentuh wajahku dengan jemarinya, jempolnya mengelus bibir bawahku. Tiba-tiba, ia memasukkan jempolnya ke dalam mulutku.
"Hisap," perintahnya dalam bisikkan, menekankan huruf S. Aku menutup mulutku di sekitar jempolnya dan melakukan seperti yang ia perintahkan. Oh... Aku suka permainan ini. Ia memiliki rasa yang enak. Apa lagi yang bisa aku hisap? Otot di dalam perutku mengencang pada pikiran itu. Bibirnya terbuka saat aku menggesekkan gigiku dan menggigit bagian lembut di jempolnya.
Ia mengerang dan perlahan mengeluarkan jempolnya yang basah dari mulutku dan menggerakkannya ke daguku, turun ke tenggorokanku, keatas belikatku. Ia mengaitkannya ke cup dari bra-ku dan menurunkannya, membebaskan payudaraku.
Tatapan Christian tak pernah meninggalkanku. Ia melihat setiap reaksi yang sentuhannya berikan padaku, dan aku melihatnya. Ini sangat panas. Sempurna. Posesif. Aku menyukainya. Ia mengulangi gerakannya dengan tangan yang lainnya jadi kedua payudaraku terbebas dan, menangkup keduanya dengan lembut, ia menggesekkan jempol diatas puting, memutar dengan lembut, menggoda dan merangsangnya jadi kedua putingku mengeras dan menonjol di bawah sentuhannya yang ahli. Aku mencoba, aku benar-benar mencoba untuk tidak bergerak, tapi kedua putingku tersambung terkoneksi dengan kedua pahaku, jadi aku mengerang dan mendongakkan kepalaku, menutup kedua mataku dan menyerah pada siksaan yang amat manis.
"Shh." Suara menenangkan Christian serentak dengan godaan, bahkan ritme dari jarinya.
"Diam, sayang, diam." Melepaskan salah satu payudara, ia menaruh tangannya di belakang leherku. Condong kedepan, ia mengambil putingku yang bebas dengan mulutnya dan menghisapnya keras, rambut basahnya menggelitik tubuhku. Pada saat bersamaan, jempolnya berhenti di putingku yang lainnya. Kemudian, ia menjepitnya diantara jempol dan jari telunjuknya dan menarik dan memuntirnya dengan lembut.
"Ah! Christian!" Aku mengerang dan tersentak maju di pangkuannya. Tapi ia tak berhenti. Ia melanjutkan dengan lembut, malas, godaan yang menyiksa. Dan tubuhku terbakar saat kenikmatan itu lebih dalam.
"Christian, ku mohon," Aku merengek.
"Hmm," ia menggumam rendah di dadanya. "Aku ingin kau orgasme seperti ini." Putingku sedikit mendapat jeda saat kata-katanya membelai kulitku, dan seperti halnya ia memanggil bagian jiwaku yang dalam dan gelap yang hanya ia yang tahu. Saat melanjutkan dengan giginya kali ini, kenikmatan hampir tak tertahankan. Mengerang keras, aku menggeliat di pangkuannya, mencoba mendapat gesekan yang sangat kuperlukan dengan celananya. Aku menarik lemah tanganku dari celana yang terikat, gatal ingin menyentuhnya, tapi aku tersesat - tersesat dalam sensasi yang berbahaya ini.
"Kumohon," Aku berbisik, memohon, dan kenikmatan menjalar di tubuhku, dari leherku, turun ke kakiku, ke jari kekiku, mengencangkan semuanya.
"Kau memiliki payudara yang indah, Ana." Ia mengerang. "Satu hari nanti aku akan menyetubuhi mereka."
Apa maksud dari semua itu? Membuka mataku, aku meliriknya saat ia menghisapku, kulitku bernyanyi di bawah sentuhannya. Aku tak lagi merasakan blusku yang lengket, rambutnya yang basah... tak merasakan apa pun selain rasa terbakar. Dan rasa itu membakar dengan nikmat panas dan rendah dan dalam di diriku, dan semua pikiran menguap saat tubuhku mengencang dan menegang... siap, meraih... mencari pelepasan. Dan ia tak berhenti - menggoda, menarik, membuatku gila. Aku ingin... Aku ingin...
"Lepaskan," desahnya - dan aku melakukannya, dengan keras, orgasmeku bergetar di tubuhku, dan ia menghentikan siksaannya yang manis dan melingkarkan tangannya di tubuhku, menarikku padanya saat tubuhku melemas akibat klimaksku. Saat aku membuka mataku, ia menatapku yang sedang beristirahat di dadanya.
"Ya Tuhan, aku sangat menyukai melihatmu orgasme, Ana." Suaranya penuh dengan kepuasan.
"Tadi itu..." Kata-kata gagal menggambarkannya.
"Aku tahu." Ia merunduk dan menciumku, tangannya masih berada di leherku, menahanku, mengatur kepalaku jadi ia bisa menciumku lebih dalam - dengan cinta, dan rasa hormat.
Aku tersesat dalam ciumannya.
Ia menarik dirinya untuk mengambil nafas, matanya sewarna dengan badai tropis.
"Sekarang aku akan bercinta denganmu, keras," ia berbisik.
Sial. Memegang pinggangku, ia mengangkatku dari dari pahanya ke ujung dengkulnya dan tangan kanannya mencari kancing di ban pinggang celana biru navy-nya. Ia memainkan jemari tangan sebelah kirinya ke atas dan bawah pahaku, berhenti di ujung atas stockingku setiap kali melakukannya. Ia menatapku intens. Kami berhadapan dan aku tak berdaya, duduk dengan bra dan celana dalamku terikat, menatap kedalam mata abu-abunya yang indah. Itu membuatku
merasa cabul, tapi juga membuatku merasa dekat dengannya - Aku tidak merasa malu. Ini Christian, suamiku, pasanganku, megalomaniakku yang suka memaksa, Fifty-ku - cinta dalam hidupku. Ia meraih ritsletingnya, dan mulutku menjadi kering saat ereksinya terbebaskan.
Ia menyeringai. "Kau suka?" ia berbisik.
"Hmm," aku menggumam menghargainya. Ia membungkus tangannya disekeliling ereksinya dan menggerakkannya ke atas dan ke bawah... Oh my. Aku menatapnya dari bulu mataku. Sialan, dia sangat seksi.
"Kau menggigit bibirmu, Mrs. Grey."
"Itu karena aku lapar."
"Lapar?" Mulutnya terbuka karena terkejut, dan matanya melebar.
"Hmm..." Aku meng-iya-kan dan menjilat bibirku.
Ia memberikanku senyumannya yang mengandung teka-teki dan menggigit bibir bawahnya saat ia melanjutkan memompa dirinya sendiri. Mengapa pemandangan dari suamiku yang sedang memuaskan dirinya sendiri sangat membuatku terangsang?
"Oh. Begitu rupanya. Kau seharusnya menghabiskan makan malammu." Nada suaranya mengejek dan perhatian pada saat bersamaan. "Tapi mungkin aku bisa membantu." Ia meletakkan tangannya di pinggangku. "Berdiri," katanya lembut, dan aku tahu apa yang akan ia lakukan. Aku berdiri dengan kakiku, keduanya tak lagi gemetar.
"Berlutut."
Aku melakukan apa yang diperintahkan di lantai kamar mandi yang dingin. Ia bergeser maju ke ujung kursinya.
"Cium aku," ia berucap sembari memegang ereksinya. Aku meliriknya, dan ia menyapukan lidah ke giginya. Ini menggugah, sangat menggugah hasrat, saat melihat gairahnya, gairahnya yang begitu jelas untuk tubuhku dan mulutku. Kucondongkan tubuhku ke depan, mataku menatap matanya, aku mencium ujung ereksinya. Aku melihatnya menghirup nafas dalam-dalam dan menggertakkan giginya. Christian memegangi kepalaku, dan aku memoleskan lidahku diatas ujung ereksinya, merasakan setetes embun di ujungnya. Hmm... ia terasa lezat. Mulutnya terbuka lebih lebar saat ia tersentak dan aku menelannya, memasukkannya ke dalam mulutku dan menghisapnya keras.
"Ah-" udara mendesis di sela giginya, dan ia menyentakkan pinggulnya ke depan, mendorong ke dalam mulutku. Tapi aku tak berhenti. Menyarungi gigiku di bawah bibirku, aku mendorong ke bawah dan menarik ke atas ereksinya. Ia menggerakkan kedua tangannya jadi kini ia benar- benar memegangi kepalaku, mengubur jemarinya di bawah rambutku dan dengan pelan menggerakkan dirinya masuk dan keluar dari mulutku, nafasnya semakin cepat, semakin kasar. Aku memutar lidahku di atas ujungnya dan menekan lagi tepat setelahnya.
"Ya Tuhan, Ana." Ia mendesah dan menutup matanya rapat. Ia tersesat dan itu memabukkan, responnya atas yang ku lakukan. Aku. Dewi batinku bisa membakar Escala, dia sangat bergairah. Dan dengan sangat perlahan aku menarik bibirku, jadi yang tertinggal hanya gigiku.
"Ah!" Christian berhenti bergerak. Mendesak maju ia memeganku dan menarikku ke atas pangkuannya.
"Cukup!" ia mengerang. Meraih ke belakang tubuhku, ia membebaskan tanganku dengan satu
sentakan dari celana dalamku. Aku merenggangkan pergelangan tanganku dan menatap dari bulu mataku ke mata terbakar yang membalas tatapanku dengan cinta dan kerinduan dan gairah. Dan aku sadar bahwa akulah yang ingin bercinta seven shades of Sunday dengannya. Aku menginginkannya dengan amat sangat. Aku ingin melihatnya datang di bawahku. Aku menggenggam ereksinya dan bergerak ke atas tubuhnya. Menempatkan tanganku yang lain di bahunya, dengan lembut dan perlahan, aku menurunkan tubuhku ke tubuhnya. Ia membuat suara parau, buas yang dalam di tenggorokkannya dan, meraih ke atas, menarik lepas blusku membiarkannya terjatuh di lantai. Tangannya bergerak ke pinggulku.
"Diam," ia berkata parau, tangannya menancap di dagingku. "Kumohon, biarkan aku menikmati ini. Menikmati dirimu."
Aku berhenti. Oh my... ia terasa nikmat di dalam tubuhku. Ia menyentuh wajahku, matanya lebar dan liar, bibirnya terbuka saat ia bernafas. Ia menegangkan ototnya di bawahku dan aku merintih, menutup mataku.
"Ini adalah tempat favorit-ku," ia berbisik. "Di dalam dirimu. Di dalam istriku."
Oh sial. Christian. Aku tak bisa menahan diri. Jari-jariku bergerak di atas rambutnya yang basah, bibirku mencari bibirnya, dan aku mulai bergerak. Naik dan turun, menikmatinya, menikmati diriku. Ia mengerang keras, dan tangannya berada di rambutku dan memeluk punggungku, dan lidahnya menginvasi mulutku dengan serakah, merebut semua yang dengan suka rela kuberikan. Setelah semua argumentasi kami hari ini, rasa frustasiku padanya, dia padaku - kami masih memiliki ini. Kami akan selalu memiliki ini. Aku sangat mencintainya, rasanya hampir terlalu berlebihan. Tangannya bergerak ke punggungku dan ia mengontrolku, menggerakkanku ke atas dan ke bawah, lagi dan lagi, dengan kecepatannya - temponya yang panas, dan licin.
"Ah," Aku mengerang tanda menyerah di mulutnya saat aku terlena.
"Yes. Yes, Ana," ia mendesis, dan aku menghujani ciuman di wajahnya, dagunya, rahangnya, lehernya. "Baby," desahnya, menangkap mulutku sekali lagi.
"Oh, Christian, Aku mencintaimu. Aku akan selalu mencintaimu." Aku kehabisan nafas, menginginkan agar dia tahu, ingin dia yakin padaku setelah pertengkaran kami hari ini.
Ia mengerang keras dan mendekapku erat saat ia klimaks dengan rintihan yang suram, dan itu sudah cukup - cukup untuk mendorongku ke dalam jurang sekali lagi. Aku melingkarkan tanganku di lehernya dan melepaskannya, dan aku orgasme pada dirinya, air mata menetes karena aku sangat mencintainya.
"Hey," ia berbisik, memegang daguku dan memperhatikanku begitu dalam. "Mengapa kau menangis? Apakah aku menyakitimu?"
"Tidak," rengutku meyakinkannya. Ia mengelus rambut dari wajahku, menyapu air mata dengan jemppolnya dan dengan lembut mengecup bibirku. Ia masih berada di dalam diriku. Ia bergerak, dan aku mengerjap saat ia menarik keluar dari tubuhku.
"Ada apa, Ana? Katakan padaku."
Aku menarik napas. "Itu hanya... Hanya terkadang aku terlalu terbawa perasaan betapa aku mencintaimu," aku berbisik.
Setelah beberapa saat, ia menyunggingkan senyuman spesial malu-malunya - hanya untukku, kurasa. "Kau memiliki efek yang sama padaku," ia berbisik, dan menciumku sekali lagi. Aku tersenyum, dan di dalam kebahagiaan membuncah dan bertebaran dengan malas.
"Benarkah?"
Ia menyeringai. "Kau tahu itu benar."
"Terkadang aku tahu. Tapi tidak selalu."
"Kembali padamu, Mrs. Grey," ia berbisik.
Aku tersenyum dan dengan lembut menanamkan kecupan selembut bulu di dadanya. Aku menyentuh bulu di dadanya. Christian mengelus rambutku dan melarikan satu tangannya ke punggungku. Ia melepas bra-ku dan menurunkan talinya dengan satu tangan. Aku bergeser, dan ia menurunkan tali lainnya dengan tangan satunya dan menjatuhkan bra-ku di lantai.
"Hmm. Sentuhan kulit ke kulit," gumamnya senang dan mendekapku di dalam pelukannya lagi. Ia mencium bahuku dan menggulirkan hidungnya ke telingaku. "Kau beraroma seperti surga, Mrs. Grey."
"Sama sepertimu, Mr. Grey." Aku menyenderkan kepalaku di dadanya lagi dan menghirup aroma tubuh Christian, yang mana sekarang sudah tercampur dengan aroma keras dari seks. Aku bisa tetap diam terbungkus dalam tangannya seperti ini, terduduk dan bahagia, selamanya. Inilah yang aku butuhkan setelah satu hari penuh di kantor, berdebat dan saling mempermalukan. Disinilah dimana aku ingin berada, dan terlepas dari gila-kontrol-nya, megalomania-nya, disinilah di mana seharusnya aku berada. Christian mengubur hidungnya di rambutku dan menghirup aromanya dalam. Aku melepaskan desahan, dan merasakan senyumannya. Dan kami duduk, lengan terkunci satu sama lain, tak berkata sepatah katapun.
Akhirnya realitas menyadarkan kita.
"Ini sudah malam," kata Christian, jemarinya mengelus punggungku.
"Rambutmu masih harus di cukur."
Ia terkekeh. "Sepertinya begitu, Mrs. Grey. Apa kau masih punya energi untuk menyelesaikan pekerjaan yang sudah kau mulai?"
"Untukmu, Mr. Grey, apapun." Aku mencium dadanya sekali lagi dan berdiri.
"Jangan pergi." Memegang pinggulku, ia memutarku. Ia berdiri kemudian membuka rokku, membiarkannya jatuh ke lantai. Ia mengulurkan tangannya padaku. Aku menyambutnya dan melangkah keluar dari rokku. Sekarang aku hanya mengenakan stocking dan garter belt.
"Kau adalah pemandangan yang luar biasa indah, Mrs. Grey." Ia kembali duduk di kursi dan melipat lengannya, memberikanku penilaian yang jujur dan menyeluruh.
Aku mengulurkan tangan dan berputar untuknya.
"Tuhan, aku bajingan yang beruntung," katanya mengagumiku.
"Ya, itu memang kau."
Ia menyeringai. "Pakai kemejaku dan kau bisa mulai memangkas rambutku. Seperti ini, kau akan menggangguku, dan kita tak kan pernah pergi tidur."
Aku tak bisa menahan senyumanku. Tahu ia memperhatikan tiap gerakkanku, aku melenggang ke tempat di mana kami melepaskan sepatuku dan kemejanya. Merunduk perlahan, aku meraih, mengambil kemejanya, menghirup aromanya - hmm - kemudian memakainya.
Mata Christian membulat. Ia memperhatikanku dengan intens.
"Pertunjukan yang bagus, Mrs. Grey."
"Apa kita punya gunting?" Aku bertanya polos, mengibaskan bulu mataku.
"Di ruang kerjaku," katanya serak.
"Aku akan mencarinya." Meninggalkannya, aku berjalan ke kamar kami dan mengambil sisirku dari meja rias sebelum bergerak menuju ruang kerjanya. Saat aku masuk ke koridor utama, aku melihat pintu ruang kerja Taylor terbuka. Mrs. Jones sedang berdiri tepat di depan pintu. Aku berhenti, diam di tempat.
Taylor menyapukan jemarinya di wajah Mrs. Jones dan tersenyum manis padanya. Kemudian ia merunduk dan menciumnya.
Sialan! Taylor dan Mrs. Jones? Aku ternganga - Maksudku, kupikir... well, aku sedikit curiga. Tapi mereka benar-benar bersama! Aku merona, merasa seperti tukang intip, dan memutuskan untuk membuat kakiku bergerak. Aku berlari cepat melewati ruang utama dan masuk ke dalam ruang kerja Christian. Menyalakan lampu, aku berjalan ke mejanya. Taylor dan Mrs. Jones... Wow! Aku terhuyung. Aku selalu berpikir Mrs. Jones lebih tua dari pada Taylor. Oh, aku harus berhenti memikirkan itu. Aku membuka laci teratas dan secepat itu pula aku teralihkan saat aku menemukan sebuah pistol. Christian memiliki sebuah pistol!
Sebuah revolver. Sial! Aku tak habis pikir Christian memiliki sebuah pistol. Aku mengambilnya, melepas sarungnya dan memeriksa silinder-nya. Itu terisi penuh, tapi ringan... terlalu ringan. Ini pasti serat karbon. Apa yang Christian perlukan dengan sebuah pistol? Astaga, aku harap ia tahu bagaimana menggunakannya. Peringatan Ray yang berulang-kali tentang senjata api memutar ulang di kepalaku. Pelatihan militernya tak pernah terlupa. Benda ini bisa membunuhmu, Ana. Kau harus tahu apa yang kau lakukan saat kau memegang sebuah senjata api. Aku menaruh pistol itu kembali dan menemukan gunting. Mengambil dengan cepat, aku berlari kembali ke Christian, kepalaku pening. Taylor dan Mrs. Jones... revolver itu...
Di pintu masuk ruang utama, aku bertemu dengan Taylor.
"Mrs. Grey, maafkan saya." Wajahnya memerah saat ia dengan cepat melirik pakaianku.
"Um, Taylor, hi... um. Aku sedang memangkas rambut Christian!" kataku spontan, merasa malu. Taylor sama malunya denganku. Ia membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu kemudian menutupnya dengan cepat dan menyingkir.
"Anda lebih dulu, ma'am," katanya formal. Aku merasa aku sewarna Audi lamaku, Audi spesial submisiv-ku. Astaga. Bisakah ini lebih memalukan lagi?
"Terima kasih," aku menggumam dan berlari di lorong. Sialan! Bisakah aku terbiasa dengan fakta bahwa kami tidak hanya berdua? Aku berlari ke kamar mandi, kehabisan nafas.
"Ada apa?" Christian berdiri di depan cermin, memegang sepatuku. Semua pakaianku yang tadinya bertebaran kini sudah tertumpuk rapi di keranjang pakaian kotor.
"Aku baru saja berpapasan dengan Taylor."
"Oh." Christian membeku. "Berpakaian seperti itu."
Oh sial! "Itu bukan salah Taylor."
Christian semakin membeku. "Tidak. Tapi tetap saja."
"Aku berpakaian."
"Satu lapis."
"Aku tak tahu siapa yang lebih malu, aku atau dia." Aku mencoba memakai teknik pengalih perhatianku. "Apa kau tahu bahwa ia dan Gail adalah... well, pasangan?"
Christian tertawa. "Ya, tentu saja aku tahu."
"Dan kau tak pernah memberitahuku?"
"Kupikir kau tahu juga."
"Tidak."
"Ana, mereka berdua sudah dewasa. Mereka tinggal di satu atap. Dua-duanya tidak punya pasangan. Dua-duanya menarik."
Aku merona, merasa bodoh karena tak menyadarinya.
"Well, jika kau mengatakan begitu... Aku baru berpikir bahwa Gail lebih tua daripada Taylor."
"Memang, tapi tidak terlalu banyak." Ia menatapku, bingung. "Beberapa pria menyukai wanita yang lebih tua-" Ia berhenti tiba-tiba dan matanya melebar.
Aku menatap garang padanya. "Aku tahu itu," bentakku.
Christian terlihat menyesal. Ia tersenyum sayang padaku. Ya! Teknik pengalih perhatianku berhasil! Alam bawah sadarku memutar matanya padaku - tapi untuk apa? Sekarang nama yang tak terucap Mrs. Robinson kembali menghantui kami.

Fifty Shades Freed (Fifty Shades #3) (32)

"Aku hanya memikirkan hal itu sejenak saat kita berbulan madu, dan well, aku tak ingin merusak kebahagiaan, dan aku lupa akan hal itu. Aku baru ingat kemarin malam. Dan kemudian Jack... kau tahu, itu sangat menggangguku. Aku minta maaf, aku seharusnya memberitahumu atau berdiskusi denganmu, tapi aku sepertinya tak pernah mendapat waktu yang tepat."
Tatapan Christian melemahkan. Seperti halnya ia mencoba memaksakan kehendaknya ke dalam tengkorakku, tapi ia tak mengatakan apapun.
"Mengapa kau panik?" aku bertanya.
"Aku hanya tak ingin kau tergelincir dari genggamanku."
"Demi Tuhan, aku tak kan pergi kemana-mana. Kapan kau akan membiarkan hal itu keluar dari tengkorakmu yang luar biasa tebal itu? Aku. Mencintai. Dirimu." Aku menggerakkan tanganku ke udara seperti yang terkadang ia lakukan untuk menekankan maksudku. "Lebih dari... pandangan mata, jagat raya, atau kebebasan." (William Shakespeare, King Lear)
Matanya melebar. "A daughter's love?" Ia memberiku senyum ironi.
"Bukan," aku tertawa, terlepas dari diriku sendiri. "Itu hanyalah kutipan yang muncul di pikiranku."
"Mad King Lear?"
"Dear, dear Mad King Lear." Aku mengelus wajahnya, dan ia bersandar pada sentuhanku, menutup matanya. "Mau kah kau mengubah namamu menjadi Christian Steele agar semua orang akan tahu kau adalah milikku?"
Mata Christian terbuka lebar, dan ia menatapku seperti halnya aku baru saja mengatakan bahwa bumi itu datar. Ia membeku. "Milikmu?" gumamnya, mencoba kata itu.
"Milikku."
"Milikmu," katanya, mengulangi kata yang kami ucapkan di kamar bermain kemarin. "Ya, aku akan melakukannya. Jika itu berarti sebesar itu untukmu."
Oh my.
"Apakah itu sangat berarti untukmu?"
"Ya." Dia tegas.
"Okay." Aku akan melakukan ini untuknya. Memberikannya keyakinan yang ia butuhkan.
"Kupikir kau sudah setuju akan hal ini."
"Ya aku sudah setuju, tapi sekarang kita sudah membahasnya lebih dalam, aku lebih senang pada keputusanku."
"Oh," gerutunya, terkejut. Kemudian ia tersenyum dengan senyumannya yang indah, senyuman kekanak-kanakan, dan ia membuatku terpesona. Memegang pinggangku, ia memutarku ke sekeliling. Aku menjerit dan mulai terkikik, dan aku tak tahu apakah ia hanya senang atau lega atau... apa?
"Mrs. Grey, apakah kau tahu artinya ini untukku?"
"Aku tahu sekarang."
Ia merunduk dan menciumku, jari-jarinya bergerak ke rambutku, memegangiku tetap di tempat.
"Itu berarti tujuh nuansa hari Minggu (seven shades of Sunday)," gumamnya di bibirku, dan ia menyapukan hidungnya di hidungku.
"Benarkah?" aku mundur untuk menatapnya.
"Janji sudah di buat. Sebuah penawaran sudah disampaikan, sebuah kesepakatan sudah di setujui," ia berbisik, matanya bergemerlapan dengan kegembiraan yang nakal.
"Um..." Aku masih terguncang, mencoba mengikuti moodnya.
"Kau akan mengingkariku?" tanyanya tak yakin, dan sebuah ekspresi spekulatif melintas di wajahnya. "Aku punya ide," tambahnya.
Oh, kinky fuckery apa ini?
"Sebuah permasalahan yang penting dan harus dilakukan," lanjutnya, tiba-tiba semua menjadi serius lagi. "Ya, Mrs. Grey. Sebuah permasalahan yang sangat penting."
Tunggu dulu - ia menertawaiku.
"Apa?" desahku.
"Aku perlu kau untuk memotong rambutku. Sepertinya sudah terlalu panjang, dan istriku tidak
menyukainya."
"Aku tak bisa mencukur rambutmu!"
"Ya kau bisa." Christian menyeringai dan menggelengkan kepalanya jadi rambutnya yang terlalu panjang menutupi matanya.
"Well, jika Mrs. Jones punya mangkuk pudding." Aku terkikik.
Ia tertawa. "Okay, poin bagus. Aku akan menyuruh Franco melakukannya."
Tidak! Franco yang bekerja untuk wanita itu? Mungkin aku bisa memotong rambutnya. Lagipula, aku memotong rambut Ray selama bertahun-tahun, dan ia tak pernah mengeluh.
"Sini." Aku menarik tangannya. Matanya melebar. Aku membawanya ke kamar mandi kami, aku melepaskan tangannya dan mengambil kursi kayu putih yang diletakkan di pojok. Aku menempatkannya di depan wastafel. Saat aku menatap Christian, ia menatapku dengan tatapan terhibur yang ditutupi dengan pura-pura takut, jempolnya di sampirkan di tali tempat ikat pinggang di celananya tapi matanya sangat panas.
"Duduk." Aku menggerakkan tanganku ke arah kursi yang kosong.
"Apa kau akan mencuci rambutku?"
Aku mengangguk. Ia menaikkan satu alisnya karena terkejut, dan untuk beberapa saat aku rasa ia akan menurut. "Okay." Dengan perlahan ia mulai membuka tiap kancing dari kemeja putihnya, di mulai dengan yang dekat dengan tenggorokannya. Cepat, tangannya bergerak ke setiap kancing hingga kemejanya tergantung terbuka.
Oh my... Dewi batinku berhenti dari acara perayaan kemenangannya di sekeliling arena.
Christian mengulurkan manset lengannya dengan gerakan "buka ini sekarang," dan bibirnya berkedut dalam tantangan, keseksian yang ia miliki.
Oh, manset. Aku mengambil tangannya yang terulur dan membuka yang pertama, sebuah kancing platina dengan inisial namanya terukir dalam tulisan miring yang simpel - dan kemudian membuka pasangannya. Saat aku selesai aku menatapnya, dan wajah terhiburnya hilang, digantikan dengan sesuatu yang seksi... jauh lebih seksi. Aku meraih dan mendorong kemejanya dari bahunya, membiarkannya terjatuh di lantai.
"Siap?" Aku berbisik.
"Siap untuk apapun yang kau inginkan, Ana."
Mataku berpindah dari matanya ke bibirnya. Terbuka jadi ia bisa mengambil nafas lebih dalam. Terukir, terpahat, apapun, itu adalah bibir yang indah dan ia tahu bagaimana harus memperlakukannya. Aku menemukan diriku sendiri sedang membungkuk untuk menciumnya.
"Tidak," katanya dan menaruh kedua tangannya di bahuku. "Jangan. Jika kau melakukan itu, aku tak kan pernah mendapatkan potongan rambutku."
Oh! "Aku menginginkan ini," lanjutnya. Dan matanya bulat dan liar untuk alasan yang tak bisa dipahami. Tatapan itu melucutiku.
"Kenapa?" Aku berbisik.
Ia menatapku selama beberapa saat, dan matanya melebar. "Karena itu akan membuatku merasa dicintai."
Jantungku serasa langsung berhenti secara tiba-tiba. Oh, Christian... Fiftyku. Dan sebelum aku sadar aku sudah merangkulnya dalam pelukanku, dan mencium dadanya sebelum menyandarkan pipiku di dadanya yang berbulu.
"Ana. Ana ku," ia berbisik. Christian melingkarkan tangannya di tubuhku dan kami berdiri diam, memeluk satu sama lain di kamar mandi kami. Oh, betapa aku menyukai berada dalam pelukannya. Meskipun jika ia suka memaksa, megalomaniak yang idiot, dia idiot-megalomaniak- yang-suka-memaksa ku yang butuh dosis TLC seumur hidup. Aku mundur tanpa melepaskannya.
"Apa kau benar-benar mau aku melakukan ini?"
Ia mengangguk dan memberiku senyuman malu-malunya. Aku tersenyum padanya dan mundur dari pelukannya.
"Kalau begitu duduk," ulangku.
Ia dengan patuh melakukannya, duduk dengan punggunya di westafel. Aku melepas sepatuku dan menendangnya ke arah mana kemejanya tergeletak di lantai kamar mandi. Dari shower aku mengambil shampoo Chanel-nya. Kami membelinya di Perancis.
"Apa tuan mau ini?" Aku memegangnya dengan dua tangan seperti aku sedang menjualnya di QVC. "Diantar langsung dari Perancis Selatan. Aku menyukai aroma shampoo ini... ini aroma seperti dirimu," Aku menambahkan dalam bisikkan, tak sengaja keluar dari mode presenter televisi.
"Kumohon." Ia menyeringai.
Aku mengambil handuk kecil dari penghangat handuk. Mrs. Jones sangat tahu bagaimana menjaga handuk ini tetap dalam keadaan super-lembut.
"Angkat tubuhmu," Aku memberi perintah dan Christian mengikutinya. Ku sampirkan handuk di bahunya, aku kemudian menyalakan keran dan memenuhi westafel dengan campuran air hangat.
"Baringkan tubuhmu." Oh, aku suka memberinya perintah. Christian bersandar, tapi ia terlalu tinggi. Ia mengubah posisi duduknya menjadi lebih kedepan kemudian kembali bersandar sehingga kepalanya berada di westafel. Jarak yang sempurna. Ia mendongakkan kepalanya.
Matanya yang jeli menatapku, dan aku tersenyum. Mengambil satu gelas untuk berkumur yang kami taruh di kotak rias, aku memasukkannya ke dalam air dan menuangkannya keatas kepala Christian, membasahi rambutnya. Aku mengulangi proses itu, condong ke atas tubuhnya.
"Aromamu enak sekali, Mrs. Grey," ia menggumam dan menutup matanya.
Saat aku membasahi rambutnya, aku memperhatikan wajahnya dengan bebas. Sial. Apakah aku akan pernah bosan melihatnya? Bulu mata hitam yang panjang yang tertutup; bibirnya sedikit terbuka, berbentuk seperti berlian kecil yang gelap, dan ia menghirup udara dengan perlahan. Hmm... betapa ingin aku menyentuh bibir itu dengan lidahku-
Aku memercikkan air ke matanya. Sial! "Maaf!"
Ia mengambil ujung handuk dan tertawa saat ia menyeka air dari matanya.
"Hey, Aku tahu aku pria menyebalkan, tapi jangan menenggelamkanku."
Aku mencondongkan tubuhku dan mencium keningnya, terkikik. "Jangan menggodaku."
Ia melingkarkan tangannya di belakang kepalaku dan bergeser jadi ia bisa mencium bibirku dengan bibirnya. Ia menciumku lembut, membuat suara rendah di tenggorokkannya. Suara itu tersambung dengan otot di dalam perutku. Suara yang sangat menggairahkan. Ia melepaskanku dan kembali berbaring dengan patuh, menatapku dengan harapan. Untuk beberapa saat ia terlihat rapuh, seperti seorang anak. Itu menohok hatiku.
Aku mengeluarkan sedikit shampoo ke atas telapak tanganku dan memijat kepalanya, mulai dari depan dan bergerak ke atas dan turun ke sisi kepalanya, memutar jemariku dengan ritme teratur. Ia menutup matanya lagi dan membuat suara senandung lagi.
"Rasanya sangat enak," katanya setelah beberapa saat dan santai di bawah sentuhan jemariku.
"Ya tentu saja." Aku mengecup keningnya sekali lagi.
"Aku suka saat kau mencakar kulit kepalaku dengan kuku jarimu." Matanya masih tertutup, tapi ekspresinya penuh kebahagiaan - tak ada kerapuhan yang tersisa. Astaga, betapa cepat moodnya berganti, dan aku lega karena mengetahui aku lah penyebab semua ini.
"Angkat kepalamu," Aku memerintah dan ia mematuhinya. Hmm - seorang gadis bisa terbiasa dengan hal ini. Aku menggosok busa ke belakang, menggoreskan kuku jariku ke kulit kepalanya.
"Berbaring."
Ia berbaring, dan aku membilas busa itu, menggunakan gelas. Kali ini aku mencoba untuk tidak menciprati wajahnya.
"Sekali lagi?" aku bertanya.
"Kumohon." Matanya mulai terbuka dan pandangannya yang tenang menatap mataku. Aku
menyunggingkan senyumku padanya.
"Segera dilakukan, Mr. Grey."
Aku bergerak ke westafel yang biasa Christian kenakan dan mengisinya dengan air hangat.
"Untuk membilas," kataku saat ia menatapku bingung.
Aku mengulangi proses memakaikannya shampoo, mendengarkan nafasnya yang berat. Setelah ia tertutup busa, aku mengambil beberapa saat untuk mengagumi ketampanan suamiku. Aku tak bisa mengabaikannya. Dengan lembut, aku mengelus wajahnya, dan ia membuka matanya, menatapku dengan pandangan mengantuk dari cela bulu matanya yang panjang. Mencondongkan tubuh aku menanamkan kecupan lembut nan suci di bibirnya. Ia tersenyum, menutup matanya, dan menghembuskan desahan.
Astaga. Siapa yang tahu setelah argumen kami siang tadi ia bisa menjadi se rileks ini? Tanpa seks? Aku mencongdongkan tubuhku keatasnya.
"Hmm," ia menggumam saat payudaraku menyentuh wajahnya. Menahan keinginan menggerakkan tubuhku, aku menarik katup penyumbat jadi air busa masuk ke saluran air. Tangannya bergerak ke pinggulku dan mendekapku.
"Di larang menggerayangi penata rambut," aku menggumam, berpura-pura tak setuju.
"Jangan lupa kalau aku tuli," katanya, menjaga matanya tetap tertutup, saat ia menjalankan tangannya ke bagian pantatku dan mulai menyentakkan rokku. Aku menampar tangannya. Aku menikmati permainan sebagai penata rambut. Ia meringis, lebar dan kekanakan, seperti aku menangkapnya melakukan sesuatu yang nakal dan ia sebenarnya secara rahasia bangga akan hal itu.
Aku meraih gelas itu lagi, tapi kali ini menggunakan air dari westafel sebelah untuk membilas semua shampoo dari rambutnya. Aku melanjutkan mencondongkan tubuh ke atasnya, dan ia tetap menaruh tangannya di punggungku, mengetuk-ngetukkan jemarinya mundur dan maju, keatas dan kebawah... kebelakang dan kedepan... hmm. Aku menggeliat. Ia mengerang dengan suara rendah di tenggorokannya.
"Nah. Sudah terbilas semua."
"Bagus," katanya. Jemarinya mengencang di punggungku, dan saat bersamaan ia duduk, rambutnya membasahi seluruh tubuhnya. Ia menarikku keatas pangkuannya, tangannya bergerak dari punggungku kearah leherku, kemudian ke daguku, menahanku tetap di tempat. Aku terkejut dan bibirnya sudah ada pada bibirku, lidahnya panas dan keras di bibirku. Jemariku berkait di rambutnya yang basah, dan tetesan air turun ke tanganku; dan saat ia memperdalam ciumannya, rambutnya membasahi wajahku. Tangannya bergerak dari daguku turun ke kancing teratas blusku.
"Cukup sudah dengan pemainan berdandan. Aku ingin bercinta denganmu seven shades of Sunday, dan kita bisa melakukannya di sini atau di tempat tidur. Kau yang pilih."
Mata Christian menyala, panas dan penuh janji, rambutnya meneteskan air di antara kami berdua. Mulutku menjadi kering.
"Apa pilihanmu, Anastasia?" tanyanya.
"Kau basah," aku merespon.
Ia mencondongkan kepalanya tiba-tiba, menjatuhkan rambutnya yang basah ke depan blusku. Aku memekik dan mencoba menggeliat menjauh darinya. Ia mengencangkan genggamannya di tubuhku.
"Oh, kau tidak akan bisa, sayang," gumamnya. Saat ia mendongakkan kepalanya ia tersenyum cabul padaku, dan aku adalah Miss Blus Basah 2011. Atasanku basah dan benar-benar transparan. Aku basah... dimana-mana.
"Aku suka pemandangan ini," ia menggumam dan mencondongkan tubuhnya kebawah untuk menjalarkan hidungnya berputar dan berputar di salah satu putingku yang basah. Aku menggeliat.
"Jawab aku, Ana. Disini atau di tempat tidur?"

Fifty Shades Freed (Fifty Shades #3) (31)

"Apa kau mau wine lagi, Christian?" Aku memanggilnya.
"Iya, sayang," ia berdendang, menyunggingkan senyum padaku. Wow, ia bisa sangat memabukkan sekaligus menjengkelkan di saat bersamaan.
Berjinjit untuk membuka lemari, aku sadar mata Christian memperhatikanku, dan aku terselimuti perasaan aneh bahwa Christian dan aku sedang melakukan sandiwara, memainkan permainan ini bersama - tapi kali ini kami berada di pihak yang sama melawan Ms. Matteo. Apakah ia tahu bahwa Gia tertarik padanya dan sangat jelas akan hal itu? Pikiran itu memberikanku rasa lega saat aku menyadari bahwa mungkin Christian mencoba meyakinkanku. Atau mungkin Christian hanya mengirimkan pesan yang jelas pada wanita itu bahwa ia sudah beristri.
Milikku. Yeah, wanita jalang - dia milikku. Dewi batinku mengenakan pakaian gladiator-nya. Tersenyum pada diriku sendiri, aku mengambil tiga gelas dari lemari, mengambil pembuka botol saugvignon blanc dari kulkas, dan menempatkan semua benda itu di meja sarapan. Gia membungkuk ke atas meja saat Christian berdiri di sampingnya dan menunjuk sesuatu yang berada di rancangan itu.
"Aku rasa Ana memiliki beberapa pendapat tentang dinding kacanya, tapi secara keseluruhan kami berdua puas akan rancanganmu."
"Oh, aku bersyukur akan hal itu," sembur Gia, jelas terlihat lega, dan seperti yang ia katakan tadi, Gia menyentuh tangan Christian dalam gerakan yang kecil dan genit. Tubuh Christian menegang tapi tidak terlalu jelas. Gia bahkan mungkin tidak mengetahuinya.
Tinggalkan dia sendiri, nona. Dia tak suka di sentuh.
Melangkah ke samping dengan pelan jadi dia berada di luar jangkauannya, Christian mengengok kearahku. "Kami haus disini," katanya.
"Sebentar lagi datang." Ia memainkan permainan ini. Gia membuatnya tidak nyaman. Mengapa aku tak melihat hal itu sebelumnya? Itulah mengapa aku tak menyukai Gia. Christian terbiasa mengetahui bagaimana reaksi wanita terhadapnya. Aku sudah cukup sering melihatnya, dan biasanya Christian tidak memikirkan hal itu. Tapi menyentuh adalah hal lain. Well, Mrs. Grey datang menyelamatkan.
Aku terburu-buru menuangkan wine ke dalam gelas, mengangkat ketiga gelas dengan tanganku, dan dengan cepat kembali pada ksatriaku yang sedang dalam kesulitan. Menyodorkan satu gelas pada Gia, aku dengan cepat memposisikan diriku diantara mereka berdua. Gia tersenyum sopan saat menerima gelas itu. Aku menyerahkan gelas kedua pada Christian, yang mengambilnya dengan cepat, ekspresinya seperti terhibur dan bersyukur.
"Bersulang," Christian mengatakan itu pada kami berdua, tapi hanya melihat padaku. Gia dan aku mengangkat gelas kami bersamaan. Aku mencicipi wine itu.
"Ana, kau punya pendapat tentang dinding kacanya?" tanya Gia.
"Ya. Aku menyukainya - jangan salah paham. Tapi aku mengharapkan kalau kita bisa menggabungkan hal-hal yang lebih ramah lingkungan ke rumah itu. Sejujurnya, aku jatuh cinta pada rumah itu seperti apa adanya, dan aku tak ingin ada perubahan yang drastis."
"Aku mengerti."
"Aku hanya ingin desainnya lebih simpatik, kau tahu... lebih kepada menjaga rumah itu seperti apa adanya." Aku melihat ke arah Christian, yang menatapku dengan ragu.
"Tak ada perubahan besar?" gumam Christian.
"Tidak." Aku menggelengkan kepalaku sebagai penekanan kata itu.
"Kau menyukai rumah itu apa adanya?"
"Sebagian besar, ya. Aku selalu merasa rumah itu hanya memerlukan sedikit TLC (perawatan lemah lembut)."
Mata Christian bersinar dengan kehangatan.
Gia menatap kami berdua, dan pipinya memerah. "Okay," katanya. "Aku rasa aku memahami apa yang kau inginkan, Ana. Bagaimana kalau kita tahan dulu dinding kacanya, tapi kita akan membukanya menjadi geladak yang lebih luas dan di hiasi dengan gaya Mediterrania. Lagipula kita sudah punya teras dengan struktur bebatuan. Kita bisa membuat pilarnya seperti bebatuan itu, ditempatkan dengan baik jadi kalian akan tetap bisa melihat pemandangan itu. Ditambah dengan atap kaca, atau keramik yang dipasang di seluruh lantai rumah. Itu akan melapisi ruang makan al fresco dan ruang duduk."
Harus memberikan wanita ini pujian... dia sangat mahir.
"Atau selain geladak itu, kita bisa memasukkan warna kayu yang kau pilih ke dalam pintu kaca - itu mungkin akan membantu memberikan semangat Mediterrania," lanjutnya.
"Seperti jendela biru cerah di Perancis Selatan," aku menggumam pada Christian, yang memperhatikanku dengan intens. Ia menyesap winenya dan mengangkat bahunya, tidak memberi pendapat apapun. Hmm. Ia tidak suka ide itu tapi ia tidak menolakku, menjatuhkanku, atau membuatku merasa bodoh. Tuhan, pria ini adalah seseorang yang penuh kontradiksi. Kata- katanya di hari kemarin datang di pikiranku: "Aku ingin rumah itu seperti yang kau inginkan. Apapun yang kau mau. Rumah itu milikmu." Ia ingin aku bahagia - bahagia terhadap apapun yang kulakukan. Di dalam hati kurasa aku mengetahuinya. Ini hanya - aku menghentikan diriku sendiri. Jangan memikirkan pertengkaran kalian sekarang. Bawah sadarku menatapku garang.
Gia memperhatikan Christian, menunggunya membuat keputusan. Aku melihat saat pupil matanya membesar dan bibirnya yang mengkilat terbuka. Lidahnya menyapu bibir atasnya sebelum ia menyesap wine-nya lagi. Saat aku berbalik ke Christian, ia masih melihat kearahku-- -tidak melihat Gia sama sekali. Yes! Dewi batinku melompat diangkasa. Aku akan membicarakan hal ini dengan Ms. Matteo.
"Ana, apa yang ingin kau lakukan?" gumam Christian, sangat jelas menghormati keputusanku.
"Aku suka ide geladaknya."
"Aku juga."
Aku beralih pada Gia. Hey, nona, lihat aku, bukan padanya. Aku orang yang mengambil keputusan di sini. "Kurasa aku lebih senang jika melihat gambar yang sudah di revisi yang menggambarkan geladak yang lebih luas dan pilar yang di pasang di dalam rumah."
Dengan enggan, Gia mengalihkan pandangannya yang lapar dari suamiku dan tersenyum padaku. Apakah ia pikir aku takkan menyadarinya?
"Tentu," ia menyutujui dengan senang. "Ada pendapat lain?"
Selain kau yang memperhatikan suamiku terlalu liar? "Christian ingin mengubah ruang tidur utama," aku menggumam.
Ada suara batuk yang hati-hati di pintu masuk kearah ruang utama. Kami bertiga berbalik dan melihat Taylor berdiri disana.
"Taylor?" tanya Christian.
"Aku butuh berunding dengan Anda untuk persoalan penting ini, Mr. Grey."
Christian menepuk bahuku dari belakang dan berbicara pada Gia.
"Mrs. Grey yang mengurus proyek ini. Dia memiliki kekuasaan penuh. Apapun yang ia inginkan, itu miliknya. Aku sepenuhnya mempercayai instingnya. Dia sangat cerdas." Suaranya melembut sedikit. Dalam suara itu aku mendengar rasa bangga dan peringatan terselubung. Peringatan kepada Gia?
Dia percaya pada naluriku? Oh pria ini menjengkelkan. Naluriku membiarkan dia melindas perasaanku sore ini. Aku menggeleng dengan frustrasi tapi aku bersyukur bahwa dia mengatakan pada Nona-Provokatif-Dan-Sayangnya-Mahir-Dalam-Pekerjaannya siapa yang memegang kendali. Aku menyentuh tangannya saat tangan itu berada di bahuku.
"Aku undur diri." Christian meremas bahuku sebelum berjalan mengikuti Taylor. Aku berpikir apa yang sedang terjadi.
"Jadi...ruang tidur utama?" tanya Gia dengan gugup.
Aku menatapnya, berhenti beberapa saat untuk memastikan Christian dan Taylor sudah jauh dari pendengaran. Kemudian aku memanggil seluruh kekuatan dalam diriku dan fakta bahwa aku sudah terusik selama lima jam terakhir, aku akan membiarkan Gia menerima akibatnya.
"Kau pantas untuk gugup, Gia, karena sekarang kau bekerja pada proyek ini tergantung pada sukses tidaknya pekerjaanmu. Tapi aku yakin kita akan baik-baik saja selama kau menjauhkan
tanganmu dari suamiku."
Ia terkejut.
"Jika tidak, kau dipecat. Mengerti?" Aku mengucapkan tiap kata dengan jelas.
Ia berkedip cepat, jelas terpana. Ia tak bisa mempercayai apa yang baru saja aku katakan. Aku bahkan tak percaya akan apa yang baru saja aku katakan. Tapi aku tetap pada posisiku, menatap dengan acuh pada mata coklatnya yang melebar.
Jangan mengalah. Jangan mengalah! Aku sudah mempelajari ekspresi marah yang datar ini dari Christian yang memiliki wajah datar lebih dari siapapun. Aku tahu bahwa merenovasi tempat tinggal utama keluarga Grey adalah proyek prestisius untuk karir arstitektur Gia - sebuah prestasi membanggakan. Dia tak bisa kehilangan tugas ini. Dan sekarang aku tak perduli bahwa ia adalah teman Elliot.
"Ana - Mrs. Grey...A-aku minta maaf. Aku tak pernah-" ia merona, tak yakin apa yang bisa ia katakan lagi.
"Biarkan aku membuat ini semua jelas. Suamiku tidak tertarik padamu."
"Tentu saja," ia menggumam, darah menghilang dari wajahnya.
"Sama seperti yang aku bilang, aku hanya ingin semua ini jelas."
"Mrs. Grey, aku benar-benar minta maaf jika kau berpikir... Aku sudah-" Dia berhenti, masih memikirkan apa yang harus dikatakannya.
"Bagus. Selama kita saling mengerti satu sama lain, kita akan baik-baik saja. Sekarang, aku akan memberitahumu apa yang kami inginkan pada kamar tidur utama, kemudian aku akan memberitahumu semua material yang harus kau gunakan. Seperti yang kau ketahui, Christian dan aku memutuskan rumah itu harus ramah lingkungan, dan aku ingin Christian tahu dari mana semua material itu berasal dan apa saja mereka."
"T-tentu," ia tergagap, matanya melebar dan sepertinya sedikit terintimidasi olehku. Ini pertama kalinya. Dewi batinku mengelilingi arena, melambai pada kerumunan penonton yang menggila.
Gia merapikan rambutnya kembali ke tempatnya, dan aku menyadari itu adalah gerakan saat ia gugup.
"Kamar tidur utama?" katanya cepat, suaranya seperti bisikan saat ia kehabisan nafas. Sekarang aku berada di atas, aku merasa diriku akhirnya rileks sejak pertemuanku dengan Christian siang ini. Aku bisa melakukan ini. Dewi batinku merayakan kejalangan yang ada dalam dirinya.
Christian bergabung dengan kami sesaat setelah kami selesai berdiskusi.
"Semua sudah selesai?" tanyanya. Ia menaruh tangannya di pinggangku dan berbalik ke arah Gia.
"Ya, Mr. Grey," Gia tersenyum lebar, meskipun senyumnya sedikit memaksa. "Aku akan memberikan rancangan yang sudah di revisi kepada anda dalam beberapa hari."
"Bagus sekali. Kau senang?" ia menanyakan itu langsung padaku, matanya hangat dan menyelidik. Aku mengangguk dan merona karena beberapa alasan yang tidak ku mengerti.
"Lebih baik saya pamit," kata Gia lagi-lagi terlalu bersemangat. Dia mengulurkan tangannya padaku lebih dulu kali ini, kemudian pada Christian.
"Sampai lain waktu, Gia," gumamku.
"Ya, Mrs. Grey. Mr. Grey."
Taylor muncul di pintu masuk ruang utama.
"Taylor akan mengantarmu keluar." Suaraku cukup keras untuk di dengar Taylor. Merapikan rambut sekali lagi, Gia berbalik dan meninggalkan ruang utama, di ikuti oleh Taylor.
"Gia sepertinya lebih dingin," kata Christian, menatap bingung padaku.
"Benarkah? Aku tak menyadarinya." Aku mengangkat bahuku, mencoba untuk terlihat netral. "Apa yang Taylor inginkan?" Aku bertanya sebagian karena aku penasaran dan sebagian lagi karena aku ingin mengganti topik pembicaraan.
Membeku, Christian melepaskanku dan mulai menggulung rancangan yang berada di atas meja. "Ini tentang Hyde."
"Ada apa tentang Hyde?" Aku berbisik.
"Tak ada yang perlu kau khawatirkan, Ana." Meninggalkan rancangan itu, Christian menarikku ke dalam pelukannya. "Ternyata Hyde tidak berada di apartemennya sudah berminggu-minggu, hanya itu saja." Ia mencium rambutku, kemudian melepaskanku dan menyelesaikan tugasnya.
"Jadi apa yang sudah kau putuskan?" tanyanya, dan aku tahu ia menanyakan itu karena ia tak ingin mendorongku ke topik penyelidikan Hyde.
"Hanya yang kau dan aku sudah diskusikan. Aku rasa ia menyukaimu," kataku pelan.
Ia mendengus. "Apakah kau mengatakan sesuatu padanya?" ia bertanya dan aku merona. Bagaimana ia bisa tahu? Bingung harus mengatakan apa, aku menatap jemariku yang berkait.
"Tadinya kita berdua adalah 'Christian dan Ana' saat ia datang, dan 'Mr. dan Mrs. Grey' saat ia pergi." Nadanya ringan.
"Aku mungkin sudah mengatakan sesuatu," Aku menggumam. Saat aku meliriknya, ia memandangku hangat, dan untuk beberapa saat ia terlihat... puas. Ia menjatuhkan pandangannya, menggelengkan kepalanya, dan ekspresinya berubah.
"Dia hanya beraksi pada wajah ini." samar-samar ia terdengar masam, bahkan jijik.
Oh, Fifty, tidak!
"Apa?" Ia bingung akan ekspresiku yang bingung. Matanya melebar dalam kepanikan. "Kau tidak cemburu, kan?" tanyanya, terkejut.
Aku merona dan menelan ludah, kemudian menatap kemariku yang berkait. Benarkah?
"Ana, Gia adalah predator seksual. Bukan tipeku sama sekali. Bagaimana kau bisa cemburu padanya? Dari semua hal di dirinya? Tak ada yang membuatku tertarik sama sekali." Saat aku menatapnya, ia menatapku seperti halnya ditubuhku tumbuh lengan tambahan. Ia menyapukan tangan ke rambutnya. "Hanya kau, Ana," katanya lembut. "Akan selalu hanya dirimu."
Oh my. Meninggalkan rancangan itu sekali lagi, Christian bergerak ke arahku dan memegang daguku diantara jempol dan jari telunjuknya.
"Bagaimana bisa kau berpikir sebaliknya? Apakah aku pernah memberimu indikasi bahwa aku lebih tertarik pada orang lain?" Matanya menyala saat ia menatap mataku.
"Tidak," aku berbisik. "Aku hanya sedikit bodoh. Hanya saja hari ini... kau..." Seluruh perasaan campur adukku muncul ke permukaan. Bagaimana aku bisa mengatakan padanya betapa bingungnya diriku? Aku sudah dipermalukan dan dipunsingkan oleh kelakuannya siang itu di kantorku. Satu menit ia ingin aku berada di rumah, kemudian ia memberikanku sebuah perusahaan. Bagaimana aku harus mengerti?
"Bagaimana denganku?"
"Oh, Christian" - bibir bawahku gemetar - "Aku mencoba beradaptasi pada kehidupan baru ini yang tak pernah ku bayangkan terjadi pada diriku sebelumnya. Semua sudah di tangani dan siap - pekerjaan, kau, suamiku yang tampan, yang tak pernah... aku tahu bahwa mencintaiku sebesar ini, sekuat ini, secepat ini, sepermanen ini." Aku mengambil nafas saat bibirnya mulai terbuka.
"Tapi jika kau seperti halnya kereta barang, dan aku tak ingin terlindas karena gadis yang kau cintai akan hancur. Dan apa yang akan tersisa? Yang tersisa hanyalah sinar X sosial kosong, berpindah-pindah dari acara amal satu ke acara amal lainnya." Aku berhenti sekali lagi, kesulitan mencari kata-kata untuk mengungkapkan apa yang kurasa. "Dan sekarang kau ingin aku menjadi CEO perusahaan, yang tak pernah berada dalam jangkauanku. Aku berlompatan dari semua ide ini, kesulitan. Kau ingin aku di rumah. Kau ingin aku menjalankan perusahaan. Ini sangat membingungkan." Aku berhenti, air mata mengancam akan keluar, dan aku memaksa menahan isakan.
"Kau membuatku membiarkan mengambil keputusanku sendiri, mengambil resikonya, dan membuat kesalahan sendiri, dan membuatku belajar dari kesalahan itu. Aku perlu berjalan sebelum aku bisa berlari, Christian, tidakkah kau lihat itu. Aku ingin sedikit kemandirian. Itulah arti namaku bagiku." Itulah yang ingin aku katakan sore ini.
"Kau merasa terlindas?" bisiknya.
Aku mengangguk.
Ia menutup matanya dan menyapukan tangannya di rambut secara gelisah. "Aku hanya ingin memberikanmu dunia, Ana, semua dan apapun yang kau inginkan. Dan menjagamu dari semua itu juga. Menjagamu agar tetap aman. Tapi aku ingin semua orang tahu bahwa kau milikku. Aku sangat panik hari ini saat aku mendapat email-mu. Mengapa kau tak memberitahuku tentang namamu?"
Aku merona. Aku rasa ia benar.

Fifty Shades Freed (Fifty Shades #3) (30)

"Kau perlu potong rambut," Gumamku. Berpaling darinya, aku melangkah ke lift.
"Begitukah?" Katanya sambil menyapu rambutnya dari dahinya. Dia mengikutiku masuk
"Ya." Aku menekan kode untuk apartemen kami ke dalam papan tombol.
"Jadi, kau sedang berbicara denganku sekarang?"
"Hanya bicara."
"Sebenarnya kau marah tentang apa? Aku perlu indikasi," tanyanya dengan hati-hati. Aku
berbalik dan ternganga padanya.
"Apakah kau benar-benar tidak tahu? Tentunya, bagi seseorang begitu pintar, kau pasti memiliki firasat? Aku tak percaya kau sedangkal itu."
Dia mengambil langkah mundur dengan hati-hati. "Kau benar-benar marah. Kupikir kita telah menyelesaikan semuanya di kantormu, "gumamnya, bingung.
"Christian, aku hanya menyerah pada tuntutan kemarahanmu. Itu saja."
Pintu lift terbuka dan aku tergesa keluar. Taylor berdiri di lorong.
Dia mengambil langkah mundur dan dengan cepat menutup mulutnya saat aku dengan cepat melewatinya.
"Hai, Taylor," gumamku.
"Mrs. Grey," bisiknya.
Aku menjatuhkan tasku di lorong, menuju ke ruang besar. Mrs. Jones di depan kompor.
"Selamat malam, Mrs. Grey."
"Hai, Mrs. Jones," gumamku sekali lagi. Aku langsung menuju ke lemari es dan menarik keluar sebotol anggur putih. Christian mengikutiku ke dapur dan melihatku seperti elang saat aku mengambil gelas dari lemari. Dia membuka jaketnya dan dengan santai meletakkannya di meja.
"Apa kau mau minum?" Tanyaku super manis.
"Tidak, terima kasih," katanya, tidak melepaskan pandangan dariku, dan aku tahu bahwa dia tak berdaya. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan denganku. Ini lucu pada satu sisi dan tragis di sisi yang lain. Well, peduli amat dengannya! Aku mengalami kesulitan menemukan rasa kasih sayangku sejak pertemuan kami sore ini. Perlahan-lahan, ia melepaskan dasinya kemudian membuka bagian atas kancing kemejanya. Aku menuangkan segelas besar sauvignon blanc, dan Christian menjalankan tangannya melalui rambutnya. Ketika aku berbalik, Mrs. Jones telah menghilang. Sial! Dia perisaiku. Aku menyesap seteguk anggur. Hmm. Rasanya enak.
"Hentikan ini," bisik Christian. Dia mengambil dua langkah di antara kami jadi dia berdiri tepat di depan ku. Dengan lembut ia menyisipkan rambutku di belakang telingaku dan membelai daun telingaku dengan ujung jarinya, mengirimkan rasa gigil melaluiku. Apakah ini yang aku rindukan sepanjang hari? Sentuhannya? Aku menggeleng, menyebabkan dia melepaskan telingaku dan menatapnya.
"Bicaralah padaku," bisiknya.
"Apa gunanya? Kau tidak akan mendengarkanku."
"Ya aku akan menengarkanmu. Kau salah satu dari sedikit orang yang ingin aku dengarkan."
Aku meneguk anggur.
"Apakah ini tentang namamu?"
"Ya dan tidak. Ini adalah cara kau berurusan dengan fakta bahwa aku tidak setuju denganmu." Aku menyorotkan mataku padanya, berharap dia akan marah.
Alisnya melengkung. "Ana, kau tahu aku memiliki... masalah. Sulit bagiku untuk membiarkan pada kekhawatiranmu. Kau tahu itu. "
"Tapi aku bukan anak kecil, dan aku bukan aset."
"Aku tahu." Dia mendesah.
"Kalau begitu berhentilah memperlakukanku seolah-olah aku anak kecil," bisikku, memohon padanya.
Dia menyapu bagian belakang jari-jarinya di pipiku dan menjalankan ujung ibu jarinya di bibir bawahku.
"Jangan marah. Kau begitu berharga bagiku. Seperti aset tak ternilai, seperti seorang anak," ia berbisik, ekspresi muram dengan rasa hormat terlihat di wajahnya. Kata-katanya mengalihkan perhatianku. Seperti seorang anak. Berharga seperti anak kecil...seorang anak akan berharga baginya!
"Aku bukan orang seperti itu, Christian. Aku istrimu. Jika kau terluka karena aku tidak menggunakan namamu, Kau harusnya mengatakannya padaku."
"Terluka?" Dia mengerutkan kening dalam-dalam, dan aku tahu bahwa dia mengeksplorasi kemungkinan dalam pikirannya. Dia berdiri tiba-tiba, masih mengerutkan kening, dan melirik jam tangannya dengan cepat.
"Si Arsitek akan berada di sini kurang dari satu jam. Kita harus makan."
Oh tidak. Aku mengeluh dalam hati. Dia tidak menjawabku, dan sekarang aku harus berurusan dengan Gia Matteo. Hari burukku baru saja menjadi lebih buruk. Aku cemberut pada Christian.
"Diskusi ini belum selesai," gumamku.
"Apa lagi yang bisa dibahas?"
"Kau bisa menjual perusahaan itu."
Christian mendengus. "Menjualnya?"
"Ya."
"Kau pikir aku akan menemukan pembeli di pasar saat ini?"
"Berapa biaya yang kau keluarkan?"
"Relatif murah." Nada suaranya dijaga.
"Jadi, jika bangkrut?"
Dia menyeringai. "Kami akan bertahan. Tapi aku tidak akan membiarkannya bangkrut, Anastasia. Tidak sementara kau berada di sana."
"Dan kalau aku pergi?"
"Dan melakukan apa?"
"Aku tidak tahu. Sesuatu yang lain."
"Kau sudah mengatakan ini adalah pekerjaan impianmu. Dan maafkan aku jika aku salah, tapi aku berjanji di hadapan Tuhan, Pendeta Walsh, dan jemaat terdekat kita dan terkasih untuk menyayangimu, menjunjung tinggi harapan dan impianmu, dan membuatmu aman di sisiku."
"Mengutip janji pernikahanmu padaku itu tidak bermain adil."
"Aku tidak pernah berjanji untuk bermain adil dimana kau sedang khawatir. Selain itu," tambahnya, "Sebelumnya kau sudah menggunakan janjimu padaku seperti senjata."
Aku cemberut padanya. Hal ini benar.
"Anastasia, jika kau masih marah denganku, keluarkan semua padaku di tempat tidur nanti." Suaranya tiba-tiba rendah dan penuh kerinduan sensual, matanya memanas.
Apa? Tempat tidur? Bagaimana?
Dia tersenyum sabar pada ekspresiku. Apakah dia mengharapkan aku mengikatnya? Ya ampun! Dewi batinku melepaskan earbuds iPod-nya dan mulai mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Tujuh nuansa hari Minggu," bisiknya. "Aku menantikan itu."
Whoa!
"Gail!" Teriak dia tiba-tiba, dan empat detik kemudian, Mrs. Jones muncul. Dimana dia? kantor Taylor? Mendengarkan? Oh ya ampun.
"Mr. Grey?"
"Tolong, Kami ingin makan sekarang."
"Baiklah, Pak."
Christian tidak melepaskan matanya dariku. Dia mengamatiku dengan ketelitian seolah-olah aku beberapa makhluk eksotis yang akan meloncat. Aku menyesap anggur.
"Kupikir aku akan bergabung denganmu minum segelas," katanya, mendesah, dan menjalankan tangannya melalui rambutnya lagi.
***
"Kau tidak akan menghabiskannya?"
"Tidak." Aku menatap ke bawah pada piring dari fettuccini yang hampir tidak tersentuh untuk menghindari gelap ekspresi Christian. Sebelum ia bisa mengatakan apa-apa, aku berdiri dan membersihkan piring kami dari meja makan.
"Gia akan segera bergabung dengan kita," gumamku. Mulut Christian berkerut karena wajah muram yang tidak bahagia, tapi dia tidak berkata apa-apa.
"Aku akan mengurus piring-piring itu, Mrs. Grey," kata Mrs. Jones saat aku berjalan ke dapur.
"Terima kasih."
"Kau tidak menyukainya?" Dia bertanya, khawatir.
"Makanannya enak. Aku hanya tidak lapar. "
Memberiku senyum kecil simpatik kecil, ia kembali untuk membersihkan piring dan menempatkan semuanya di mesin cuci piring.
"Aku akan menelepon beberapa orang," Christian memberitahuku, memberikanku sebuah tatapan menilai sebelum ia menghilang ke ruang kerjanya.
Aku menghela napas lega dan berjalan ke kamar tidur kami. Makan malam saat ini menjadi canggung. Aku masih marah pada Chrisitian, dan ia tampaknya tidak berpikir dia melakukan sesuatu yang salah.
Begitukah? Alam bawah sadarku mengerutkan alisnya padaku dan menatap dengan jinak pada kacamata bulan sabitnya. Ya, ia memang seperti itu. Dia membuatnya bahkan lebih aneh bagiku di tempat kerja. Dia tidak menunggu untuk membahas masalah ini denganku ketika kami berada di privasi yang saling terhubung di rumah kita sendiri. Apa yang dia rasakan jika aku datang menerobos masuk ke kantornya, menjatuhkan hukuman? Dan untuk menangani itu semua, ia ingin memberi aku SIP! Bagaimana aku bisa menjalankan perusahaan? Aku tak tahu apa-apa tentang bisnis.
Aku menatap keluar di langit Seattle yang bermandikan cahaya merah muda mutiara senja. Dan seperti biasa, dia ingin memecahkan perbedaan-perbedaan kita di kamar tidur. . . um. . . lobi. . . ruang bermain. . . ruang TV. . . meja dapur. . . Berhenti! Selalu kembali pada seks dengan dia. Seks adalah mekanisme keras kepalanya.
Aku berjalan ke kamar mandi dan cemberut pada bayanganku di cermin. Datang kembali ke dunia nyata itu sulit. Kami berhasil untuk menghapuskan semua perbedaan kami saat kami berada di gelembung kami karena kami begitu sibuk terhadap satu sama lain. Tapi sekarang?
Secara singkat aku diseret kembali ke pernikahanku, mengingat kekhawatiranku pada hari itu - menikah terburu-buru...Tidak, aku tidak harus berpikir seperti ini. Aku tahu dia Fifty Shades ketika menikah dengannya. Aku hanya harus bertahan di sana dan mencoba untuk berbicara masalah ini dengannya.
Aku menyipitkan mata pada diriku sendiri di cermin. Aku terlihat pucat, dan sekarang aku harus menghadapi wanita itu untuk ditangani.
Aku memakai rok pensil abu-abuku dan blus tanpa lengan. Benar! Dewi batinku mengeluarkan cat kuku-merah-seperti-pelacurnya. Aku melepas dua kancing bajuku, memperlihatkan sedikit belahan dada. Aku mencuci wajahku kemudian dengan hati-hati mengulang make up, mengaplikasikan maskara lebih dari biasanya dan menempatkan lip-gloss ekstra di bibirku. Membungkuk, aku kemudian menyisir rambutku dengan keras dari akar ke ujung. Ketika aku berdiri, rambutku berwarna cokelat muda yang terjatuh di sekitar dadaku. Aku menyelipkan dengan berseni ke belakang telinga ku dan mencari sepatu pumps ku, ketimbang mengenakan sepatu flat.
Ketika aku muncul kembali ke ruang besar, Christian memiliki rancangan rumah yang menyebar menyebar di atas meja makan. Dia memutar musik melalui sound system. Itu menghentikan langkahku.
"Mrs. Grey, "katanya hangat kemudian tampak bingung menatapku.
"Apa ini?" Tanyaku. Musiknya menakjubkan.
"Faure's Requiem (Misa untuk orang meninggal). Kau terlihat berbeda, "katanya, terganggu.
"Oh. Aku belum pernah mendengar ini sebelumnya."
"Ini sangat menenangkan, santai," katanya dan mengangkat alis. "Apakah kau melakukan sesuatu pada rambutmu?"
"Aku menyisirnya," gumamku. Suaraku diikuti oleh suara yang menghantui. Meninggalkan rancangan di atas meja, ia berjalan ke arahku, berjalan perlahan mengiri musiknya.
"Menari denganku?" Gumamnya.
"Lagu ini? Ini adalah requiem" Aku menjerit, terkejut.
"Ya." Dia menarikku ke dalam pelukannya dan memelukku, mengubur hidungnya di rambutku dan bergoyang lembut dari sisi ke sisi. Dia berbau wangi diri surgawinya.
Oh. . . Aku merindukannya. Aku membungkus lenganku di sekelilingnya dan melawan dorongan untuk menangis. Kenapa kau begitu menyebalkan?
"Aku benci bertengkar denganmu," bisiknya.
"Well, berhenti menjadi seperti keledai (Arse)."
Dia terkekeh dan suara menawannya menggema melalui dadanya. Dia mengencangkan pegangannya padaku. "Arse (Keledai/pantat)?"
"Ass (pantat)."
"Aku lebih suka arse (Keledai)."
"Kau memang harus menyukainya. Itu cocok untukmu."
Dia tertawa sekali lagi dan mencium bagian atas kepalaku.
"Sebuah requiem?" Gumamku sedikit terkejut bahwa kita menari untuk itu.
Dia mengangkat bahu. "Ini hanya sepotong musik yang indah, Ana."
Taylor batuk diam-diam di pintu masuk, dan Christian melepaskanku.
"Miss Matteo ada di sini," katanya.
Oh senangnya!
"Bawa dia masuk ke dalam," kata Christian. Dia meraih dan meremas tanganku saat Miss Gia Matteo memasuki ruangan.
***
BAB 8
Gia Matteo adalah seorang wanita yang berpenampilan menarik - seorang wanita yang tinggi, nan cantik. Ia memiliki rambut pendek, pirang-salon, rambut yang sempurna dan potongan indah layaknya mahkota. Ia mengenakan celana kerja berwarna abu-abu pucat; celana panjang dan jaketnya melekat ketat di lekukannya yang indah. Pakaiannya terlihat mahal. Di bagian bawah tenggorokannya, sebuah kalung berlian berkilauan, serasi dengan anting di telinganya. Ia terlihat sangat terawat - salah satu dari wanita yang tumbuh besar dikelilingi uang dan dididik dengan baik, meskipun sepertinya sore ini hal itu kurang terlihat; blus biru pucatnya terlalu terbuka. Seperti pakaianku. Aku merona.
"Christian. Ana." Ia menyapa, menunjukkan giginya yang putih sempurna, dan mengulurkan tangan yang termanikur untuk menjabat tangan Christian terlebih dulu, kemudian tanganku. Itu berarti aku harus melepaskan tangan Christian untuk menjabat tangannya. Dia hanya sedikit lebih pendek dari Christian, tapi kemudian aku menyadari ia mengenakan sepatu hak tinggi yang mematikan.
"Gia," Christian menyapa dengan sopan. Aku tersenyum dingin.
"Kalian berdua tampak luar biasa setelah bulan madu," katanya lembut, mata coklatnya menatap Christian melalui bulu mata dengan maskara yang panjang. Christian melingkarkan tangannya di tubuhku, memelukku erat.
"Kami melewati waktu yang sangat menyenangkan, terima kasih." Ia menyapukan bibirnya di keningku, membuatku terkejut.
Lihat...dia milikku. Menyebalkan - terkadang, membuatku naik darah - tapi dia milikku. Aku menyeringai. Sekarang aku benar-benar mencintaimu, Christian Grey. Aku menyelipkan tanganku ke pinggangnya kemudian memasukkan tanganku ke dalam kantong celana di pantatnya dan meremas pantatnya. Gia memberikan kami senyuman tipis.
"Sudahkah kau melihat rancangannya?"
"Ya, kami sudah melihatnya," Aku menggumam. Aku menatap Christian, yang sedang tersenyum padaku, satu alisnya naik dan ia terlihat terhibur. Terhibur akan apa? Reaksiku pada Gia atau aku meremas pantatnya?
"Mari," kata Christian. "Rancangannya ada disini." Ia menggerakkan tangannya ke arah meja makan. Menggenggam tanganku, ia membawaku kesana, Gia mengikuti kami. Aku tiba-tiba teringat sopan santun.
"Apa kau ingin sesuatu untuk minum?" Aku bertanya. "Segelas wine?"
"Tentu saja, kau baik sekali," kata Gia. "Dry white jika kau punya."
Sial! Sauvignon black - itu dry white, kan? Dengan malas ku tinggalkan suamiku, aku pergi ke dapur. Aku mendengar iPod berdesis saat Christian mematikan lagunya.

Fifty Shades Freed (Fifty Shades #3) (29)

"Apakah kau malu karena aku?" Dia bertanya, suaranya lembut menipu.
"Tidak! Christian, tentu saja tidak." Aku cemberut padanya. "Ini tentang diriku - bukan kau." Astaga, dia kadang-kadang menjengkelkan. Si konyol megalomaniak yang sombong.
"Bagaimana ini bukan tentang aku?" Dia memiringkan kepala ke satu sisi, benar-benar bingung, beberapa pendirian teguhnya tergelincir saat ia menatapku dengan mata lebar, dan aku menyadari bahwa dia terluka. Astaga. Aku telah menyakiti perasaannya. Oh tidak...dia adalah orang terakhir yang ingin aku sakiti. Aku harus membuat dia melihat logikaku. Aku harus menjelaskan alasan dibalik keputusanku.
"Christian, ketika aku menerima pekerjaan ini, aku baru saja bertemu denganmu," kataku dengan sabar, berjuang untuk menemukan kata yang tepat. "Aku tidak tahu kau akan membeli perusahaan-"
Apa yang bisa aku katakan tentang peristiwa dalam sejarah singkat kami? alasan gilanya dalam melakukan hal ini - gila kontrolnya, kecenderungan penguntit yang sudah sangat tidak masuk akal, benar-benar memberikan kendali bebas karena dia sangat kaya. Aku tahu dia ingin membuatku aman, tapi kepemilikannya atas SIP yang merupakan masalah mendasar di sini. Jika dia tidak pernah mengganggu, aku bisa terus bersikap seperti biasa dan tidak perlu menghadapi tuduhan puas dan berbisik dari rekan-rekan ku. Aku meletakkan kepalaku di tanganku hanya untuk memutuskan kontak mata dengannya.
"Mengapa ini begitu penting bagimu?" Aku bertanya, berusaha keras untuk berpegang pada kemarahanku yang menggantung. Aku menatap tatapan tanpa ekspresinya, matanya bercahaya, tidak memberikan apa-apa, rasa sakit sebelumnya sekarang tersembunyi. Tapi meskipun aku bertanya, dalam hati aku tahu jawabannya sebelum ia mengatakannya.
"Aku ingin semua orang tahu bahwa kau milikku."
"Aku milikmu - lihatlah." Aku mengangkat tangan kiriku, menunjukkan cincin pernikahan dan pertunanganku.
"Itu tidak cukup."
"Tidak cukup bahwa aku menikahimu?" Suaraku nyaris berbisik.
Dia berkedip, mendapati ketakutan di wajahku. Kemana arah pembicaraan ini? Apa lagi yang bisa aku lakukan?
"Bukan itu maksudku," hardiknya dan menjalankan jarinya ke rambutnya yang terlalu panjang sehingga terjuntai ke dahinya.
"Apa maksudmu?"
Dia menelan ludah. "Aku ingin duniamu dimulai dan berakhir denganku," katanya, ekspresinya kasar. Komentarnya membuatku sepenuhnya tergelincir. Ini seperti dia memukul perutku dengan keras, berkelok-kelok dan melukaiku. Dan bayangan datang ke pikiranku tentang laki- laki kecil kotor, ketakutan, berambut tembaga mata abu-abu, baju yang cocok dan pas.
"Memang," kataku tanpa tipu daya, karena itulah yang sebenarnya. "Aku hanya berusaha untuk membangun karir, dan aku tidak ingin menyalahgunakan kesempatan dengan namamu. Aku harus melakukan sesuatu, Christian. Aku tidak bisa tetap dipenjara di Escala atau rumah baru dengan tidak melakukan apa-apa. Aku akan gila. Aku akan mati lemas. Aku selalu bekerja, dan aku menikmati ini. Ini adalah pekerjaan impianku, itu semua yang aku inginkan. Tapi melakukan hal ini bukan berarti aku kurang mencintaimu. Kau adalah dunia bagiku." Tenggorokanku membengkak dan air mata menusuk di bagian belakang mataku. Aku tidak boleh menangis, tidak di sini. Aku mengulanginya terus menerus di dalam kepalaku. Aku tidak boleh menangis. Aku tidak boleh menangis.
Dia menatapku, tidak mengatakan apa-apa. Kemudian kernyitan melintasi wajahnya seolah-olah dia mempertimbangkan apa yang kukatakan.
"Aku mencekikmu?" Suaranya suram, dan ini merupakan gema dari sebuah pertanyaan yang dia tanyakan sebelumnya.
"Tidak. . . ya. . . tidak." Ini seperti sebuah percakapan yang melelahkan - bukan salah satu yang ingin aku lakukan sekarang, di sini. Aku menutup mataku dan menggosok dahiku, mencoba untuk memahami bagaimana kita menyelesaikan ini.
"Dengar, kita bicara tentang namaku. Aku ingin memakai namaku di sini karena aku ingin membuat suatu jarak antara kau dan aku. . . tetapi hanya di sini, itu saja. Kau tahu semua orang berpikir aku mendapat pekerjaan karena dirimu, ketika kenyataannya adalah-" Aku berhenti, saat matanya melebar. Oh tidak. . . itu karena dia?
"Apakah kau ingin tahu mengapa kau mendapat pekerjaan, Anastasia?"
Anastasia? Sial. "Apa? Apa maksudmu?"
Dia bergeser di kursinya seakan mempersiapkan diri. Apakah aku ingin tahu?
"Manajemen di sini memberikan pekerjaan milik Hyde untuk kau asuh. Mereka tidak ingin mengeluarkan biaya untuk memperkerjakan seorang eksekutif senior ketika perusahaan sedang di tengah penjualan. Mereka tidak tahu apa yang pemilik baru akan lakukan dengan itu setelah masuk ke dalam kepemilikannya, dan bijaksananya, mereka tidak ingin redundansi yang mahal. Jadi mereka memberi kau pekerjaan lama Hyde untuk mengurusnya sampai pemilik baru" - ia berhenti sebentar, dan bibirnya berkedut dalam senyuman ironis - "yaitu aku, yang mengambil alih."
Astaga! "Apa katamu?" Jadi itu karena dia. Persetan! Aku merasa ngeri.
Dia tersenyum dan menggelengkan kepalanya karena keterkejutanku. "Tenang. Kau sudah lebih dari berkembang untuk menerima tantangan itu. Kau melakukannya dengan sangat baik." Ada tanda-tanda kecil kebanggaan dalam suaranya, dan itu nyaris menjadi kehancuranku.
"Oh," gumamku tak jelas, terguncang karena berita ini. Aku duduk tepat di belakang kursiku, melongo, menatapnya. Dia bergeser lagi.
"Aku tak ingin mencekikmu, Ana. Aku tak ingin menempatkanmu dalam sangkar emas. Nah. . " dia berhenti sejenak, wajahnya gelap. "Nah, bagian rasional diriku belum ada." Dia mengelus dagunya sambil berpikir saat pikirannya membuat beberapa rencana.
Oh, kemana arahnya dia? Christian menatap tiba-tiba, seolah-olah dia sudah mendapatkan inspirasi. "Jadi salah satu alasan aku di sini-selain berurusan dengan istriku yang bandel," katanya, menyipitkan matanya, "adalah untuk membahas apa yang akan aku lakukan dengan perusahaan ini."
Istri yang bandel! Aku tidak menyimpang, dan aku bukan aset! Aku cemberut pada Christian lagi dan ancaman air mata mereda.
"Jadi apa rencanamu?" Aku memiringkan kepalaku ke satu sisi, meniru tindakannya, dan aku tidak dapat menahan nada sarkastisku. Bibirnya berkedut dengan sedikit senyum. Astaga - perubahan suasana hati, lagi! Bagaimana aku bisa bersaing dengan Mr. Mercurial (Orang yang selalu berubah-ubah)?
"Aku akan merubah nama perusahaan - menjadi Grey Publishing."
Sialan.
"Dan dalam waktu satu tahun, itu akan menjadi milikmu."
Mulutku menganga sekali lagi - kali ini lebih lebar.
"Ini adalah hadiah pernikahan untukmu."
Aku menutup mulutku kemudian membukanya, mencoba mengungkapkan sesuatu secara jelas - tapi tidak ada apa-apa yang bisa kukatakan. Pikiranku kosong.
"Jadi, apakah aku perlu mengubah namanya menjadi Steele Publishing?"
Dia serius. Astaga.
"Christian," bisikku ketika otakku akhirnya terhubung kembali dengan mulutku.
"Kau memberiku sebuah jam tangan...Aku tidak bisa menjalankan sebuah bisnis."
Dia memiringkan kepalanya ke satu sisi lagi dan memberiku kerutan dahi yang mencela. "Aku menjalankan bisnisku sendiri di usia dua puluh satu."
"Tapi kau adalah....kau. Gila kontrol dan anak hebat yang luar biasa. Astaga Christian, kau mengambil jurusan ekonomi di Harvard sebelum kau keluar. Setidaknya kau memiliki beberapa ide. Aku menjual cat dan tali kabel selama tiga tahun secara paruh waktu, Demi Tuhan. Aku telah melihat begitu sedikit bagian dari dunia ini, dan aku tidak tahu apa-apa!" suaraku naik, makin lama makin tinggi, saat aku menyelesaikan omelanku.
"Kau juga orang yang paling berpengetahuan luas yang pernah aku tahu," Ia membantah dengan sungguh-sungguh. "Kau menyukai buku bagus. Kau tidak bisa meninggalkan pekerjaanmu saat kita sedang berbulan madu. Kau membaca berapa banyak naskah? Empat?"
"Lima," bisikku.
"Dan kau menulis laporan lengkap untuk semua naskah itu. Kau wanita yang sangat pintar, Anastasia. Aku yakin kau akan bisa mengurusnya."
"Apa kau sudah gila?"
"Gila karenamu," bisiknya.
Dan aku mendengus karena itu satu-satunya ekspresi yang bisa tubuhku buat. Dia menyempitkan matanya.
"Kau akan menjadi bahan tertawaan. Membeli perusahaan untuk wanita kecil, yang hanya
memiliki pekerjaan penuh waktu selama beberapa bulan di kehidupan dewasanya."
"Apakah kau pikir aku peduli tentang apa yang orang pikirkan? Selain itu, ini milikmu sendiri."
Aku ternganga menatapnya. Dia benar-benar telah kehilangan kekakuannya kali ini. "Christian, aku..." aku menempatkan kepalaku di tanganku - emosiku sepertinya telah melalui sebuah alat pemeras. Apakah dia gila? Dan dari suatu tempat yang gelap dan jauh di dalam tiba-tiba aku memiliki suatu kebutuhan, ingin tertawa pada waktu yang tidak tepat. Ketika aku melihat ke arahnya lagi, matanya melebar.
"Kau merasa ada yang lucu, Ms. Steele?"
"Ya. Kau."
Matanya melebar lebih jauh, terkejut tapi juga geli. "Mentertawakan suamimu? Itu tidak akan pernah terjadi. Dan kau menggigit bibirmu." Matanya menjadi bertambah gelap...dengan cara itu. Oh tidak - aku tahu tatapan itu. Pengap, menggoda, cabul. . . Tidak, tidak, tidak! Jangan di sini.
"Jangan pernah memikirkan tentang hal itu," aku memperingatkan, nada khawatir jelas dalam suaraku.
"Pikirkan tentang apa, Anastasia?"
"Aku tahu tatapan itu. Kita sedang di kantor."
Dia mencondongkan tubuh ke depan, matanya terpaku pada mataku, abu-abu cair dan lapar. Ya ampun!
Aku menelan ludah secara naluriah. "Kita berada di sebuah kantor kecil cukup kedap suara dengan pintu dikunci."
"Perbuatan kotor yang tercela." Aku mengucapkan setiap kata dengan hati-hati.
"Tidak dengan suamimu."
"Dengan bosnya bosnya bosku," desisku.
"Kau istriku."
"Christian, tidak. Aku sungguh-sungguh. Kau bisa bercinta denganku dalam tujuh nuansa hari Minggu malam ini. Tapi tidak sekarang. Tidak di sini!"
Dia berkedip dan menyipitkan matanya sekali lagi. Lalu tiba-tiba dia tertawa.
"Tujuh nuansa hari Minggu?" Dia melengkungkan alisnya, merasa tertarik. "Aku akan memegang janjimu itu, Ms. Steele."
"Oh, hentikan menyebutku Ms. Steele!" Bentakku dan menggebrak meja, mengejutkan kami berdua.
"Demi Tuhan, Christian. Jika ini sangat berarti untukmu, aku akan mengganti namaku"
Mulutnya terbuka saat ia menghirup tajam. Dan kemudian dia nyengir, berseri-seri, menunjukkan seluruh gigi, senyum gembira. Wow. . .
"Bagus." Dia mengatupkan kedua tangannya, dan tiba-tiba ia berdiri.
Apa lagi sekarang?
"Misi tercapai. Sekarang, aku punya pekerjaan yang harus dilakukan. Aku permisi dulu Mrs. Grey."
Gah-orang ini sangat menjengkelkan! "Tapi-"
"Tapi apa, Mrs. Grey?"
Aku melorot. "Pergilah."
"Memang aku akan pergi. kita akan bertemu malam ini. Aku tak sabar untuk tujuh nuansa Minggu-nya."
Aku cemberut.
"Oh, dan aku punya setumpuk kegiatan sosial yang terkait dengan bisnis yang akan aku hadiri, dan aku ingin kau untuk menemaniku."
Aku ternganga menatapnya. Bisakah kau pergi saja?
"Aku akan memerintahkan Andrea untuk menghubungi Hannah agar menempatkan tanggal di kalendermu. Ada beberapa orang yang perlu kau temui. Kau harus membiarkan Hannah untuk mengatur jadwalmu mulai sekarang."
"Oke," gumamku, benar-benar melongo, bingung dan terguncang.
Dia bersandar di atas mejaku. Apa lagi sekarang? Aku terjebak dalam tatapan hipnotisnya.
"Sangat senang melakukan bisnis denganmu, Mrs. Grey." Dia bersandar mendekat saat aku terduduk lumpuh, dan ia menanamkan ciuman lembut di bibirku. "Sampai bertemu nanti, sayang" gumamnya. Dia berdiri tiba-tiba, mengedipkan mata padaku, dan pergi.
Aku meletakkan kepala di mejaku, merasa seperti aku telah ditabrak kereta kargo - kereta barang yang adalah suamiku tercinta. Dia memang orang yang paling membuat frustasi, mengganggu, pria paling keras kepala di planet ini. Aku duduk dan dengan panik menggosok mataku.
Apa yang baru saja ku setujui? Oke, Ana Grey menjalankan SIP - maksudku, Grey Publishing. Pria itu gila. Ada ketukan di pintu, dan Hannah mengulurkan kepalanya.
"Kau baik-baik saja?" Tanyanya.
Aku hanya menatapnya. Ia mengerutkan kening.
"Aku tahu kau tidak suka aku melakukan hal ini - tapi bolehkah aku membuatkanmu segelas teh?"
Aku mengangguk.
"Twinings English Breakfast, encer dan hitam?"
Aku mengangguk.
"Segera datang, Ana."
Aku menatap kosong pada layar komputerku, masih terguncang. Bagaimana aku bisa membuatnya mengerti? E-mail!
Dari: Anastasia Steele
Perihal: BUKAN ASET!
Tanggal: 22 Agustus 2011 14:23
Untuk: Christian Grey
Mr. Grey
Lain kali saat kau datang dan menemuiku, buatlah janji dulu, jadi aku bisa setidaknya mempersiapkan diri dari sifat remaja megalomania sombongmu.
Milikmu
Anastasia Grey <----- Tolong perhatikan nama itu. Commissioning Editor, SIP
Dari: Christian Grey
Perihal: Tujuh Nuansa Minggu
Tanggal: 22 Agustus 2011 14:34
Untuk: Anastasia Steele
Mrs.Grey ku tersayang (penekanan pada kata KU)
Apa yang bisa kukatakan dalam pembelaanku? Aku sedang berada di lingkunganku.
Dan bukan, kau bukan aset, kau adalah istriku tercinta.
Seperti biasa, membuat hariku menyenangkan.
Christian Grey CEO & Megalomaniac sombong, Grey Enterprises Holdings Inc
Dia berusaha untuk melucu, tapi aku sedang tidak berminat untuk tertawa. Aku mengambil napas dalam-dalam dan kembali ke korespondensiku.
***
Christian sudah tenang ketika aku naik ke mobil malam itu.
"Hai," gumamku.
"Hai," jawabnya, hati-hati-seperti yang seharusnya.
"Mengganggu hari kerja orang lain lagi hari ini?" Aku bertanya dengan sangat manis.
Sebuah senyum mengambang melintasi wajahnya. "Hanya Flynn."
Oh.
"Lain kali saat kau pergi menemuinya, aku akan memberikan daftar topik yang ingin aku bahas," aku mendesis padanya.
"Kau tampak seperti bukan dirimu, Mrs. Grey."
Aku hanya melotot ke punggung Ryan dan kepala Sawyer di depanku.
Christian bergeser sampingku.
"Hei," katanya pelan dan meraih tanganku. Sepanjang sore, ketika aku harus berkonsentrasi pada pekerjaan, aku mencoba untuk mencari tahu apa yang harus kukatakan padanya. Tapi aku menjadi marah dan marah dalam setiap jam yang aku lewati. cukup sudah dengan keangkuhannya, pemarah, dan perilaku kekanak-kanakannya yang sangat jelas. Aku merebut tanganku keluar dari tangannya dengan cara yang angkuh, pemarah, dan kekanak-kanakan.
"Kau marah padaku?" Dia berbisik.
"Ya," desisku. Melipat tanganku dengan protektif pada tubuhku, aku menatap keluar jendela. Dia bergeser sampingku sekali lagi, tapi aku meyakinkan diriku sendiri untuk tidak menatapnya. Akutidak mengerti mengapa aku begitu marah padanya-tapi aku memang sangat marah. Sungguh sangat marah.
Segera setelah kami berhenti di luar Escala, aku tidak membiarkannya menyentuhku dan melompat keluar dari mobil dengan tasku. Aku menghentak-hentakkan kakiku masuk ke dalam gedung, tidak memeriksa untuk melihat siapa yang mengikuti. Ryan bergegas masuk lobi di belakangku dan berlari ke lift untuk menekan tombol panggil.
"Apa?" Hardikku ketika aku bersamanya. Pipinya memerah.
"Maaf, Ma'am," ia bergumam.
Christian datang dan berdiri di sampingku untuk menunggu lift, dan Ryan menarik diri.
"Jadi bukan hanya dengan aku kau marah?" Gumam Christian datar. Aku melotot ke arahnya dan melihat jejak senyum di wajahnya.
"Apakah kau menertawakanku?" Aku menyipitkan mataku.
"Aku tidak akan berani," katanya, memegang kedua tangannya ke atas seperti aku mengancam dia di bawah todongan senjata. Dia mengenakan setelan angkatan lautnya, tampak segar dan bersih dengan rambut-seks nya yang terjuntai dan ekspresi jujur-nya.

Fifty Shades Freed (Fifty Shades #3) (28)

"Aku menginginkanmu," gumamnya dan itu adalah lampu hijau untuk libidoku. Jariku berpindah ke rambutnya, menarik kepalanya ke belakang sehingga aku bisa mengklaim mulutnya, api menjilat panas dan tinggi di perutku. Dia mengerang dan mendorongku kembali ke sofa. Dia duduk dan membuka celanaku, melepas celananya pada saat yang sama.
"Home run," ia berbisik, dan dengan cepat ia mengisi ke dalam tubuhku.
"Ah... " Aku mengerang dan ia terdiam, meraih wajahku dengan kedua tangan.
"Aku mencintaimu, Mrs. Grey," gumamnya dan dengan sangat lambat, sangat lembut, ia bercinta denganku sampai aku hancur lebur, memanggil namanya dan membungkus diriku disekelilingnya, tak pernah ingin membiarkan dirinya pergi.
***
Aku berbaring telentang di dadanya. Kami berada di lantai ruang TV.
"Kau tahu, kita benar-benar melewati base ke tiga." Jari-jariku menelusuri garis dadanya yang berotot.
Dia tertawa. "Lain kali, Mrs Grey." Dia mencium bagian atas kepalaku.
Aku mendongak untuk menatap layar televisi saat tayangan kredit akhir untuk The X-Files muncul. Christian meraih remote dan memunculkan suara televisinya kembali.
"Kau menyukai acara itu?" tanyaku.
"Ketika aku masih kecil."
Oh...Christian saat anak-anak...kickboxing dan X-Files dan tidak ada sentuhan.
"Kau?" Tanyanya.
"Bukan jamanku."
"Kau sangat muda." Christian tersenyum sayang. "Aku suka bermesraan denganmu, Mrs. Grey."
"Begitu pula aku, Mr. Grey." Aku mencium dadanya, dan kami berbaring menonton dalam diam saat The X-Files selesai dan iklan muncul.
"Sudah tiga minggu yang seperti surga. Kejar-kejaran mobil dan kebakaran dan terlepas dari mantan bos psycho-mu. Seperti berada dalam gelembung pribadi kita sendiri," aku bergumam sambil melamun.
"Hmm," Christian mendengung jauh di dalam tenggorokannya. "Aku tidak yakin aku siap untuk membagimu dengan seluruh dunia."
"Besok kembali ke kehidupan nyata," gumamku, berusaha untuk menjaga kemelankolisan suaraku.
Christian mendesah dan menjalankan tangannya yang lain melalui rambutnya. "Keamanan akan
diperketat-" aku menaruh jariku di atas bibirnya. Aku tak ingin mendengar ceramah ini lagi.
"Aku tahu. Aku akan baik-baik saja. Aku janji." Yang mengingatkanku pada...Aku bergeser, menopang badanku dengan siku untuk melihat dia dengan lebih baik. "Kenapa kau berteriak pada Sawyer?"
Tubuhnya menegang dengan segera. Oh, sial.
"Karena kita dibuntuti."
"Itu bukan kesalahan Sawyer."
Dia menatap datar ke arahku. "Mereka seharusnya tidak pernah membiarkanmu terlampau terlalu jauh di depan. Mereka tahu itu."
Aku merona oleh rasa bersalah dan duduk kembali pada posisiku, beristirahat di dadanya. Ini salahku. Aku ingin pergi jauh dari mereka.
"Itu bukan-"
"Cukup!" Potong Christian kasar. "Ini tidak untuk didiskusikan, Anastasia. Ini adalah fakta, dan mereka tak akan membiarkan hal itu terjadi lagi."
Anastasia! Aku adalah Anastasia ketika aku dalam kesulitan seperti sedang dirumah bersama ibuku saja.
"Oke," gumamku, menenangkan dirinya. Aku tidak ingin melawan. "Apakah Ryan menyusul wanita yang menyamar itu?"
"Tidak Dan aku tidak yakin itu adalah seorang wanita."
"Oh?" Aku mendongak lagi.
"Sawyer melihat seseorang dengan rambut diikat ke belakang, tapi itu sekilas. Dia mengasumsikan itu seorang wanita. Sekarang, mengingat bahwa kau telah mengidentifikasi keparat itu, mungkin itu adalah dia. Dia membuat rambutnya seperti itu." Rasa jijik dalam suara Christian sangat gamblang.
Aku tak tahu apa yang menjadikan berita seperti ini. Christian menjalankan tangannya ke punggung telajangku, mengalihkan perhatianku.
"Jika sesuatu terjadi pada dirimu...," Gumamnya, matanya lebar dan serius.
"Aku tahu," bisikku. "Aku merasakan hal yang sama padamu." Pikiranku bergetar.
"Ayo. Kau semakin dingin, "katanya, duduk. "Mari kita pergi tidur. Kita bisa menyelesaikan base ketiga disana." Dia tersenyum bernafsu, lincah seperti biasa, bergairah, marah, cemas, seksi - Fifty Shades-ku. Aku mengambil tangannya dan dia menarikku berdiri, dan tanpa selembar benangpun, aku mengikutinya melalui ruang besar menuju kamar tidur.
***
Keesokan paginya, Christian meremas tanganku saat kita menepi di luar SIP. Sosoknya menampilkan seorang eksekutif yang kuat dalam setelan biru gelap dan dasi yang cocok, dan aku tersenyum. Dia tidak pernah sepintar ini sejak balet di Monaco.
"Kau tahu bahwa kau tidak perlu melakukan ini?" Gumam Christian. Aku tergoda untuk memutar mataku padanya.
"Aku tahu," aku berbisik, tidak ingin Sawyer dan Ryan mendengarku dari bangku depan Audi. Dia mengerutkan kening dan aku tersenyum.
"Tapi aku menginginkannya." lanjutku. "Kau tahu ini." Aku bersandar dan menciumnya. Kerutan dahinya tidak menghilang. "Apa yang salah?" Dia melirik ragu pada Ryan saat Sawyer memanjat keluar dari mobil. "Aku akan merindukan memilikimu untuk diriku sendiri."
Aku menggapai untuk membelai wajahnya. "Aku juga." Aku menciumnya. "Itu adalah bulan madu yang indah. Terima kasih."
"Pergilah bekerja, Mrs. Grey."
"Kau juga, Mr. Grey."
Sawyer membuka pintu. Aku meremas tangan Christian sekali lagi sebelum aku keluar ke trotoar. Saat aku melangkah menuju gedung, aku memberinya lambaian kecil. Sawyer membukakan pintu gedung untukku dan mengikutiku masuk.
"Hai, Ana." Claire tersenyum dari balik meja resepsionis.
"Claire, halo." Aku tersenyum kembali.
"Kau tampak cantik. Bulan madu yang menyenangkan?"
"Yang terbaik, terima kasih. Bagaimana keadaan di sini?"
"Si tua Roach masih sama, tapi keamanan telah ditingkatkan dan ruangan server kita sedang dirombak. Tapi Hannah akan menjelaskan padamu."
Tentu saja dia akan melakukannya. Aku memberikan Claire senyum ramah dan melangkah lagi menuju kantorku.
Hannah adalah asistenku. Dia tinggi, ramping, dan sangat efisien dalam pekerjaannya yang terkadang aku melihatnya sedikit mengintimidasi. Tapi dia manis padaku, meskipun faktanya dia beberapa tahun lebih tua. Dia memegang latte-ku yang sedang menunggu - satu-satunya kopi yang aku biarkan dia membuatkannya untukku.
"Hai, Hannah," kataku hangat.
"Ana, bagaimana bulan madumu?"
"Fantastis. ini - untukmu." Aku mengeluarkan parfum botol kecil yang aku beli untuknya dan meletakkannya dia atas mejanya, dan ia bertepuk tangan dengan gembira.
"Oh, terima kasih!" Katanya antusias. "Korespondensimu yang harus di balas segera kuletakkan di atas meja, dan Roach ingin bertemu denganmu pada jam sepuluh. Hanya itu yang aku laporan untukmu saat ini."
"Baik. Terima kasih. Dan terima kasih untuk kopinya. "Terhanyut di dalam kantorku, aku meletakkan tasku di meja dan menatap pada tumpukan surat. Astaga, banyak hal yang harus aku kerjakan.
***
Tepat sebelum jam sepuluh ada ketukan ragu-ragu pada pintuku.
"Masuk."
Elizabeth terlihat di sekitar pintu. "Hai, Ana. Aku hanya ingin mengucapkan selamat datang kembali."
"Hei. Aku mau bilang, dengan membaca semua korespondensi ini, aku berharap aku kembali ke Prancis Selatan."
Elizabeth tertawa, tapi tawanya hambar, dipaksa, dan aku menelengkan kepalaku ke samping dan menatapnya dia seperti Christian saat menatapku.
"Senang kau kembali dengan selamat," katanya. "Sampai bertemu beberapa menit lagi di pertemuan dengan Roach. "
"Oke," bisikku, dan dia menutup pintu di belakangnya. Aku mengerutkan kening pada pintu yang tertutup. Apa-apaan itu tadi? Aku mengangkat bahu dengan acuh. E-mail-ku berbunyi - itu adalah pesan dari Christian.
Dari: Christian Grey
Perihal: Istri yang bandel
Tanggal: 22 Agustus 2011 09:56
Untuk: Anastasia Steele
Istriku
Aku mengirim e-mail di bawah ini dan gagal terkirim.
Dan itu karena kau belum merubah namamu.
Ada sesuatu yang ingin kau katakan padaku?
Christian Grey CEO, Grey Enterprises Holdings Inc
Lampiran:
Dari: Christian Grey
FW Subyek: Gelembung
Tanggal: 22 Agustus 2011 09:32
Untuk: Anastasia Grey
Mrs. Grey
Sangat senang sudah menguasai semua base bersamamu.
Semoga hari pertama kerjamu menyenangkan.
Sudah merindukan gelembung kita.
x Christian Grey CEO yang Kembali ke Dunia Nyata, Grey Enterprises Holdings Inc
Sial. Aku membalasnya segera.
Dari: Anastasia Steele
Perihal: Jangan pecahkan gelembungnya
Tanggal: 22 Agustus 2011 9:58
Untuk: Christian Grey
Suamiku
Aku akan mengikuti semua metafora baseball denganmu, Mr. Grey.
Aku ingin tetap memakai namaku disini.
Aku akan menjelaskannya nanti malam.
Aku akan pergi meeting sekarang.
merindukan gelembung kita juga....
PS: kupikir aku tetap harus menggunakan BlackBerry ku?
Anastasia Steele Commissioning Editor, SIP
Ini sepertinya akan menjadi sebuah pertengkaran. Aku bisa merasakannya. Sambil mendesah, aku mengumpulkan dokumenku untuk pertemuan.
***
Pertemuan berlangsung selama dua jam. Semua komisioning editor hadir, ditambah Roach dan Elizabeth. Kami membahas personil, strategi, pemasaran, keamanan, dan akhir tahun. Ketika pertemuan berlangsung, aku semakin lama semakin tidak nyaman. Ada perubahan halus dalam bagaimana rekan-rekan kerjaku memperlakukanku - jarak dan penghormatan yang tidak ada sebelum aku pergi untuk berbulan madu. Dan dari Courtney, yang mengepalai divisi non-fiksi, ada permusuhan yang nyata. Mungkin aku hanya merasa takut yang berlebihan tapi dalam beberapa hal ini menjelaskan beberapa ucapan aneh Elizabeth pagi ini.
Pikiranku melayang kembali ke kapal pesiar, kemudian ke ruang bermain, kemudian ke R8 yang melaju melewati misteri Dodge di I-5. Mungkin Christian benar. . . mungkin aku tidak bisa melakukan ini lagi. Pikiran itu membuatku sedih - ini adalah hal yang paling aku inginkan. Jika aku tidak bisa melakukan ini, apa yang akan aku lakukan? Saat aku berjalan kembali ke kantorku, aku mencoba untuk mengabaikan pikiran gelap ini.
Ketika duduk di mejaku, aku segera memeriksa e-mail. Tidak ada e-mail dari Christian. Aku
memeriksa BlackBerryku. . . tetap tidak ada. Bagus. Setidaknya belum ada reaksi permusuhan pada e-mailku. Mungkin kita akan mendiskusikan malam ini sesuai dengan permintaanku. Aku menyadari ini sulit untuk dipercaya, tetapi mengabaikan perasaanku yang tidak enak, aku membuka rencana pemasaran yang di berikan padaku pada pertemuan tersebut.
Seperti ritual kami pada hari Senin, Hannah datang ke kantorku dengan piring untuk paket makan siangku yang dibuat oleh Mrs. Jones, dan kami duduk dan makan siang bersama-sama, membahas apa yang ingin kami capai selama seminggu. Dia juga menceritakan padaku gosip terbaru kantor, yang - mengingat aku sudah pergi selama tiga minggu - sangat jauh tertinggal di belakang. Saat kita sedang mengobrol, ada ketukan di pintu.
"Masuk."
Roach membuka pintu, dan berdiri di sampingnya adalah Christian. Aku membisu sejenak. Christian memberiku tatapan yang berkobar dan berjalan masuk dengan angkuh, sebelum tersenyum sopan pada Hannah.
"Halo, kau pasti Hannah. Saya Christian Grey," katanya. Hannah buru-buru berdiri dan segera mengulurkan tangannya untuk berjabat dengan Christian.
"Mr. Grey. Sa-sangat senang bertemu dengan Anda." Dia tergagap saat mereka berjabat tangan. "Dapatkah saya membuatkan anda kopi?"
"Silakan," katanya hangat. Dengan sekilas bingung menatapku, dia keluar dari kantor melewati Roach, yang berdiri sama kagetnya denganku di ambang kantorku.
"Jika Anda mengijinkan, Roach, saya ingin bicara dengan Ms. Steele." Christian mengucapkan huruf S dengan bunyi mendesis. . . sinis.
Inilah sebabnya mengapa dia ada di sini. . . Oh, sial.
"Tentu saja, Mr. Grey. Ana," Roach bergumam, menutup pintu ke kantorku saat ia beranjak pergi. Aku mengembalikan kekuatanku untuk bicara.
"Mr. Grey, senang sekali bisa bertemu denganmu." Aku tersenyum, terlalu manis.
"Ms. Steele, boleh aku duduk?"
"Ini perusahaanmu." Aku melambai di kursi yang telah ditinggalkan oleh Hannah.
"Ya, memang." Dia tersenyum licik padaku, senyum yang tidak mencapai matanya. Nada suaranya meninjuku. Dia meremang dengan ketegangan - aku bisa merasakan itu semua di sekitarku. Persetan. Jantungku tenggelam.
"Kantormu sangat kecil," katanya sambil duduk menghadapi mejaku.
"Ini cocok untukku."
Dia menanggapiku dengan netral, tapi aku tahu dia marah. Aku mengambil napas dalam-dalam. Ini tidak akan menyenangkan.
"Jadi apa yang bisa aku lakukan untukmu, Christian?"
"Aku hanya melihat aset-asetku."
"Aset-asetmu? Semuanya?"
"Semuanya. Beberapa dari mereka butuh rebranding (merubah citra)."
"Rebranding? Dalam hal apa?"
"Kupikir kau tahu." Suaranya tenang mengancam.
"Tolong-jangan bilang kau telah memutus harimu setelah tiga minggu yang sudah lewat untuk datang ke sini dan bertengkar dengan diriku tentang namaku." Aku bukan aset!
Dia bergeser dan menyilangkan kakinya. "Bukan benar-benar bertengkar. Tidak."
"Christian, aku sedang bekerja."
" Bagiku tampaknya kau tadi sedang bergosip dengan asistenmu."
Pipiku memanas. "Kita akan melewatkan jadwal kita," hardikku. "Dan kau belum menjawab pertanyaanku."
Ada ketukan di pintu. "Masuklah!" Aku berteriak, terlalu keras.
Hannah membuka pintu dan membawa nampan kecil. Teko susu, mangkuk gula, kopi dalam teko Perancis- dia mengeluarkan semua. Dia menempatkan nampan di mejaku.
"Terima kasih, Hannah," gumamku, merasa malu bahwa aku baru saja berteriak begitu keras.
"Apakah ada yang butuhkan lagi, Mr. Grey?" Dia bertanya dengan terengah-engah. Aku ingin memutar mataku padanya.
"Tidak, terima kasih. Itu saja." Dia tersenyum dengan kilauannya, senyuman yang dapat membuat celana dalam Hannah terlepas. Dia malu-malu dan keluar sambil tersenyum simpul. Perhatian Christian kembali padaku.
"Sekarang, Ms. Steele, sampai dimana kita tadi?"
"Kau kasar sekali mengganggu hari kerjaku hanya untuk bertengkar denganku tentang namaku."
Christian berkedip sekali - terkejut, kupikir, karena suaraku yang berapi-api. Dengan sigap, ia mengambil pada sepotong serat yang tak terlihat pada lututnya dengan jari-jari terampilnya yang panjang. Itu mengganggu. Dia sengaja melakukannya. Aku menyipitkan mataku padanya.
"Aku suka membuat kunjungan mendadak yang aneh. Itu membuat manajemen bekerja pada tempatnya, para istri ada di posisi mereka. Kau tahu." Dia mengangkat bahu, mulutnya diatur dalam garis yang arogan.
Istri di posisi mereka! "Aku tak tahu kalau kau bisa meluangkan waktumu," gertakku.
Matanya membeku. "Kenapa kau tidak ingin mengganti namamu disini?" Tanyanya, suaranya tenang mematikan.
"Christian, haruskah kita membicarakan hal ini sekarang?"
"Aku di sini. Aku tidak melihat alasan untuk tidak melakukannya."
"Aku memiliki se-ton pekerjaan yang harus dilakukan, yang telah aku tinggal pergi selama tiga
minggu terakhir."
Dia menatap ke arahku, matanya dingin dan menilai - bahkan lebih jauh. Aku heran, bahwa dia bisa terlihat begitu dingin setelah tadi malam, setelah tiga minggu terakhir. Sial. Dia pasti sangat marah - benar-benar marah. Kapan dia belajar untuk tidak bereaksi berlebihan?